Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN Prabowo Subianto dan Joko Widodo di kereta moda raya terpadu (MRT) dua pekan lalu menggembirakan sekaligus mencemaskan. Dua seteru dalam pemilihan presiden 2014 dan 2019 ini akhirnya bisa duduk bersama di tengah tajamnya polarisasi kedua pendukung mereka. Pertemuan itu tanda bahwa perseteruan politik bisa berakhir dengan senyum dan saling rangkul.
Pada saat yang sama, “rujuk” keduanya menjadi mencemaskan karena disusul lobi-lobi politik di belakang mereka. Pendukung Jokowi, yang memenangi pemilihan presiden untuk kedua kalinya, berusaha mengajak partai penyokong Prabowo bergabung dalam pemerintahan. Lobi-lobi ini mencemaskan terutama karena partai-partai yang dirangkul itu menunjukkan tanda-tanda menerima ajakan.
Jika Gerindra, Partai Amanat Nasional, Partai Demokrat, dan Partai Keadilan Sejahtera bergabung dengan pemerintah, Jokowi praktis akan menjadi penguasa tunggal. Tak ada lagi partai atau pihak yang menjadi tandem kritisnya dalam membuat kebijakan. Padahal demokrasi diciptakan dengan memberikan tempat yang sama kepada penguasa dan oposisinya. Jika itu terjadi, “rekonsiliasi” justru menjadi cemar karena menodai demokrasi.
Sebab, politik yang sehat dimulai dengan kritik. Seusai pertemuan MRT dan makan siang bersama, baik Prabowo maupun Jokowi seharusnya tak hanya mengajak pendukungnya berhenti berseteru. Alih-alih memancing spekulasi soal “rekonsiliasi”, Prabowo semestinya mengumumkan sikap partainya sebagai oposisi dalam lima tahun ke depan. Jokowi pun seyogianya menyambut keputusan itu dengan hangat. Jika itu yang terjadi, barulah publik mendapat suguhan politik yang sehat dan mendewasakan.
Sayangnya, realitas politik kita belum seideal itu. Seusai pertemuan, yang santer terdengar justru alotnya negosiasi politik berupa barter kasus-kasus hukum pendukung Prabowo. Jika sampai terjadi, ini preseden sangat buruk bagi demokrasi: politik melampaui hukum yang seharusnya mengendalikan dan menyeimbangkan kekuasaan. Negosiasi semacam itu bahkan berpotensi menegasikan peran pemilu. Jika ujung-ujungnya hanya bagi-bagi kekuasaan, buat apa repot-repot menyelenggarakan pemungutan suara yang sedemikian mahal dan menyita waktu.
Sebagai pemenang pemilu, Jokowi dan partai pendukungnya tak perlu mendorong Gerindra, PAN, Demokrat, dan PKS masuk arena kekuasaan. Mereka yang kalah punya kesempatan merebutnya lima tahun nanti—karena demikianlah siklus demokrasi di mana pun. Ajakan koalisi untuk kubu Prabowo hanya menunjukkan fatamorgana kekuatan Jokowi dan upaya menempuh jalan pintas dalam menjalankan pemerintahan.
Usia demokrasi di negeri ini memang masih muda. Namun, jika polarisasi dan kegaduhan—keniscayaan dalam sistem politik ini—selalu diselesaikan dengan barter kekuasaan yang melanggar asas hukum dan etika, kita akan selamanya terperosok ke dalam demokrasi pura-pura. Dalam demokrasi jenis ini, yang berkuasa tetaplah para oligark—mereka yang mengendalikan kekuasaan untuk kepentingan kelompoknya semata.
Jokowi dan Prabowo kini punya kesempatan membuat sejarah baru dalam demokrasi Indonesia. Jika Prabowo teguh menjadi oposisi dan Jokowi konsisten tak menegosiasikan hal-hal prinsip dalam barter politik, mereka akan dikenang sebagai negarawan. Sebaliknya, jika pemerintahan baru kelak menjadi ajang bagi-bagi belaka, mereka berdua akan dikenang sebagai politikus bermuka dua yang rela melakukan apa saja demi sepotong kuasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo