DI depan Hukum tegak seoran penjaga pintu. Pak Hakim, kita tahu
ini cerita khayal Franz Kafka. Kepda penjaga itu datanglah
seorang dari pedalaman, memohon agar diterima menemui Hukum.
Tapi, Pak Hakim, si penjaga pintu mengatakan bahwa ia tak dapat
memberinya kesempatan untuk diterima saat itu. Khas omongan
seorang petugas.
Maka orang dari pedalaman itu pun berpikir sejenak dan kemudian
bertanya apakah ia akan diizinkan kelak. " Mungkin," sahut si
penjaga.
Pak Hakim, tuan pun akan segera tahu bahwa orang dari pedalaman
yang sabar itu akan menunggu namun sia-sia. Dia menanti di pintu
itu, bertahun-tahun. Terus, tak putus-putus. Ia telah berjalan
jauh. Ia telah memberikan segalanya untuk menyuap si penjaga.
Tapi si penjaga, yang dengan kalem menerima suapan itu, hanya
mengatakan, "Saya menerima ini agar kamu tak mengira bahwa kamu
telah meniadakan apa saja."
Tak jelas apa maksudnya. Tapi, Pak Hakim, si orang dusun itu tak
bisa lagi menyoal. Ia menanti saja, seraya matanya tak
henti-hentinya memandangi si penjaga pintu. Lalu diam-diam ia
mengutuk nasib, makin lama makin pelan.
Di depan pintu itu ia pun jadi tua. Pandangannya rabun. Akhirnya
ia kian tak tahu, adakah dunia di luar memang telah bertambah
gelap, ataukah matanya saja yang telah menipunya. Tak lama lagi,
ia mati. Toh Kafka menulis, bahwa dalam kegelapan menjelang
ajalnya orang dusun itu sadar, akan "sebuah cahaya yang mengalir
tak terpadamkan dari gerbang Hukum."
Kita tak tahu adakah Kafka mau menghibur. Kedengarannya ia
justru mengiris, mencemooh, dengan menyebut harapan yang tak
pernah terjangkau, tapi sementara itu menggamit-gamit.
Maka, Pak Hakim, mengapakah jalan mencari keadilan begitu
panjang, dan si penjaga pintu begitu berkuasa?
**
KARENA hidup kian rumit, jawab pak Hakim. Karena kita tidak
berada di zaman Nabi Sulaiman. Di masa Nabi Sulaiman, menurut
kisah, seorang ibu datang menghadap. Ia ingin mempersoalkan
hilangnya bayi yang dilahirkannya. Ia menggugat bahwa seorang
wanita lain, yang anaknya mati, telah mengambil bayi itu dari
sampingnya, lalu menukarnya dengan mayat.
Di zaman Nabi Sulaiman, prosedur mudah. Raja itu hanya
memutuskan, "Begini . . . ," dan penyelesaian dianggap jelas.
Tak ada naik banding. Tak ada advokat. Tak ada uang sogok.
Proses di balairung itu ditetapkan dengan kearifan seorang
besar, yang diakui.
Tapi mana kini ada Nabi lagi? Kita makin tahu daifnya manusia.
Kita mengenal prasangka-prasangkanya yang picik. Kita merasakan
sendiri kelemahan pikiran dan hatinya. Kita melihatnya
terapung-apung dalam masalah-masalah yang makin kompleks. Ia
megap-megap. Ia memerlukan pegangan. Ia memerlukan sesuatu yang
bisa dianut, sekaligus bila perlu ditelaah kembali, atau diubah
dan diperbaharui.
Maka, makin berjibunlah perundang-undangan. Jika suatu hari anak
bayimu diambil orang, dan kamu tak bisa merebutnya kembali, kamu
pun harus mengikuti prosedur -- satu prosedur atau seratus
prosedur.
Kamu memekik, "mana keadilan," tapi kamu mungkin tak tahu
undang-undang apa yang akan mengurusi kamu. Undang-Undang
Kewarganegaraan? Undang-Undang Perkawinan? Kitab Hukum Dagang?
Keppres? Perda? Hukum adat? Peraturan Ketua RT?
Kamu juga tak pernah melihat (apalagi membaca) Lembaran Negara.
Para legislator, yang menurut teori telah kamu pilih, praktis
bekerja sonder kamu.
Kamu memang mungkin tak tahu bahwa seorang penulis telah
mengatakan, zaman kita adalah The Age of Disabling Profession"
-- zamannya profesi yang melumpuhkan kemampuan. Jangan kaget --
penulis sekarang memang suka bikin kaget. Tapi memang inilah
suatu masa yang aneh: bila kamu sakit, seorang dari profesi
kedokteran akan datang untuk mengatakan bahwa kamu punya
"problem" dan ia punya "pemecahan". Pada suatu hari yang lain,
bila uangmu dikemplang rekanan, kamu pun harus menyerahkan
soalnya sebagai kasus dan seorang dari profesi hukum akan bilang
dia akan bisa mengurus.
Orang-orang awam seperti kamu harus cepat-cepat pasrah. Para
ahli adalah yang bisa. Dan tentu saja, karena mereka adalah
jenis yang langka, harganya pun tinggi. Dan berkuasa, makin
berkuasa sekali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini