Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) memainkan peran utama dalam transisi energi Indonesia menuju sumber energi rendah karbon. Plt. Kepala Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Emilia Yustiningrum mengatakan PLTA terdiri dari bendungan skala besar maupun kecil. Selain menghasilkan daya listrik, bendungan tersebut juga bermanfaat sebagai suplai penyimpanan air untuk irigasi pertanian dan kehidupan sehari-hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Namun di satu sisi, keberadaan PLTA juga menimbulkan isu-isu tradisional seperti permasalahan sosial, politik, dan ekologi lingkungan," kata Emilia melalui keterangan tertulis, Selasa, 24 September 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Emilia mengambil contoh studi kasus di Poso, Sulawesi Tengah, dengan tiga PLTA yang menggunakan air dari Sungai Poso sebagai sumber daya. Menurutnya, pembangunan PLTA membutuhkan area yang luas dan perlu menutup aliran sungai. Prosesnya akan berdampak pada gangguan sosial kehidupan masyarakat lokal, ekosistem lingkungan sungai, dan juga masalah ekologi.
“PLTA menghalangi rute migrasi ikan yang juga akhirnya berdampak kembali kepada masyarakat yang bergantung pada perikanan untuk mata pencaharian atau ketahanan pangan," katanya.
Penelitian dilakukan untuk mengeksplorasi tata kelola air melalui perspektif sistem dengan lokasi Poso, Sulawesi Tengah. Hal ini sebagai studi kasus untuk memahami peluang, konflik, dan upaya mediasi terkait pengembangan PLTA dan dampaknya terhadap perikanan belut yang unik secara ekologi.
Penelitian soal PLTA juga dilakukan oleh Amy Falon dari Universitas Charles Sturt Australia. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa Indonesia memiliki 99 PLTA dan 18 PLTA sedang dalam perencanaan.
"Indonesia merupakan negara penghasil ikan tangkapan liar terbesar kedua di dunia. Ada lebih dari 2,6 juta nelayan di laut dan penangkap ikan air tawar. Indonesia juga salah satu negara yang paling bergantung pada ikan di dunia," kata dia
Menurut Amy, jika sumber daya air tawar tidak dijaga, akan berdampak bagi hampir 10 persen penduduk Indonesia. Sementara, PLTA hanyalah salah satu bagian dari permasalahan. Ia menjelaskan ada 1.032 penghalang irigasi, di antaranya 299 bendungan penyimpanan air dan 76 bendungan pengontrol banjir. “Semua memiliki dampak potensial terhadap migrasi spesies perairan," tuturnya.
Ia menyatakan perlunya pendekatan nexus dengan mengidentifikasi respons yang saling menguntungkan, didasarkan pada pemahaman sinergi kebijakan air, energi, dan pertanian. Pendekatan ini juga menyediakan kerangka kerja yang terinformasi dan transparan. Hal itu untuk menentukan keseimbangan dan sinergi yang tepat yang menjaga integritas dan keberlanjutan ekosistem.
Ia memaparkan pendekatan nexus yang harus memberikan perhatian khusus pada politik. Menurut Amy, kurangnya kolaborasi lintas sektor biasanya tidak hanya disebabkan oleh kurangnya mekanisme dan pendekatan yang tepat, tetapi terutama berkaitan dengan perebutan pengaruh dan kekuasaan antara berbagai sektor dan aktor.
"Kerangka regulasi merupakan komponen penting tata kelola lingkungan, namun juga perlu mempertimbangkan politik, kekuasaan, dan lembaga informal. Sejauh mana kita dapat mengharapkan organisasi yang berorientasi pada keuntungan untuk melakukan inisiatif pembangunan partisipatif?" ujarnya.
Mengenai migrasi spesies perairan, Amy menyebut belut pada Danau Poso yang menjadi sumber mata pencaharian warga lokal telah dilaporkan berkurang keberadaannya sejak tahun 2019. Ini akibat bendungan PLTA menghalangi migrasi spesies tersebut antara danau dan sungai.
"Kekhawatiran terhadap jalur ikan mendorong Poso Energi untuk memasang jalur ikan di PLTA Poso 1 dan 2, yang saat ini efektif dalam investigasi oleh BRIN dan Universitas Charles Sturt Australia. Juga, melakukan program pembenihan ikan serta program CSR atau kompensasi," katanya.