Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Transisi Energi, Transisi Deforestasi

Mufti Fathul Barri

Mufti Fathul Barri

Direktur Eksekutif Forest Watch Indonesia

Deforestasi akibat program hutan tanaman energi (HTE) untuk transisi energi berisiko makin meningkat. Masyarakat adat terancam.

3 Januari 2025 | 06.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/J. Prasongko

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Ada jutaan hektare hutan yang berpotensi hilang sia-sia gara-gara transisi energi.

  • Ada sejumlah bahaya yang mengintai dari ekspansi hutan tanaman energi yang tidak terkendali.

  • Suku Anak Dalam di Jambi kini makin kehilangan ruang hidup mereka akibat ekspansi perkebunan tanaman energi.

IDE yang dinilai bagus tak selamanya bisa terealisasi sesuai dengan niatnya. Selalu ada peluang bagi orang-orang atau kelompok-kelompok yang memiliki niat jahat untuk mendomplengnya. Inilah yang terjadi pada ide transisi energi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ide beralih dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan, yang dilabeli sebagai harapan agar masa depan bumi lebih panjang, ternyata juga membawa maut untuk hutan dan manusia yang hidup di dalamnya. Ada jutaan hektare hutan yang berpotensi hilang sia-sia gara-gara transisi energi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Salah satu ancaman itu muncul dari konsep hutan tanaman energi (HTE), yang makin berkembang di Indonesia. Konsep ini dianggap sebagai bagian dari upaya meningkatkan bauran energi nasional, khususnya dalam penggunaan bioenergi.

Bioenergi, yang dihasilkan dari bahan organik seperti kayu, limbah pertanian, dan kotoran, dianggap sebagai alternatif yang ramah lingkungan untuk menggantikan energi fosil. Dengan potensi lahan yang sangat luas, Indonesia dipandang sebagai negara yang memiliki peluang besar untuk mengembangkan bioenergi. Namun, meskipun konsep ini terlihat menjanjikan, ada sejumlah bahaya yang mengintai dari ekspansi HTE yang tidak terkendali.

Pada dasarnya, HTE merupakan sebuah inisiatif untuk menanam pohon khusus guna menghasilkan bahan baku energi biomassa, seperti wood pellet atau serpih kayu, yang dapat digunakan untuk pembangkit listrik, disalurkan kepada PT Perusahaan Listrik Negara, atau bahkan diekspor.

Berdasarkan Rencana Umum Energi Nasional dan Kebijakan Energi Nasional, pemerintah berkomitmen mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025, dengan salah satu sumber utamanya adalah biomassa. Sebagai bagian dari upaya ini, sektor kehutanan dan energi mengembangkan HTE dengan izin yang diberikan kepada perusahaan-perusahaan yang ingin mengelola hutan untuk keperluan energi.

Meskipun terdengar seperti solusi untuk masalah ketergantungan pada energi fosil, ekspansi HTE membawa banyak potensi bahaya yang bisa merugikan lingkungan, masyarakat adat, dan ekonomi negara. Salah satu isu utamanya terkait dengan konversi lahan hutan alam menjadi lahan untuk HTE. Dalam banyak kasus, ekspansi HTE tidak hanya melibatkan penanaman pohon untuk biomassa, tapi juga penebangan hutan alam yang sudah ada.

Hal ini berpotensi menyebabkan deforestasi besar-besaran, mengingat banyak lahan yang digunakan untuk HTE terletak di area hutan alam. Meskipun pemerintah berjanji bahwa HTE akan berasal dari rehabilitasi lahan dan bukan dari hutan alam, pada kenyataannya banyak laporan yang menunjukkan lahan hutan alam justru ditebang untuk memberikan ruang bagi tanaman energi, seperti sengon, gamal, dan kaliandra.

Berdasarkan data Forest Watch Indonesia (FWI), saat ini ada 1,3 juta hektare lahan hutan tanaman industri yang beralih menjadi HTE. Jumlah ini masih ditambah dengan izin-izin baru yang luasnya mencapai 2 juta hektare, juga 4 juta hektare dari multiusaha kehutanan. Jika hitungan FWI betul bahwa aksesibilitas menjadi salah satu tolok ukur izin konsesi itu, akan ada 4,65 juta hektare hutan alam di dalam konsesi hak pengusahaan hutan, hutan tanaman industri, dan perhutanan sosial yang akan dikonversi untuk memenuhi kebutuhan tanaman energi.

Potensi bahaya lainnya adalah dampak terhadap masyarakat adat dan lokal yang menggantungkan hidup pada hutan dan lahan tradisional. Banyak konsesi untuk HTE terletak di kawasan yang sebelumnya merupakan tempat tinggal masyarakat adat. Salah satunya suku Anak Dalam di Jambi, yang kini makin kehilangan ruang hidup mereka akibat ekspansi perkebunan tanaman energi.

Masyarakat adat yang terkena dampak tidak hanya akan kehilangan tempat tinggal, tapi juga sumber penghidupan mereka yang bergantung pada sumber daya alam secara berkelanjutan. Pemerintah seharusnya mengutamakan kesejahteraan masyarakat adat dalam perencanaan dan implementasi kebijakan. Namun pada kenyataannya, kebijakan ini kerap lebih menguntungkan perusahaan besar, baik domestik maupun asing.

Paradoks lainnya adalah rantai pasok produk bioenergi yang dikuasai pihak dari luar negeri. Sebagian besar pemegang konsesi HTE adalah perusahaan-perusahaan yang memiliki afiliasi dengan pihak asing. Seperti yang terjadi di Jambi, PT Hijau Artha Nusa—perusahaan dengan investasi dari Korea Selatan—mengelola konsesi hutan untuk menanam sengon sebagai bahan baku biomassa.

Situasi yang sama, berdasarkan hasil investigasi FWI, terjadi di Gorontalo. Di daerah ini sudah dikaveling sekitar 282 ribu hektare hutan dan lahan yang difungsikan sebagai HTE. Celakanya, dari investigasi yang sama, produk bioenergi dari HTE ini sebagian besar tidak digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, melainkan diekspor ke negara lain, seperti Jepang dan Korea.

Kondisi tersebut memperlihatkan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan energi domestik dan ekspor. Indonesia lebih sering menjadi pemasok bahan baku energi daripada memperoleh manfaat langsung dari penggunaan energi tersebut di dalam negeri.

Di sisi lain, kebijakan ini juga mengandung risiko kerugian negara yang signifikan. Praktik-praktik ilegal dalam ekspor kayu dan biomassa yang tidak tercatat oleh pemerintah berpotensi merugikan pendapatan negara. Selain itu, sektor kehutanan dan energi berisiko tidak menerima pendapatan yang seharusnya melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan provisi sumber daya hutan dana reboisasi (PSDHDR).

Dengan adanya praktik ilegal seperti transshipment—pemindahan kayu dan biomassa ilegal ke kapal asing tanpa tercatat—negara kehilangan potensi pendapatan yang dapat digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi hutan.

Ekspansi HTE juga sering diikuti dengan metode yang merusak lingkungan, seperti land clearing atau pembersihan lahan menggunakan alat berat yang merusak ekosistem dan mencemari tanah. Proses ini tidak hanya mengancam keragaman hayati, tapi juga meningkatkan emisi karbon akibat pembakaran lahan atau pembusukan bahan organik yang terbuang.

Di tingkat kebijakan, ketidaksinkronan antar-kementerian yang terlibat pengelolaan HTE menjadi masalah lain. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK)—yang dipecah menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan pada era Kabinet Merah Putih—memiliki pandangan berbeda dalam hal pengelolaan dan implementasi kebijakan ini.

Kementerian ESDM berfokus pada pembangkit listrik dan pembakaran biomassa, sementara Kementerian LHK menangani aspek kehutanan dan lingkungan. Ketidaksepahaman di antara dua kementerian itu menyebabkan implementasi kebijakan tak terkoordinasi dengan baik sehingga transisi energi berjalan tanpa arah yang jelas.

Kebijakan mengenai pembangunan HTE merupakan kebijakan yang lahir dari pusat (top-down). Hal ini tentu keliru, mengingat adanya diversitas sumber energi di Indonesia. Dengan berlimpahnya sumber energi yang ada, diversifikasi sumber energi dengan skala yang lebih kecil akan lebih cocok dibanding mengembangkan sumber energi berskala besar. Dengan demikian, transisi energi lebih dirasakan masyarakat yang membutuhkan, terlebih bagi masyarakat di pelosok daerah yang sumber energinya terbatas.

Dalam menghadapi tantangan-tantangan tersebut, pengelolaan HTE memerlukan pendekatan yang tidak hanya holistik, tapi juga korektif. Selain perlu memastikan kebijakan yang terkait dengan HTE tidak berdampak negatif pada sektor kehutanan dan lingkungan, pemerintah harus melindungi hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal.

Pengawasan yang ketat serta audit terhadap praktik-praktik ilegal dan transparansi dalam proses ekspor serta pemanfaatan sumber daya alam juga sangat diperlukan untuk menghindari kerugian negara. Dalam jangka panjang, transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan harus benar-benar memperhatikan aspek sosial dan ekologis, bukan mengejar target bauran energi semata.

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus