Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Presiden Sebagai Kingmaker

Presiden Jokowi mendorong sejumlah calon untuk maju dalam pemilihan presiden 2024. Akrobat politik yang bisa merusak demokrasi.

28 Mei 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahaya Presiden Sebagai Kingmaker

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Jokowi memilih mendorong sejumlah tokoh untuk maju menjadi calon presiden 2024.

  • Prabowo Subianto mendekati Khofifah Indar Parawansa sebagai wakil.

  • Peran sebagai kingmaker politik membahayakan demokrasi.

GODAAN melanggengkan kekuasaan bisa menghampiri siapa saja yang berada di ujung masa jabatan. Mereka berupaya memperpanjang kekuasaan atau melakukan apa saja agar pemimpin baru bisa dikendalikan. Tak terkecuali Presiden Joko Widodo, yang akan mengakhiri masa jabatan pada 2024. Setelah ditengarai mendorong atau setidaknya membiarkan upaya memperpanjang masa jabatan presiden dan menunda pemilihan umum, kini Jokowi berpretensi menjadi kingmaker.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Saat ini Jokowi mendorong sejumlah menteri dan kepala daerah untuk menggenjot elektabilitas. Secara simultan, para kandidat menjajakan diri lewat berbagai kampanye—sesuatu yang sulit dihindari bertentangan dengan etika penyelenggara negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir, misalnya, tak sungkan memanfaatkan fasilitas perusahaan negara untuk tampil di hadapan publik. Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto memasang baliho di mana-mana.

Jokowi belakangan ikut mendorong Menteri Pertahanan Prabowo Subianto untuk berlaga. Ketua Umum Partai Gerindra ini bahkan diarahkannya menggandeng Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa atau Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar agar bisa menggaet suara pengikut Nahdlatul Ulama. Dalam Rapat Kerja Nasional Projo, relawan pendukungnya, Jokowi memberi sinyal mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Peran sebagai kingmaker ini dilakukan Jokowi dengan menjadikan dirinya sebagai model dengan memobilisasi kekuatan populis. Ia lupa bahwa dalam soal jabatan presiden, konstitusi memposisikan presiden sebagai pengemban amanat dan pelaksana undang-undang, bukan kreator kekuasaan. Dengan mandat ini Jokowi hendaknya tidak menghabiskan sisa waktu dengan sibuk berakrobat politik seraya melepaskan kewajiban-kewajiban mandatorialnya.

Hasrat Jokowi menanamkan pengaruh kepada presiden mendatang sulit dipisahkan dari langkah buruk—jika tidak bisa disebut melanggar undang-undang—yang telah dilakukan sebelumnya. Muncul dugaan: dukungan Jokowi kepada banyak kandidat untuk mengamankan dirinya dari risiko politik dan hukum setelah 2024.

Terutama pada periode kedua kekuasaannya, Jokowi melahirkan banyak masalah bagi demokrasi: tekanan terhadap kelompok kritis, pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi, kreator Undang-Undang Cipta Kerja. Pelemahan lembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga kehakiman serta merajalelanya oligarki sulit dipisahkan dari peran Jokowi.

Memasuki Istana pada 2014 tanpa modal politik yang cukup—Jokowi kerap mengaku bukan pemimpin partai politik dan bukan petinggi militer, merujuk pada presiden sebelumnya—ia menancapkan pengaruh lewat sejumlah konsesi yang melemahkan demokrasi. Dukungan publik yang semestinya ia jaga, ia pertahankan lewat langkah populis yang juga menyurutkan demokrasi.

Leluasanya Jokowi berakrobat sebagai kingmaker tak bisa dipisahkan dari hilangnya fungsi partai politik dalam mendorong lahirnya pemimpin masa depan yang tidak terkungkung tujuan jangka pendek. Partai politik menutup pintu terhadap kandidat alternatif lewat aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Dengan dalih memangkas biaya, aturan itu mengabaikan substansi demokrasi yang memberikan kesempatan yang adil kepada publik menjadi presiden.

Partai politik tak sungkan mengubah aturan ambang batas setiap menjelang pemilihan umum. Konvensi partai politik menyaring calon presiden dari lapis paling bawah, seperti dilakukan banyak negara maju, tak dilakukan terutama karena doktrin “wewenang tertinggi partai berada di tangan ketua umum”.

Paripurna sudah derita demokrasi Indonesia. Penguasa yang tergoda melanggengkan kekuasaan bersatu padu dengan partai politik yang telah dikooptasi oligarki. Tanpa perbaikan yang substansial, Pemilu 2024 tampaknya akan melahirkan presiden yang begitu-begitu saja.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus