Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Benarkah Bung Karno ?

Roeslan Abdulgani, membantah bahwa alm. Bung Karno pernah minta ampun pada Belanda.

21 Februari 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENDADAK saja pertanyaan itu makin ramai dipersoalkan: betulkah Bung Karno pada 1933 pernah minta ampun pada Belanda? Benarkah ia pernah menulis empat surat pada Pokrol Jenderal Hindia Belanda, memohon agar ia dibebaskan dari tahanan penjara dan sebagai imbalannya akan bekerjasama dengan pemerintah penjajah? Ramainya pertanyaan dimulai dengan tulisan kolomnis tersohor Rosihan Anwar dalam harian Kompas 15 September 1980. Di situ bekas Pemimpin Redaksi Pedoman ini membahas tentang perbedaan analisa politik antara Sukarno dan Hatta. Almarhum Hatta, kata Rosihan, jarang sekali mau berbicara di depan publik tentang perbedaan pandangannya dengan Sukarno. Bahkan konon Hatta pernah mengatakan pada Meutia, putrinya, "Biarlah hal itu saya bawa mati." Toh perbedaan itu tetap bisa diketahui. Salah satu sumber informasi yang berharga menurut Rosihan adalah buku tulisan John Ingleson: Road to Exile -- The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1933. Menurut Rosihan, Ingleson telah memanfaatkan arsip di Negeri Belanda yang dulu rahasia, namun kini telah terbuka. Disebutnya juga beberapa orang Indonesia yang juga mempelajari dan meneliti arsip tersebut antara lain adalah Roeslan Abdulgani dan Mohammad Roem. Mengutip hasil penelitian Ingleson, Rosihan menguraikan tentang perbedaan pandangan Sukarno dan Hatta. Yang paling menarik adalah bagian terakhir tulisan Rosihan yang menyebutkan perbedaan sikap politik kedua tokoh itu terhadap pemerintah jajahan Hindia Belanda: "Hatta bersikap teguh, konsisten dan konsekuen. Sebaliknya Sukarno, ahli pidato yang bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut jika menghadapi keadaan yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya pribadi." Untuk mendukung kesimpulannya itu Rosihan mengutip Ingleson yang menyebut adanya empat surat yang ditulis Sukarno dalam penjara Sukamiskin anggal 30 Agustus, 7, 21 dan 28 September 1933 kepada Pokrol Jenderal Hindia Belanda. Sukarno ditahan sejak 1 Agustus 133. Dalam surat-surat itu Sukarno memohon agar ia dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya Sukarno berjanji tidak lagi akan ambil bagian dalam soal-soal politik untuk masa hidup selanjutnya. Ia mencantumkan sepucuk surat yang ditujukan kepada Dewan Pimpinan Partindo yang isinya permintaan berhenti dari partai. Sukarno juga menyatakan bertobat atas pandangannya sebelumnya yang non-kooperatif. Apabila dibebaskan, ia akan bekerjasama dengan pemerintah. Akhirnya ia menawarkan akan menandatangani apa saja yang dikehendaki pemerintah asal dibebaskan. Rosihan Anwar bukan yang pertama kali mengungkapkan tulisan Ingleson tcrsebut. Hampir setahun sebelumnya, TEMPO pernah juga mengutip adanya surat-surat tersebut (TEMPO, 6 Oktober 1979). Namun reaksi yang timbul dari tulisan Rosihan ternyata cukup ramai. Mahbub Djunaidi, kolomnis yang juga terkenal seperti Rosihan, menanggapinya --juga di Kompas. "Saya terlongo-longo membaca artikel sohib baik saya al-ustadz H. Rosihan Anwar," tulis Mahbub. Ia kemudian menemui bekas istri Bung Karno, Bu Inggit, untuk menanyakan komentarnya tentang surat-surat tersebut. Sebab selama Bung Karno ditahan di penjara Sukamiskin itu Inggit secara teratur seminggu sekali menengoknya. Betulkah Sukarno pernah nenulis surat meminta ampun itu? Betulkah Sukarno seorang yang lemah? "Itu mah mustahil. Pamali buat si Kus (Bu Inggit selalu menyebut Bung Karno dengan Kusno) minta ampun segala macam pada Belanda," jawab Bu Inggit, 94 tahun, seperti dikutip Mahbub. Pendeknya Bu Inggit sama sekali tidak percaya Bung Karno pernah minta ampun pada Belanda. Mahbub meragukan keaslian surat permintaan ampun Bung Karno tersebut. "Apa bukan hasil ciptaan kaum intel yang sering punya bakat besar mengarang cerita fiktif," tanya Mahbub. Muncul kemudian Mohamad Roem Bekas Menlu yang pernah menjadi tahanan politik semasa pemerintahan Sukarno ini juga meragukan keaslian "surat-surat pengkhianatan Sukarno" itu. Setelah membaca tulisan Rosihan Anwar, "saya juga melongo seperti Mahbub Djunaidi," tulis Roem dalam Kompas akhir bulan lalu. Walau belum membaca buku Ingleson, Roem sempat meneliti isi surat tersebut berdasar fotokopi yang diperolehnya dari Negeri Belanda. Surat yang empat pucuk itu, kata Roem, ternyata hanya salinan autentik saja, yang diketik oleh pejabat yang berwenang dan tidak ditandatangani Sukarno sendiri, melainkan hanya w.g. Soekarno (ditandatangani Sukarno). Artinya, menurut Roem, dari surat palsu juga dapat dibuat salinan yang autentik. Roem, 73 tahun, menyebut adanya beberapa kejanggalan. Jika surat itu benar ada, itu merupakan kesempatan emas bagi Belanda untuk menghabiskan Soekarno. Jika Belanda mau menyingkirkan Sukarno atau membunuh dia secara politis, yang paling mudah adalah dengan membebaskannya dan menunggu dia melakukan kegiatan politik. Itu berarti dia sudah melanggar janji dan Belanda bisa menahan dan mengasingkannya. Lebih lagi Belanda bisa mengumumkan surat-surat Sukarno yang minta ampun dan bertobat. Sukarno sndiri dalam salah satu surat itu mngatakan ia akan diolok-olok dan diludahi orang kalau suratnya diumumkan. Menurut Roem, ia juga menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa Belanda yang dipakai dalam surat itu. Padahal bahasa Belanda Bung Karno yang lulusan HBS paling tidak setingkat dengan Roem yang lulusan AMS. Keganjilan lain pada surat kedua disebutkan tentang adanya surat Sukarno pada Partindo dan pada istrinya. Yang untuk Partindo isinya pengunduran diri Sukarno dari pengurus besar partai dan sebagai anggota. Surat pada istrinya isinya agar Bu Inggit menutup pintu rumah untuk kaum pergerakan. "Anehnya kedua surat ini tidak ada," kata Roem. Roem menyimpulkan, "Selama surat yang asli belum ditemukan, selama itu pula kebenaran bahwa Sukarno pernah minta ampun belum bisa diterima," kata Roem. Bantahan juga datang dari pihak lain. "Tidak benar kalau Bung Karno sampai minta ampun. Itu nonsens," kata Maskun Sumadiredja. Ketua Umum Perintis Kemerdekaan Indonesia, Maskun, 74 tahun, merupakan tokoh PNI (Partai Nasional Indonsia) pada masa awal kelahiran partai ini. Bersama Bung Karno ia pernah ditahan di Sukamiskin pada 1929 dan kemudian bersama Bung Hatta ia dibuang ke Digul. Menurut Maskun, Bung Karno memang pernah menyampaikan secara lisan pada Bu Inggit bahwa ia akan mengundurkan diri dari gelanggang politik. "Itu disampaikan secara lisan. Jadi tidak benar bahwa Bung Karno pernah berkirim surat pada Bu Inggit," ujar Maskun. Bu Inggit kemudian menyampaikan hal itu pada Maskun "Istri saya dan anak saya waktu itu kan tinggal di rumah Bu Inggit, jadi saya selalu ke sana," tambahnya. Jadi yang benar, kata Maskun, Bung Karno memang pernah berniat mengundurkan diri dari politik. Menurut analisanya, niat Bung Karno itu karena hendak mengikuti langkah Ki Hajar Dewantara dan Douwes Dekker. Maskun membenarkan, Bung Karno memang mengirim surat pada pimpinan Partindo yang isinya pernyataan pengunduran dirinya dari partai. "Semua orang Partindo tahu. Kan geger Partindo waktu itu," kata Maskun. Surat pengunduran diri Bung Karno itu memang sangat menimbulkan kecaman yang luas pada Sukarno. Potret Bung Karno yang semula didewa-dewakan konon banyak yang diturunkan atau dirobek-robek. Bung Hatta dalam tulisannya di Daoelat Ra'jat 30 November 1933 menyebut kejadian itu "Tragedie Soekarno" dan menyimpulkan bahwa untuk gerakan massa yang akan datang Sukarno sebagai orang politik telah mati. Percintaan Politik Roeslan Abdulgani, Ketua Tim P-7 yang juga pernah meneliti arsip yang sama di Negeri Belanda, menganggap surat-surat Sukarno itu "nadanya terlalu fantastis". Ia mengambil perumpamaan: Bung Karno bisa menulis I love you baik kepada Hartini maupun Dewi. "Lha pada siapa yang benar? Mungkin surat itu hanya semacam percintaan politik Bung Karno," kata Roeslan sambil tertawa. Roeslan sendiri meneliti arsip tersebut pada 1972. Sebelum pergi Bung Hatta berpesan agar Roeslan mencarikan arsip tentang pergerakan nasional sekitar tahun 1930-an. "Dan surat-surat Bung Karno itu saya temukan. Tapi surat itu ketikan dan bukan tulisan tangan Bung Karno," kata Roeslan. Tatkala kembali ke Indonesia akhir 1972 fotokopi surat itu diberikannya pada Bung Hatta. Apa komentar Bung Hatta? "Bung Hatta hanya tertawa saja," sahut Roeslan. Roeslan yang dikenal pernah dekat dengan Bung Karno menganggap presiden pertama RI ini selalu tegas dalam setiap krisis. "Misalnya dalam Peristiwa Madiun dan Peristiwa 17 Oktober 1952," kata Roeslan. Tampaknya dalam hal ini Roeslan berbeda pandangan dengan Rosihan Anwar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus