Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berebut Mengurus BUMN

MUMPUNG belum kebacut, Presiden Joko Widodo perlu mengkaji lagi penataan badan usaha milik negara.

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Berebut Mengurus BUMN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Konsep superholding yang kini mulai dirintis berpotensi memperburuk tata kelola perusahaan pelat merah. Jokowi juga harus mencari figur yang benar-benar kompeten dan profesional untuk memimpin Kementerian BUMN—posisi yang menjelang periode kedua pemerintahan Jokowi mulai menjadi rebutan.

Kalangan partai politik penyokong Jokowi mengincar kursi Menteri BUMN lantaran amat strategis sekaligus memiliki wewenang besar. Mewakili negara sebagai pemegang saham mayoritas, sang menteri bisa kapan saja mengangkat dan mencopot direksi perusahaan di bawahnya. Ia pula yang mengendalikan kebijakan strategis sekaligus mengawasi semua perusahaan milik negara dengan total aset mencapai Rp 8.207 triliun.

Mengingat pentingnya posisi itu, Presiden Jokowi semestinya tidak berkompromi dengan pihak mana pun dalam memilih pengganti Menteri BUMN saat ini, Rini Soemarno. Ia harus menempatkan figur yang sanggup mewujudkan tata kelola yang baik serta mencegah korupsi di perusahaan negara. Selama ini, BUMN selalu menjadi bancakan banyak pihak, termasuk para politikus. Praktik kotor itu pun masih merajalela di periode pertama pemerintahan Jokowi.

Skandal bekas Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara, Sofyan Basir, merupakan salah satu contoh. Ia dijerat oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada April lalu karena “bermain-main” dengan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Sofyan diduga menerima suap miliaran rupiah dari pengusaha Johannes Kotjo yang menggarap proyek listrik itu. Kasus suap ini juga melibatkan politikus Golkar, Idrus Marham dan Eni Saragih, yang telah diadili dan dijebloskan ke penjara.

Kasus suap mencuat pula di PT Pupuk Indonesia. Maret lalu, manajer pemasaran perusahaan ini dijaring KPK karena diduga menyuap anggota Fraksi Golkar di Dewan Perwakilan Rakyat, Bowo Sidik Pangarso, untuk memuluskan bisnis perusahaan. Sebelumnya, anggota direksi PT Krakatau Steel ditangkap lantaran menerima uang pelicin dari rekanan perusahaan ini. Sepanjang 2004-2018, KPK telah menyidik kasus korupsi di 56 perusahaan negara dan daerah di seluruh Indonesia.

Fenomena itu memperlihatkan pula buruknya pengawasan dan tata kelola perusahaan negara. Prinsip keterbukaan dan akuntabilitas dalam mengelola BUMN kerap ditabrak. Padahal aturan mengenai tata kelola perusahaan negara yang baik sudah lama dibuat, bahkan sebelum era Jokowi.

Skandal laporan keuangan PT Garuda Indonesia merupakan contoh mutakhir soal kacaunya tata kelola perusahaan negara. Perusahaan publik ini mengakali laporan keuangan perusahaan agar terlihat positif atau tidak rugi. Hasil sebuah kontrak jangka panjang selama 10 tahun dimasukkan seluruhnya ke laporan keuangan 2018. Padahal pendapatan dari hasil kontrak itu dibayar secara bertahap sesuai dengan pengerjaan proyek pada masa kontrak. Menteri BUMN semestinya tidak membiarkan akal-akalan seperti ini.

Di tengah kondisi BUMN seperti itu, konsep superholding yang digembar-gemborkan Jokowi justru menimbulkan rasa cemas. Konsep ini berpotensi mengubur prinsip tata kelola di perusahaan negara yang menjadi anak superholding—ibarat menyembunyikan sampah di bawah permadani. Publik bakal sulit mengawasinya sehingga perusahaan negara bisa makin menjadi sapi perahan para politikus dan penguasa.

Tak cuma perlu berhati-hati dalam urusan superholding, Presiden Jokowi juga perlu meluruskan visi pengembangan BUMN. Menata, membesarkan, apalagi menyehatkan, perusahaan negara jelas perlu. Pertanyaannya, seberapa jauh negara akan berbisnis? Jika perusahaan negara merajai hampir semua sektor usaha, dari perbankan, pertambangan, infrastruktur, hingga perkebunan, peran swasta justru akan mengerut.

Peran perusahaan negara semestinya tetap mengacu pada konstitusi: menguasai cabang-cabang produksi yang benar-benar penting dan menguasai hajat hidup orang banyak. BUMN seharusnya memprioritaskan sektor yang memiliki fungsi sosial yang tinggi, seperti listrik, air minum, dan transportasi. Peran perusahaan negara yang terlalu besar dalam perekonomian justru akan menjadi monster yang mencekik sektor swasta.

Meluruskan arah penataan perusahaan negara dan memilih figur yang tepat untuk memimpin Kementerian BUMN adalah dua hal yang berkaitan. Presiden Jokowi semestinya memilih figur yang mampu menata BUMN sesuai dengan amanat konstitusi. Menteri BUMN periode mendatang juga harus sanggup mencegah korupsi di perusahaan negara—bukan malah menjadi bagian dari praktik kotor itu. berita terkait halaman 78

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus