MENDADAK saja pertanyaan itu makin ramai dipersoalkan: betulkah
Bung Karno pada 1933 pernah minta ampun pada Belanda? Benarkah
ia pernah menulis empat surat pada Pokrol Jenderal Hindia
Belanda, memohon agar ia dibebaskan dari tahanan penjara dan
sebagai imbalannya akan bekerjasama dengan pemerintah penjajah?
Ramainya pertanyaan dimulai dengan tulisan kolomnis tersohor
Rosihan Anwar dalam harian Kompas 15 September 1980. Di situ
bekas Pemimpin Redaksi Pedoman ini membahas tentang perbedaan
analisa politik antara Sukarno dan Hatta. Almarhum Hatta, kata
Rosihan, jarang sekali mau berbicara di depan publik tentang
perbedaan pandangannya dengan Sukarno. Bahkan konon Hatta pernah
mengatakan pada Meutia, putrinya, "Biarlah hal itu saya bawa
mati."
Toh perbedaan itu tetap bisa diketahui. Salah satu sumber
informasi yang berharga menurut Rosihan adalah buku tulisan John
Ingleson: Road to Exile -- The Indonesian Nationalist Movement,
1927-1933.
Menurut Rosihan, Ingleson telah memanfaatkan arsip di Negeri
Belanda yang dulu rahasia, namun kini telah terbuka. Disebutnya
juga beberapa orang Indonesia yang juga mempelajari dan meneliti
arsip tersebut antara lain adalah Roeslan Abdulgani dan
Mohammad Roem.
Mengutip hasil penelitian Ingleson, Rosihan menguraikan tentang
perbedaan pandangan Sukarno dan Hatta. Yang paling menarik
adalah bagian terakhir tulisan Rosihan yang menyebutkan
perbedaan sikap politik kedua tokoh itu terhadap pemerintah
jajahan Hindia Belanda: "Hatta bersikap teguh, konsisten dan
konsekuen. Sebaliknya Sukarno, ahli pidato yang
bergembar-gembor, lekas bertekuk lutut jika menghadapi keadaan
yang sulit dan tidak menyenangkan bagi dirinya pribadi."
Untuk mendukung kesimpulannya itu Rosihan mengutip Ingleson yang
menyebut adanya empat surat yang ditulis Sukarno dalam penjara
Sukamiskin anggal 30 Agustus, 7, 21 dan 28 September 1933
kepada Pokrol Jenderal Hindia Belanda. Sukarno ditahan sejak 1
Agustus 133. Dalam surat-surat itu Sukarno memohon agar ia
dibebaskan dari tahanan penjara. Sebagai gantinya Sukarno
berjanji tidak lagi akan ambil bagian dalam soal-soal politik
untuk masa hidup selanjutnya. Ia mencantumkan sepucuk surat yang
ditujukan kepada Dewan Pimpinan Partindo yang isinya permintaan
berhenti dari partai.
Sukarno juga menyatakan bertobat atas pandangannya
sebelumnya yang non-kooperatif. Apabila dibebaskan, ia akan
bekerjasama dengan pemerintah. Akhirnya ia menawarkan akan
menandatangani apa saja yang dikehendaki pemerintah asal
dibebaskan.
Rosihan Anwar bukan yang pertama kali mengungkapkan tulisan
Ingleson tcrsebut. Hampir setahun sebelumnya, TEMPO pernah juga
mengutip adanya surat-surat tersebut (TEMPO, 6 Oktober 1979).
Namun reaksi yang timbul dari tulisan Rosihan ternyata cukup
ramai.
Mahbub Djunaidi, kolomnis yang juga terkenal seperti Rosihan,
menanggapinya --juga di Kompas. "Saya terlongo-longo membaca
artikel sohib baik saya al-ustadz H. Rosihan Anwar," tulis
Mahbub. Ia kemudian menemui bekas istri Bung Karno, Bu Inggit,
untuk menanyakan komentarnya tentang surat-surat tersebut.
Sebab selama Bung Karno ditahan di penjara Sukamiskin itu
Inggit secara teratur seminggu sekali menengoknya. Betulkah
Sukarno pernah nenulis surat meminta ampun itu? Betulkah
Sukarno seorang yang lemah?
"Itu mah mustahil. Pamali buat si Kus (Bu Inggit selalu
menyebut Bung Karno dengan Kusno) minta ampun segala macam pada
Belanda," jawab Bu Inggit, 94 tahun, seperti dikutip Mahbub.
Pendeknya Bu Inggit sama sekali tidak percaya Bung Karno pernah
minta ampun pada Belanda.
Mahbub meragukan keaslian surat permintaan ampun Bung Karno
tersebut. "Apa bukan hasil ciptaan kaum intel yang sering punya
bakat besar mengarang cerita fiktif," tanya Mahbub. Muncul
kemudian Mohamad Roem Bekas Menlu yang pernah menjadi tahanan
politik semasa pemerintahan Sukarno ini juga meragukan keaslian
"surat-surat pengkhianatan Sukarno" itu. Setelah membaca tulisan
Rosihan Anwar, "saya juga melongo seperti Mahbub Djunaidi,"
tulis Roem dalam Kompas akhir bulan lalu. Walau belum membaca
buku Ingleson, Roem sempat meneliti isi surat tersebut berdasar
fotokopi yang diperolehnya dari Negeri Belanda.
Surat yang empat pucuk itu, kata Roem, ternyata hanya salinan
autentik saja, yang diketik oleh pejabat yang berwenang dan
tidak ditandatangani Sukarno sendiri, melainkan hanya w.g.
Soekarno (ditandatangani Sukarno). Artinya, menurut Roem, dari
surat palsu juga dapat dibuat salinan yang autentik.
Roem, 73 tahun, menyebut adanya beberapa kejanggalan. Jika
surat itu benar ada, itu merupakan kesempatan emas bagi Belanda
untuk menghabiskan Soekarno. Jika Belanda mau menyingkirkan
Sukarno atau membunuh dia secara politis, yang paling mudah
adalah dengan membebaskannya dan menunggu dia melakukan
kegiatan politik. Itu berarti dia sudah melanggar janji dan
Belanda bisa menahan dan mengasingkannya. Lebih lagi Belanda
bisa mengumumkan surat-surat Sukarno yang minta ampun dan
bertobat. Sukarno sndiri dalam salah satu surat itu mngatakan
ia akan diolok-olok dan diludahi orang kalau suratnya diumumkan.
Menurut Roem, ia juga menemukan beberapa kesalahan dalam bahasa
Belanda yang dipakai dalam surat itu. Padahal bahasa Belanda
Bung Karno yang lulusan HBS paling tidak setingkat dengan Roem
yang lulusan AMS.
Keganjilan lain pada surat kedua disebutkan tentang adanya surat
Sukarno pada Partindo dan pada istrinya. Yang untuk Partindo
isinya pengunduran diri Sukarno dari pengurus besar partai dan
sebagai anggota. Surat pada istrinya isinya agar Bu Inggit
menutup pintu rumah untuk kaum pergerakan. "Anehnya kedua surat
ini tidak ada," kata Roem.
Roem menyimpulkan, "Selama surat yang asli belum ditemukan,
selama itu pula kebenaran bahwa Sukarno pernah minta ampun belum
bisa diterima," kata Roem.
Bantahan juga datang dari pihak lain. "Tidak benar kalau Bung
Karno sampai minta ampun. Itu nonsens," kata Maskun Sumadiredja.
Ketua Umum Perintis Kemerdekaan Indonesia, Maskun, 74 tahun,
merupakan tokoh PNI (Partai Nasional Indonsia) pada masa awal
kelahiran partai ini. Bersama Bung Karno ia pernah ditahan di
Sukamiskin pada 1929 dan kemudian bersama Bung Hatta ia dibuang
ke Digul.
Menurut Maskun, Bung Karno memang pernah menyampaikan secara
lisan pada Bu Inggit bahwa ia akan mengundurkan diri dari
gelanggang politik. "Itu disampaikan secara lisan. Jadi tidak
benar bahwa Bung Karno pernah berkirim surat pada Bu Inggit,"
ujar Maskun. Bu Inggit kemudian menyampaikan hal itu pada Maskun
"Istri saya dan anak saya waktu itu kan tinggal di rumah Bu
Inggit, jadi saya selalu ke sana," tambahnya.
Jadi yang benar, kata Maskun, Bung Karno memang pernah berniat
mengundurkan diri dari politik. Menurut analisanya, niat Bung
Karno itu karena hendak mengikuti langkah Ki Hajar Dewantara dan
Douwes Dekker. Maskun membenarkan, Bung Karno memang mengirim
surat pada pimpinan Partindo yang isinya pernyataan pengunduran
dirinya dari partai. "Semua orang Partindo tahu. Kan geger
Partindo waktu itu," kata Maskun.
Surat pengunduran diri Bung Karno itu memang sangat menimbulkan
kecaman yang luas pada Sukarno. Potret Bung Karno yang semula
didewa-dewakan konon banyak yang diturunkan atau dirobek-robek.
Bung Hatta dalam tulisannya di Daoelat Ra'jat 30 November 1933
menyebut kejadian itu "Tragedie Soekarno" dan menyimpulkan bahwa
untuk gerakan massa yang akan datang Sukarno sebagai orang
politik telah mati.
Percintaan Politik
Roeslan Abdulgani, Ketua Tim P-7 yang juga pernah meneliti arsip
yang sama di Negeri Belanda, menganggap surat-surat Sukarno itu
"nadanya terlalu fantastis". Ia mengambil perumpamaan: Bung
Karno bisa menulis I love you baik kepada Hartini maupun Dewi.
"Lha pada siapa yang benar? Mungkin surat itu hanya semacam
percintaan politik Bung Karno," kata Roeslan sambil tertawa.
Roeslan sendiri meneliti arsip tersebut pada 1972. Sebelum pergi
Bung Hatta berpesan agar Roeslan mencarikan arsip tentang
pergerakan nasional sekitar tahun 1930-an. "Dan surat-surat Bung
Karno itu saya temukan. Tapi surat itu ketikan dan bukan tulisan
tangan Bung Karno," kata Roeslan.
Tatkala kembali ke Indonesia akhir 1972 fotokopi surat itu
diberikannya pada Bung Hatta. Apa komentar Bung Hatta? "Bung
Hatta hanya tertawa saja," sahut Roeslan.
Roeslan yang dikenal pernah dekat dengan Bung Karno menganggap
presiden pertama RI ini selalu tegas dalam setiap krisis.
"Misalnya dalam Peristiwa Madiun dan Peristiwa 17 Oktober 1952,"
kata Roeslan.
Tampaknya dalam hal ini Roeslan berbeda pandangan dengan Rosihan
Anwar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini