SESEORANG konon telah membunuh Barbertje. Dan Lothario pun ditangkap. Ia dituduh mencincang dan menggarami wanita itu, dan dibawa ke pengadilan. Inilah dialog di depan mahkamah itu: Lothario: "Tuan Hakim, saya tidak membunuh Barbertje saya memberinya makan, pakaian, dan saya urus dia baik-baik ... saya punya saksi-saksi yang bisa menerangkan bahwa saya orang baik dan bukan pembunuh .... " Hakim: "Kau harus digantung ... dosamu tambah besar karena kesombonganmu. Tidak pantas orang yang dituduh bersalah menganggap dirinya seorang yang baik." Lothario: "Tapi, Tuan Hakim, ... ada saksi-saksi yang bisa membuktikan itu dan karena saya dituduh membunuh...." Hakim: "Kau harus digantung. Kau telah mencincang-cincang Barbertje, menggaraminya, dan kau puas dengan dirimu sendiri... Tiga kesalahan besar." Tiba-tiba, ke ruangan itu muncul seorang perempuan. Hakim berseru: "Siapa kau, hai, perempuan?" Perempuan itu menjawab: "Saya Barbertje...." Mendengar itu, Lothario, si tertuduh, berkata, bersyukur. "Tuan Hakim," katanya, "Tuan lihat, saya tidak membunuhnya !" Hakim: "Hm... ya... begitu... tapi bagaimana tentang penggaraman?" Barbertje: "Tidak, Tuan Hakim, dia tidak menggarami saya sebaliknya, dia banyak berjasa kepada saya ... dia seorang manusia yang mulia!" Lothario: "Tuan dengar, Tuan Hakim, katanya saya seorang yang baik...." Hakim tertegun. "Hm . . . ," gumamnya. Tapi ia meneruskan, dengan suara tegas, bahwa kesalahan ketiga yang diperbuat Lothario masih tetap ada. "Polisi, bawa orang itu," perintahnya. "Dia harus digantung. Dia bersalah karena dia congkak." Lothario pun digantung esok harinya tapi bagaimana persisnya kita tak tahu. Kejadian di atas hanya ada dalam dongeng yang ditulis Multatuli (yang hari-hari ini sedang diperingati di Erasmus Huis, Jakarta) dalam pembukaan buku terkenalnya, Max Havelaar. Cerita peradilan itu, kata Multatuli, dikutipnya dari "sandiwara yang tidak diumumkan" -- yang mungkin rekaannya sendiri juga. Dari isinya terasa, kisah ini semacam perumpamaan, yang tampaknya ingin digunakan oleh Multatuli untuk mempertajam lukisan ketidakadilan yang terjadi terhadap Havelaar. Kita tahu nasib Havelaar: asisten residen Lebak ini, yang dengan bersemangat hendak membela rakyat kecil dari penindasan bupati mereka, akhirnya harus menderita: ia bentrok dengan atasannya, dicopot dari jabatannya, dan akhirnya jadi penganggur yang kelaparan di Amsterdam. Havelaar memang seperti Lothario: seorang yang sangat penolong. Ia juga seorang yang sadar -- dan itu barangkali kelemahannya -- tentang kebaikan niatnya sendiri. "Saya punya saksi-saksi yang bisa menerangkan saya orang baik," kata Lothario kepada hakim. Havelaar juga menampilkan keyakinan yang sama tentang kebenarannya sendiri. "Saya yakin telah melakukan kewajiban saya," tulis Havelaar dalam sepucuk surat protes kepada atasannya, "... tanpa sedikit pun menyeleweng." Bisakah keyakinan macam itu disebut sebagai sikap congkak atau rasa puas diri dan Lothario karena itu harus digantung, sebagaimana Havelaar diberhentikan? Ya, bagi orang-orang yang tak boleh punya keyakinan. Ya, bagi mereka yang takut untuk berpendirian sendiri. Congkak, merasa puas diri, dengan keyakinan sebagai orang yang bersih dan benar -- semua itu hal-hal yang sangat mengganggu. Bahkan bagi seorang macam Duclari -- komandan garnisun kecil di Rangkasbitung -- jelas ada yang "gila" dalam diri Havelaar. Havelaar telah terjun ke laut yang penuh hiu hanya untuk menolong seekor anjing. Havelaar, pegawai gubernemen itu, juga pernah menulis sajak cemooh kepada atasannya, Jenderal Van Damme. Dus, Havelaar adalah seorang yang miring. Dan apakah bedanya antara "gila" dan "sombong", bagi Duclari -- dan bagi umumnya para pegawai gubernermen tulen, yang menuntut orang lain agar bersikap sebagaimana aparat bersikap? Yakni tidak usah cemerlang, tidak meletup, bahkan lebih baik agak samar dan karena itu selamat ? Tapi tentu saja pendapat seperti itu berlebihan. Havelaar tidak gila. Seperti dikatakan Multatuli sendiri, yang menulis novel otobiografis ini untuk membela sikapnva selama bertugas di Jawa, Havelaar hanya seorang yang naif. Ia terlampau percaya akan kekuatan posisinya. Itulah sebabnya ia ragu-ragu ketika merasa harus menindak bupati Lebak yang dianggapnya sewenang-wenang itu: ia takut menghantam orang yang lebih lemah ketimbang dirinya. "Ia enggan melawan ketidakadilan pada saat ia menganggap keadilan lebih kuat dari biasanya," tulis Multatuli . Ternyata kemudian, ia salah mengukur. Ia mengira bahwa Gubernur Jenderal, penguasa tertinggi tanah jajahan itu, berada di pihaknya, pihak "keadilan". Ia tak ragu untuk mengirim surat ke petinggi di Bogor itu. Tapi, ternyata, inilah jawab yang datang dari atas: "Cara Anda bertindak," demikian surat dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda kepada Asisten Residen Havelaar, "...sangat menimbulkan perasaan tidak senang pada saya." Lalu Havelaar pun diberhentikan, sebagaimana Lothario digantung. Barangkali memang ada saatnya suara keadilan tak boleh berbuat salah seperti pesakitan itu congkak. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini