Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK ada yang baru dan signifikan dari hasil investigasi tim gabungan kasus penyerangan Novel Baswedan. Dibentuk Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian, tim ini bekerja sejak Januari dan hasilnya diumumkan pada 17 Juli lalu.
Temuan tim itu tak beranjak dari hasil pemeriksaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang diserahkan akhir tahun lalu. Jangankan mengungkap dalang penyerangan terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi itu, mengidentifikasi pelaku lapangan saja mereka tak mampu. Tim ini berdalih tidak memiliki kemampuan sehingga merekomendasikan pembentukan tim baru untuk mengejar pelaku. Novel disiram air keras pada Selasa subuh, 11 April 2017, sehingga mata kirinya cacat seumur hidup.
Sejak awal dibentuk, tim itu penuh kontroversi. Mendapat desakan dari kalangan pegiat antikorupsi karena penyidikan yang lamban, tim ini dibentuk tepat sembilan hari sebelum debat calon presiden Pemilihan Umum 2019. Kemandirian tim dipersoalkan karena memuat banyak polisi dan sejumlah anggota nonpolisi yang ditengarai punya hubungan kuat dengan Kepolisian. Tim gabungan terdiri atas 52 polisi, 6 perwakilan KPK, dan 7 pakar hukum.
Sulit mengharapkan tim yang bertanggung jawab kepada Kapolri itu dapat independen. Novel punya sejarah panjang dengan Kepolisian, almamaternya. Novel pernah dikriminalisasi ketika mengungkap korupsi simulator uji surat izin mengemudi yang menjerat Inspektur Jenderal Djoko Susilo. Selain itu, sejumlah saksi menyebut keterkaitan pelaku dengan aparat.
Melihat temuan dan rekomendasi tim yang diketuai Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Idham Azis itu, sulit berharap kasus ini terungkap dalam waktu dekat. Rekomendasi tim agar polisi mendalami potensi balas dendam dari pihak-pihak yang kasusnya ditangani Novel memberikan kesan bahwa penyidik itu disiram karena telah melampaui kewenangan ketika menyidik kasus korupsi.
Presiden Joko Widodo harus membentuk tim independen sendiri. Membiarkan kasus ini berlarut-larut hanya akan menggerus kepercayaan publik kepadanya. Jikapun kasus ini melibatkan para pembantunya, Presiden harus menyadari bahwa mereka sekadar “pembantu”—satu-dua orang yang berada dalam genggaman kekuasaannya. Menghukum mereka tidak akan mengguncangkan pemerintahan.
Jokowi hendaknya belajar dari Susilo Bambang Yudhoyono, pendahulunya. Mengusut perkara pembunuhan aktivis hak asasi Munir Said Thalib, ia membentuk tim gabungan pencari fakta (TGPF) berisi 14 orang yang terdiri atas polisi, diplomat, jaksa, aktivis hak asasi manusia, dan dokter forensik. Munir tewas di dalam pesawat Garuda Indonesia penerbangan Jakarta-Amsterdam pada 7 September 2004 karena diracun. Bekerja enam bulan, tim itu melakukan penyelidikan dari bawah dan menemukan bukti kejahatan konspiratif yang melibatkan operasi intelijen. Pollycarpus Budihari Priyanto, pelaku lapangan, divonis 20 tahun penjara. Sebagian otak pembunuhan itu terungkap meski bebas di sidang mahkamah.
TGPF Munir memang gagal menuntaskan perkara. Tapi mereka telah memberikan “kerangka” atas peristiwa berdarah itu. Dalam penanganan perkara Novel, Jokowi harus lebih baik daripada pendahulunya. Jokowi tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan publik kepadanya. Apalagi kalah tangkas dibanding presiden sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo