Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

‘Rujuk Politik’

UNTUK menurunkan tensi politik antara pe-merintah dan kelompok Islam pada 1993, Presiden Soeharto mengajak “ru-juk” dengan menempatkan bebe-ra-pa tokoh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) di sejumlah posisi strategis.

20 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tempo Doeloe

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Langkah politik Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie waktu itu su-dah tercium sejak munculnya ICMI di Malang pada 1990. Ia tak sekadar menggaet sejumlah kekuatan Islam, baik dari kalangan birokrasi, kaum cendekiawan, maupun aktivis, dalam satu wadah. Ia juga mengakomodasi barisan Islam yang ada di dalamnya, dari tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Emil Salim hingga yang dikenal alot seperti Sahirul Alim, Ismail Sunny, dan Imaduddin Abdulrahim—ketiganya pernah ditahan.

Sejak itu, kekuatan Islam mulai di-perhitungkan dan ICMI memberikan harapan baru kepada sejumlah tokoh keras lain, seperti H.M. Sanusi, A.M. Fatwa, dan Abdul Qadir Djaelani, yang hingga kini meringkuk di Lembaga Pemasyarakatan Salemba. Susunan anggota Majelis Permu-syawaratan Rakyat, yang oleh Qadir Djae-lani—divonis 18 tahun penjara—disebut ijo royo-royo, boleh dibilang lembaran baru di pentas politik. “Ya, sekarang umat Islam lebih diberi kesempatan,” kata Qadir Djaelani.

Apalagi setelah susunan kabinet ter-bentuk. Tokoh ICMI seperti Watik Pratik-nya, juga Dr Jimly Ash-Shiddiqy, ternyata diangkat sebagai anggota staf ahli Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Mohammad Jumhur Hidayat, bekas mahasiswa Teknik Fisika Institut Teknologi Bandung yang pernah masuk bui karena berdemonstrasi ketika Menteri Rudini berkunjung ke ITB, misalnya, bergabung dengan CIDES (semacam CSIS-nya ICMI), yang berkantor di gedung Badan Pengkajian dan Penerap-an Teknologi.

Begitu pula Yoesman, bekas ketua dewan mahasiswa yang terlibat aksi mahasiswa pada 1978. Setelah menyelesaikan kuliah teknik mesin di ITB, dia kabarnya malah di-percaya menjadi pemimpin proyek pesa-wat CN 250 di Industri Pesawat Terbang Nusantara, Bandung. Itu antara lain se-bab-nya hingga H.M. Sanusi, 72 tahun, penanda tangan Petisi 50 yang divonis 19 tahun karena kasus peledakan BCA (1984), menilai suasana politik sekarang sudah berubah.

Benarkah sikap pemerintah yang ber-baik-baik dengan Islam dan Petisi itu sebagai suatu rekonsiliasi? Seorang peng-huni penjara Cipinang di Jakarta Timur berkesimpulan begitu. “Pemerintah telah melakukan rekonsiliasi sepenuhnya de-ngan Islam,” ujarnya. Dia lalu menunjuk disah-kannya Undang-Undang Peradilan Agama, Undang-Undang Pendidikan Nasio-nal, sampai pendirian ICMI dan Bank Muamalat.

Anwar Harjono, yang setelah wafatnya Muhammad Natsir praktis menjadi orang nomor satu di Dewan Dak-wah Islam, tak mau terburu-buru memakai istilah rekonsiliasi. Da-lam acara kunjungan ke PT PAL Surabaya pekan lalu, Anwar cuma berkomentar, “Ya, pelan-pelanlah kita perbaiki semuanya.” Anggota MPR, Ismail Sunny, beranggapan, “Pemerintah memandang kelom-pok-kelompok yang berbeda pen-dapat itu bukan lagi sebagai ke-lompok yang berbahaya.”

Lebih hati-hati lagi adalah pen-dapat Marsillam Simandjuntak. Dokter dan ahli hukum yang lebih suka bergerak sebagai aktivis dan pengamat politik ini tak serta-merta bertepuk tangan menilai la-watan Ali Sadikin dan kawan-kawan ke PT PAL Surabaya. Boleh jadi lawatan tersebut akan disambung lagi oleh B.J. Habibie untuk melihat-lihat proyeknya di IPTN, Bandung, dan di kawasan industri Batam.

Tapi Marsillam, salah seorang pendiri Forum Demokrasi, tidak melihat upaya Ha-bibie itu sebagai langkah rekonsiliasi. Lalu sebagai apa? “Saya kira Habibie tidak diberi wewenang untuk melakukan rekonsiliasi,” kata Marsillam. “Ini lebih merupakan Habibie’s showtime.” Bekas tahanan peris-ti-wa Malari ini masih penasaran ingin melihat dibebaskannya A.M. Fatwa dan Sanusi dari penjara. “Kalau kedua orang itu dibebaskan, ada kemungkinan ke arah itu,” ujarnya.

Apakah harapan Marsillam bakal men-jadi kenyataan, itu agaknya terpulang ke-pada sang waktu jua. Konon, para tahanan politik itu sudah tidak disekap seketat dulu. Ada yang bilang beberapa dari me-re-ka sudah boleh keluar dan bekerja pada pagi hari, tapi sorenya sudah harus kem-bali tidur di losmen prodeo. Apakah itu per-tanda bahwa mereka akan segera di-bebaskan, kita tunggu saja pidato kene-ga-raan Presiden Soeharto pada Agustus nanti.

 


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi  12 Juni 1993. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1170/1993-06-12

 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus