Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Benturan Islam dan Modernisasi

25 November 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Francis Fukuyama *) *) Penulis buku The End of History and the Last Man dan guru besar Jurusan Ekonomi Politik Internasional di Universitas Johns Hopkins - Hak cipta: Project Syndicate/FORUM 2001 SEPULUH tahun silam, Samuel Huntington menyatakan bahwa kebudayaan adalah perbatasan utama dunia politik pasca-Perang Dingin. Sebuah "benturan antarperadaban" didefinisikan sebagai lima atau enam zona kebudayaan besar yang kadang kala dapat hadir berdampingan tapi tak akan pernah menyatu karena kelangkaan kesamaan nilai. Salah satu implikasi dari pendapat ini adalah keniscayaan bahwa serangan teror 11 September dan reaksi balik koalisi yang dipimpin Amerika Serikat harus dilihat sebagai bagian dari benturan antara peradaban Islam dan Barat. Implikasi lain adalah bahwa apa yang dinilai Barat sebagai hak asasi manusia yang universal hanyalah produk lanjutan dari kebudayaan Eropa, yang tak dapat diterapkan pada kebudayaan lain yang tak memiliki tradisi serupa. Saya percaya bahwa pada kedua hal ini Huntington keliru. Sir V.S. Naipaul, yang baru saja memperoleh hadiah Nobel untuk sastra, pernah menulis sebuah artikel bertajuk "Peradaban Universal Kita" yang pas untuk menanggapi Huntington. Apalagi Naipaul adalah penulis keturunan India yang lahir dan tinggal di Trinidad. Dia berpendapat nilai Barat dapat diterapkan secara lintas kebudayaan, bahkan ia menyatakan prestasi kesusastraannya diperoleh justru karena melewati perbatasan peradaban yang ditengarai Huntington. Keuniversalan ini juga berlaku dalam tataran yang lebih luas karena kekuatan utama dalam sejarah manusia serta dunia politik bukanlah keanekaragaman budaya, melainkan kemajuan umum dari proses modernisasi, yang ekspresi institusionalnya adalah demokrasi liberal serta ekonomi ramah pasar. Konflik yang terjadi sekarang bukanlah bagian dari benturan peradaban—dalam arti antarzona kebudayaan yang setara—melainkan sebuah gejala reaksi perlawanan kalangan yang terdesak oleh proses modernisasi, yang berarti juga terhadap tekanan pada penghargaan hak asasi manusia. Boleh dikata semua hak yang ada dalam sejarah manusia bersumber pada tiga otoritas: Tuhan, manusia, atau alam. Konsep bahwa Tuhan atau agama adalah sumber utama semua hak telah ditolak di Barat sejak awal Zaman Pencerahan. John Locke memulai bukunya yang berjudul Second Discourse on Government dengan polemik panjang menyangkal pendapat Robert Filmer tentang hak istimewa seorang raja. Ini berarti proses sekularisasi konsep Barat mengenai hak berakar pada tradisi liberal. Penolakan Barat ini sekarang tampaknya menjadi garis pemisah utama antara Islam dan Barat karena banyak kalangan muslim menentang konsep negara sekuler. Namun, sebelum kita terburu-buru mendukung kesimpulan telah terjadinya jihad antarperadaban, patut disimak mengapa liberalisme modern yang sekuler lahir di Barat. Bukanlah sebuah kebetulan bahwa gagasan liberalisme lahir pada abad ke-16 dan ke-17, ketika konflik sektarian berdarah di antara berbagai sekte Kristen merebak di berbagai penjuru Eropa, hingga mencuatkan realitas kemustahilan mendapatkan konsensus antar-agama sebagai dasar politik kekuasaan. Hobbes, Locke, dan Montesquieu beraksi terhadap berbagai horor kemanusiaan seperti terjadi pada Perang 30 Hari dengan keyakinan bahwa agama dan politik harus dipisahkan demi tercapainya perdamaian di masyarakat. Islam kini menghadapi dilema yang sama. Upaya untuk menyatukan politik dan agama telah memecah belah kalangan muslim seperti yang dialami kaum Nasrani di Eropa. Para pemimpin Barat telah bersikap benar (dan bukan semata-mata karena kepentingan diri) ketika menyatakan bahwa konflik sekarang ini bukanlah dengan Islam—sebuah agama yang sangat heterogen yang tidak menyepakati kehadiran sebuah lembaga pemilik otoritas atas interpretasi doktrin. Antitoleransi dan fundamentalisme adalah salah satu bentuk pilihan bagi kalangan muslim, tapi Islam tetap harus menjawab persoalan sekularisme dan kebutuhan terhadap toleransi antar-agama, seperti terlihat dari gejolak reformasi yang sedang menggelora di negara penganut teokrasi seperti Iran. Sumber hak yang kedua—pandangan kaum positivis bahwa hak adalah apa pun yang disepakati secara konstitusional oleh sebuah masyarakat sebagai hak—juga tak menjamin munculnya kecenderungan liberal karena akan berujung pada relativisme kebudayaan. Jika, seperti dipercaya Huntington, konsep hak Barat dilahirkan semata-mata karena krisis politik kaum Nasrani Eropa setelah kelahiran Reformasi Protestan, apa yang dapat menghentikan bangsa lain untuk merujuk pada tradisi lokal masing-masing untuk menafikan munculnya hak ini? Pemerintah RRC sangat tangkas dalam melontarkan pertanyaan seperti ini. Sumber terakhir hak adalah alam. Dapat dikatakan bahwa bahasa hak-hak alamiah—yang sangat berkembang di Amerika pada abad ke-18—masih tetap mempengaruhi perdebatan soal moral di AS. Misalnya, ketika kita mengatakan bahwa ras, etnis, kekayaan, dan jenis kelamin adalah karakteristik yang tidak esensial, implikasinya adalah keyakinan akan kehadiran substansi "manusiawi" yang memberikan hak kepada kita untuk mendapatkan perlindungan yang sama terhadap perilaku tertentu kelompok lain atau negara. Keyakinan ini adalah alasan utama untuk menolak alasan berdalih budaya yang membuat sekelompok orang mempunyai kedudukan lebih rendah dari yang lain, misalnya kaum wanita. Lagi pula, merebaknya institusi demokratis dalam konteks bukan Eropa menunjukkan bahwa Eropa tidaklah sendirian dalam keyakinannya. Namun, jika hak asasi manusia betul-betul universal, apakah ini berarti implementasinya harus dipaksakan di semua daerah dan di setiap waktu? Aristoteles berpendapat, dalam karyanya yang bertajuk Etika Nicomachean, bahwa aturan keadilan yang alamiah benar-benar ada tapi implementasinya membutuhkan keluwesan dan kehati-hatian. Kebijakan ini kelihatannya tetap berlaku. Kita harus membedakan antara kepercayaan teoretis terhadap keuniversalan hak asasi manusia dan upaya mempraktekkannya di seluruh dunia. Pasalnya, "kemanusiaan" kita yang universal itu telah dibentuk dalam berbagai lingkungan sosial yang beragam sehingga persepsi kita atas hak beraneka. Pada banyak masyarakat tradisional, yang pilihan dan peluang dalam kehidupannya terbatas, pandangan individualistis Barat terasa sangat kasar. Ini karena konsep Barat tak dapat diisolasikan dari proses modernisasi yang melahirkannya. Menafikan hal ini berarti tindakan ahistoris. Soalnya, komitmen kita pada hak asasi manusia yang universal hanyalah satu bagian dari bangunan kompleks peradaban yang universal, yang juga menuntut pengertian atas elemen lain dari masyarakat modern, yaitu perekonomian yang adil dan sistem politik yang demokratis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus