HAJI Fachrurazy Abubakar Haji duduk terpekur di hadapan hakim dan jaksa. Wajahnya tegang. Suaranya serak dan lemah. Anggota DPR dari FPP ini, Sabtu pekan lalu, harus duduk sebagai terdakwa di PN Jakarta Pusat, atas tuduhan pemalsuan surat-surat penting Departemen Sosial. "Saya sedang kena musibah," ujarnya lirih. Serangkaian dokumen palsu itu berkaitan dengan penyelenggaraan penghimpunan dana sosial melalui SSB (Sumbangan Sosial Berhadiah). Dokumen-dokumen itu, menurut jaksa, telah dipalsukan oleh Fachrur, selama bulan April hingga Oktober tahun lalu. Berbekal surat-surat palsu itu, kata jaksa, Fachrur menggarap Sofyan, Direktur PT Setia Yasa International. Ketika itu, Maret tahun lalu, Fachrur menyodorkan tawaran bisnis menarik: Sofyan punya peluang menggantikan Yayasan Dana Bakti Kesejahteraan Sosial (YDBKS) sebagai penyelenggara SSB. Untuk itu, perlu syarat. Antara lain, harus ada Rp 40 juta sebagai "uang prangko", di samping garansi bank Rp 2 milyar untuk dana operasional. Sofyan tergiur. Harapan bahwa bisnis itu bisa gol dipandang cukup besar. Maka, surat permohonan pun dilayangkan di awal April. Lalu uang sejumlah Rp 48,5 juta, menurut tuduhan jaksa, diserahkan oleh pimpinan Setia Yasa kepada Fachrur sebagai "uang prangko". Beberapa hari setelah permohonan diajukan, sebuah memo persetujuan menteri telah berada di tangan Fachrur. Berikutnya, Fachrur memperlihatkan surat penunjukan sementara kepada Setia Yasa untuk mengelola SSB, periode 1985-1991. Lalu ada pula notulen rapat dan surat tugas, yang mengukuhkan surat terdahulu. Puncaknya adalah sebuah SK Mensos bertanggal 1 Oktober 1986, yang resmi memandatkan pengelolaan SSB kepada Setia Yasa. Surat-surat itulah yang menggiring Fachrur berhadapan dengan hakim. Seusai sidang pengadilan, Fachrur bergegas ke Senayan, melapor pada J. Naroj Ketua Umum PPP. Keluar dari kamar kerja Naro, Fachrur tampak emosional. Matanya merah berair. Sebuah sapu tangan diusapkan ke hidungnya yang beringus. Pimpinan PPP itu memarahinya? "Oh, tidak. Dia hanya terharu dan berterima kasih atas sikap partai yang teguh dengan asas praduga tak bersalah," ujar Naro. Naro memang tak berniat menjatuhkan sanksi apa pun tanpa bukti sah dari pengadilan bahwa Fachrur bersalah. Putusan Pengadilan Negeri pun dianggap belum cukup untuk mengambil keputusan. "Sikap baru akan diambil setelah ada putusan kasasi dari Mahkamah Agung," ujarnya. Bisa diduga bahwa kursi Fachrur di lembaga legislatif itu masih akan tetap awet. Putusan kasasi biasanya tak akan keluar sebulan dua bulan, di samping lembaga peradilan itu belum tentu memutuskan Fachrur bersalah. Yang terang, dia kini menempati rumah dinasnya yang baru, di Kompleks Perumahan DPR Kalibata, Jakarta Selatan. Sebagai aparat partai, Naro menilai Fachrur punya kredibilitas bagus. "Konduitenya saya kasih angka sepuluh," ujarnya. Dalam kepengurusan di DPP PPP, Fachrur tetap dipercaya menduduki posnya sebagai anggota Majelis Pertimbangan Partai (MPP). Fachrur tentu saja menampik semua tuduhan jaksa. "Kok bisa, ya, orang menuduh saya begitu?" kata pria berumur 51 tahun dan berkaca mata Pierre Cardin ini, "Rumah saja saya numpang di rumah negara." Namun, dia mengakui pernah membantu menyampaikan surat permohonan Sofyan untuk mengelola SSB. "Sebagai orang yang dekat dengan Mensos, saya nggak keberatan," kata Fachrur. Menurut Fachrur, dirinya tak tahu-menahu, apalagi memalsukannya. Semua surat-surat itu, kata Fachrur, adalah urusan Sofyan. Tapi, anggota MPP P-3 ini tak membantah bahwa Sofyan memberinya sejumlah uang. "Nggak banyak. Ya, paling buat beli bensin," katanya. Ketika kepalsuan surat-surat itu terbongkar, Desember tahun lalu, hubungan Fachrur dan Sofyan jadi retak. Sofyan, kata bekas rekannya ini, pergi tanpa kabar. Bahwa dirinya jatuh sebagai korban, kata Fachrur, "karena ada latar belakang politik." Namun, tampaknya latar belakang bisnis lebih menonjol. Pengusaha Jusup Ongkowijaya, yang mengaku pernah bertemu dengan Sofyan dan Fachrur, mengatakan, "Kena Rp 120 juta." Uang telah disetor untuk proyek SSB itu, dengan imbalan dia boleh bertindak sebagai agen. Tapi, ketika kasus itu meletup, uang itu raib, entah ke mana. Putut Tri Husodo dan Yopie Hidayat (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini