Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Belajar lahir

Sejarah akan mengolah suatu kebudayaan alternatif yang tak lagi didominasi oleh kebudayaan barat. kebudayaan masyarakat timur membuat orang barat tergila-gila mencari bentuk kebahagiaan. (kl)

20 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG profesor yang agak slebor, nyentrik, dan agak anarkis, di sebuah perguruan tinggi di Belanda, mengajak saya bikin beberapa sandiwara kecil di depan peserta seminar hak asasi manusia dari Afrika, Asia, dan Amerika Latin serta para mahasiswa. Berhubung bakat saya sebagai bintang film relatif rendah, saya sebenarnya agak malas. Tapi melihat perlunya dilakukan suatu igauan intelektual serta "katarsis batin", sesudah dua bulan penuh mendiskusikan 1.000 barel penderitaan manusia tanpa jelas akan bisa berbuat apa-apa untuk melawannya, saya pun menyetujui bermain ketoprak ngeropaan. Pertama, saya jadi bos FAO si slebor jadi Ronald Reagan yang sudah pensiun dan kembali ke ranch-nya. Saya menghadiahi simbah koboi itu seekor sapi jantan raksasa, tapi kepadanya saya harus mempertanggung jawabkan warna ideologi si bull ini juga menjamin bahwa IQ-nya tidak tinggi. Kedua, saya menjadi Pinochet - yang terbodoh-bodoh membela kedudukannya di hadapan duta besar AS di Chili. Peran bengong, dan bahasa Inggris tersendat kayak cikar berderak, tentulah sesuai dengan kapasitas saya. Tapi, yang ketiga: saya harus jadi Nabi Muhammad, yang tiba-tiba nongol di Negeri Belanda untuk menjawab pertanyaan generasi muda negeri itu tentang dunia yang penuh ketidakmenentuan ini. Tentu saja, saya menolak, kecuali jika saya punya aji panglimunan - menghilang, tak bisa balik. Maka, saya usulkan suatu adegan tentang seorang kepala negara yang menelepon Tuhan, untuk mohon penjelasan tentang keputusan eksekusi atas seorang tokoh: hal itu, pertama, demi keadilan bagi semua golongan, kedua, ia bukan membunuhnya, melainkan mengirimkan secepatnya kepada-Nya, agar secepatnya pula mengenyam kebahagiaan yang sejati. Ketoprak itu, tentu saja, memperoleh tepuk tangan riuh seperti acara murid taman kanak-kanak karena orang memang butuh masturbasi ala kadarnya di tengah kurungan orde internasional atau susunan kekuasaan global atau apa namanya. Tapi yang menarik: hajat besar si slebor itu berangkat dari ketergila-gilaannya terhadap kebudayaan masyarakat Timur. Drama itu merupakan contoh sketsa kecil dari proses panjang tempat - karena teknologi informasi - sejarah akan mengolah suatu kebudayaan alternatif, suatu "kebudayaan dunia" yang tak lagi didominasi oleh tawaran Barat, melainkan di-"taman seribu kembang"-i oleh berbagai "jualan" Timur. Begitu kata orang-orang pintar. Hare Krishna atau Baghawan memang amat laris. Islam membesar di Inggris. Orang mencari kembali: "Lho, hati saya di mana, ya?" Tapi, yang penting, kita lihat satu dua tonjolan teksturnya. "Orang di sini hanya hidup di otaknya," kata si slebor, menirukan biksu dari Sri Lanka atau guru kebatinan dari Bantul. "Tubuhnya tidak hidup nuraninya tidak menyala perasaannya tak terasah kundalininya tak bangkit." Ia menyelenggarakan pentas tari tradisional negro Brazil yang penuh daya. Ia suruh mahasiswa lari dari ruang kuliah: "Masukilah pengalaman yang tak bisa kalian peroleh dari kuliah satu tahun!" Lantas 'ngomel: perguruan tinggi ini kampus kolonial orang didatangkan dari negara-negara Dunia Ketiga, diajari ini itu, dan nanti mereka mengorientasikan "perjuangan" berdasarkan wejangan dan bayangan suatu "orde internasional" lain yang sama menggantungnya. Seorang profesor lain kasih garis tebal: orang Eropa jangan menggurui. Orang Afrika dan Asia sangat banyak mengalami hal yang tak dialami orang Eropa. Jangan lagi-lagi menanampaksakan bagaimana cara mereka survive. Berdialoglah. Sementara itu, si slebor, dalam suatu konferensi, mendapuk saya menjadi kepala suku yang dipaksa pasukan bule untuk di-"beradab"-kan: suatu ironi kesejarahan yang bahkan kini pun tetap berlangsung. Entahlah. Tapi ini bukanlah pernyataan dari semacam "kesombongan dunia Timur". Memang, kelas orang tua tertentu di Belanda gugup menjelaskan kepada anak-anak mereka bahwa "ini semua bukan yang benar". Orang berkata di Eropa: "Hidup dengan Bible di tangan kanan, kalkulator di tangan kiri keduanya tak boleh saling tahu, toh tak terhindarkan untuk harus mempertemukannya." Belum bisa dikatakan bahwa "kemajuan" di Eropa itu tak bahagia dengan dirinya. Anak-anak 13-14 tahun di Belanda sudah coba iseng-iseng bunuh diri. Tapi memang aneh, di daerah-daerah pinggiran bumi ini, orang-orang miskin yang bodoh memancarkan suatu model kebahagiaan dan kedamaian tertentu yang susah diterjemahkan. Di pembukaan sebuah seminar internasional, peserta dibimbing (menggunakan buku Anapanasati) cara bernapas. Dipatuhi dengan khusyuk. Tapi kelompok meditasi si slebor dibubarkan oleh Rektor. "Kampus ini bukan klinik. Kalau sakit jiwa, pergi saja ke psikiater." Si slebor, sebaliknya, segera bersila seperti Budha - olah napas: ffffff...hhhhh...ffff....Ada gelombang tertentu tempat orang belajar kembali untuk lahir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus