SUMIATI, 58 tahun, sampai Senin pekan ini sudah memasuki hari ke-13 bertapa di Gua Tetes, di perbukitan Gunung Pagat, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Ia tetap khusyuk. Tidak makan, tidak minum. Berkedip pun, konon, tidak. Sejak Jumat pekan lalu, lokasi bertapanya itu dijaga hansip dan polisi. "Perempuan itu mantap betul bertapa, apa salahnya kita bantu," kata Nurdasan, Carik Desa Pucak Wangi. Ketika Sumiati datang ke Desa Pucak Wangi untuk minta izin bertapa, 9 November lalu, fisik wanita itu tampak lemah. Tubuhnya kurus. Kepada Nurdasan ia mengatakan akan bersemadi selama 40 hari. Keinginan itu sudah dipendamnya selama tiga tahun. "Saiki rasane is ora iso diempet maneh," (Sekarang rasanya sudah tidak bisa ditahan lagi), begitu kata Sumiati seperti dituturkan Nurdasan kepada Budiono Darsono dari TEMPO. Nurdasan memberi izin, karena niat Sumiati baik. Lagi pula, Gunung Pagat, yang memilik tiga gua, sudah lama dikenal sebagai tempat semadi yang angker. Hari pertama, Sumiati, yang bertapa dengan berkerudung putih itu, tidak mengalami gangguan. Tapi kabar ada wanita pertapa sudah menyebar ke masyarakat. Hari kedua kabar bercampur isu: ada pertapa yang mencari wangsit untuk buntut TSSB dan huruf Porkas. Di hari ketiga, para pecandu Porkas dan TSSB mulai mendekati wilayah pertapaan ini. Hari keempat, yang datang semakin banyak, tak cuma penduduk Kabupaten Lamongan, tapi sudah menyebar ke Kabupaten Jombang, Bojonegoro, sampai Tuban. "Kalau soal buntut dan Porkas, cepat sekali tersebar," kata Notosahir, Kepala Desa Pucak Wangi. Pecandu judi modern ini dengan sabar menunggui pertapa itu. Siapa tahu ia memberi gerak yang bisa ditafsirkan macam-macam. Atau, siapa tahu langsung memberi nomor. Para botoh Porkas itu, kabarnya, sudah kehilangan sumber wangsit, sejak Djais dari Cerme, Gresik, itu menghentikan kegiatan dalam hal perbuntutan dan perporkasan. Tapi apa yang terjadi? Sumiati tetap tidak bergerak. "Pertapa sombong," kata Surip, pecandu Porkas dari Desa Nguwok, Lamongan. "Katanya nyepi untuk kebaikan. Tapi kok kayak batu, kita sudah merengek-rengek minta nomor," ujar Aman Santoso, yang sudah menunggui di sana sejak 11 November. Rabu pekan lalu, ketika sang pertapa memasuki hari ke-8 dan tetap saja khusyuk, yang gelisah justru para pecandu Porkas dan TSSB. Mereka ramai-ramai memaki. "Perempuan gila". "Perempuan peyok elek"(reyot). "Usir Sumiati yang pura-pura menyepi". Dan banyak lagi umpatan yang keluar, sebagaimana dituturkan Nurdasan. Sumiati seperti tak mendengar makian itu. Atau mungkin godaan itu dianggapnya suara demit. Ia tetap dalam keadaan semula, tanpa gerak. Ketahanan pertapawati ini semakin mengundang kebrutalan "demit-demit Porkas". Sumiati di lempari dengan batu kapur. Malah ada yang membuka kerudung putih pertapa ini, lalu menjambak rambut wanita tua itu. Tapi, sang pertapa tetap tegar dalam kediamannya. Hening. Pasrah. Diam. Esoknya, gerombolan pecandu Porkas berdatangan lagi, mau bikin perhitungan dengan Sumiati. Tapi aparat Desa Pucak Wangi sudah siap siaga. Hansip dikerahkan untuk melindungi pertapa yang sedang mencari jalan untuk kehidupan yang baik ini. "Sejak awal Sumiati tidak bermaksud mencari wangsit buntutan, tentu saja dia diam," kata Nurdasan. Adanya pertapa ini dengan segala "demit-demit Porkas" itu sudah dilaporkan kepada Kepolisian Sektor Babat. "Kami juga tetap berjaga-jaga," kata Koptu Thohar, polisi di Polsek Babat. Penjagaan ekstra tampaknya perlu. Ratusan orang masih berkerumun di sekitar gua itu, bahkan ikut bermalam. Tapi bukan bersemadi. "Siapa tahu kepada saya Eyang Sumiati bersedia memberikan nomor," kata Supangi, masih berharap. Putu Setia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini