AWAL kehebohan ini adalah John Ingleson. Pada 1979 bukunya Road
to Exile -- The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934,
terbit. Karya setebal 254 halaman ini merupakan hasil
penelitiannya sebagai mahasiswa pasca sarjana di Departemen
Sejarah Universitas Monash, Australia. Selama satu tahun pada
1973 ia melakukan penelitian di Negeri Belanda, di samping
kemudian dengan penelitian di Indonesia.
Ingleson memilih periode antara 1927-1934 sebagai obyek
penelitiannya. Tapi drama bermula pada Agustus 1933. Pemerintah
Hindia Belanda melarang semua kegiatan politik radikal. Para
tokoh utama gerakan ini dibuang -- antara lain Hatta, Syahrir,
Sukarno, Sartono dan Sukiman.
Sumber utama Ingleson adalah arsip di Kementerian Kolonial dan
Kementerian Kehakiman Belanda. Ia juga banyak memanfaatkan
koleksi surat pribadi, misalnya dari bekas Gubernur Jenderal de
Jonge dan van Limburg Stirum.
Yang paling menarik adalah arsip Kementerian Kolonial periode
1900-1942 yang kini disimpan Kementerian Dalam Negeri di Den
Haag. Banyak di antaranya yang semula merupakan arsip rahasia
yang kini sudah terbuka, misalnya laporan polisi serta
surat-menyurat antara Pokrol Jenderal dan Gubernur Jenderal
Hindia Belanda, yang baru kali ini diungkapkan.
Namun yang paling menggegerkan adalah empat surat yang menurut
penelitian Ingleson diulis Sukarno di penjara Sukamiskin,
Bandung, ketika ia ditahan pada 1 Agustus 1933 karena
kegiatannya di Partindo.
Surat pertama ditulis pada 30 Agtlstus 1933. Ingleson tidak
lengkap mengutipnya. Namun menurut Mohamad Roem, Sukarno
memulainya dengan mengatakan surat itu "confidentieel" -- dengan
permintaan agar jangan mengumumkan isinya, kecuali kalau ia
ingkar janji.
Isinya menghiba-hiba: ia memohon agar ia, begitu juga istri
serta anak dan ibunya yang sudah tua serta ayahnya, jangan
diapa-apakan. Ia mohon dibebaskan dari tuntutan hukum, juga dari
pengasingan. Ia berjanji akan mengundurkan diri dari kehidupan
politik -- dan selanjumya sebagai warganegara yang tenang akan
mencari nafkah untuk keluarga.
Sebagai jaminan adalah suratnya itu. "Jika saya sedikit saja
mengingkari janji, maka umumkanlah surat ini, dan segeralah
asingkan saya, atau biarlah saya merasakan akibat dari
pengingkaran janji itu. Mengingkari janji hanya akan merugikan
saya. Surat ini, jika diumumkan, berarti kematian saya di
kehidupan masyarakat," tulis surat itu.
Ingleson tampaknya yakin bahwa semua surat itu bukan palsu, dan
tidak bisa dianggap sebagai sekedar tulisan dari seseorang yang
menderita tekanan mental selama di penjara.
Toh menurut Ingleson surat itu tidak ada hasilnya. Malah
Gubernur Jenderal de Jonge serta para pembantunya makin yakin
bahwa Sukarno seorang yang lemah dan tidak mantap, dan harus
disingkirkan dari gelanggang politik demi perkembangan yang
sehat dari "masyarakat Hindia". De Jonge tidak ingin menjadikan
Sukarno sebagai martir dengan mengadilinya secara terbuka.
Raad van Indie kemudian mengusulkan pada Gubernur Jenderal agar
Sukarno diasingkan tanpa diadili di suatu tempat selain Digul.
Karena jika ke Digul, Sukarno dikhawatirkan akan bisa mendorong
timbulnya perlawanan di kalangan mereka yang diasingkan di sana.
Akhirnya dipilih Endeh, Flores. Bersama istri dan beberapa
anggota keluarganya, Februari 1934 Sukarno dibuang ke Endeh.
Riwayat surat itu belum berakhir. Menurut penelitian Ingleson,
Letnan Gubernur Jenderal Van Mook, dalam memonya tanggal 3
September 1945 pada Panglima Sekutu di Asia Tenggara, Lord
Mountbatten, mengutip surat Sukarno tersebut. Van Mook
menganggap Sukarno memiliki "mental Quisling" (pengkhianat).
Adakah surat permintaan ampun Sukarno itu betul-betul ada? Dalam
wawancara per telepon dengan wartawan TEMPO di Australia Robin
Osborne, John Ingleson -- yang mengajar di Universitas New South
Wales mengakui bahwa ia juga hanya meneliti fotokopi dari
salinan surat tersebut. Bukannya yang asli. "Namun saya yakin
bahwa surat-surat itu benar 100% katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini