Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

BERTIKAI PANGKAI SEHABIS GEMPA

Dihantam gempa dan tsunami Aceh 14 tahun lalu, kita belum sepenuhnya bisa belajar dari pengalaman.

5 Oktober 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bertikai Pangkai Sehabis Gempa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dihantam gempa dan tsunami Aceh 14 tahun lalu, kita belum sepenuhnya bisa belajar dari pengalaman. Pada 28 September lalu, Palu, Donggala, dan Sigi di Sulawesi Tengah dipukul bencana yang sama. Lebih dari seribu orang dilaporkan tewas.

Rentetan lindu itu dimulai pada pukul 15.00 Waktu Indonesia Tengah dengan magnitudo 5,9. Gempa berikutnya tiba pada pukul 18.02 Wita dengan magnitudo 7,4. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan gempa itu berpotensi menimbulkan tsunami setinggi 0,5-3 meter yang diperkirakan tiba 20 menit kemudian. Peringatan dicabut pada pukul 18.36 Wita berdasarkan “hasil pengamatan petugas di lapangan” yang melihat air laut telah surut. Namun gelombang setinggi 1,5 meter justru datang setelahnya.

Pencabutan peringatan tsunami yang terlalu cepat itu menurunkan level kewaspadaan masyarakat di lokasi bahaya. Tingkat perhatian di luar wilayah gempa otomatis berkurang dan orang baru tersadar ketika melihat video rekaman bencana ber-edar cepat di media sosial. Badan Meteorologi lalu memberikan konfirmasi kebenaran adanya tsunami di Palu, Donggala, Sigi, dan sekitarnya.

Ketika itu, ribuan orang sudah tersapu gelombang, terjebak bangunan runtuh, atau tertimbun tanah yang mencair—disebut sebagai likuefaksi. Pemerintahan lokal lumpuh. Wali Kota dan Wakil Wali Kota Palu ikut mengungsi—membuat mereka absen dalam rapat koordinasi, termasuk setelah dua kali Presiden Joko Widodo datang ke sana. Sejumlah lokasi bencana belum tersentuh bantuan hingga sepekan setelah gempa.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana harus menengok kembali sistem peringatan dini yang kita miliki. Dimulai setelah bencana Aceh 2004, sistem itu kini berantakan. Bahkan, pada 2012, diketahui tak satu pun dari 22 buoy pendeteksi yang dipasang di laut berfungsi baik. Sebagian hilang atau menjadi korban vandalisme. Walhasil, salah satu kesempatan menyelamatkan ribuan nyawa—atau sebagian di antaranya—di Sulawesi Tengah pun sirna.

Pemerintah hendaknya bersikap terbuka terhadap publik. Bersikap defensif, misalnya ketika menyangkal isu penjarahan toko dan barang bantuan, tak boleh lagi terjadi. Mengakui adanya kekurangan lalu memperbaikinya akan jauh lebih diapresiasi publik ketimbang menyembunyikan masalah di bawah karpet.

Keputusan pemerintah pusat membuka pintu bagi bantuan negara lain sudah layak diapresiasi. Begitu juga langkah Jokowi menunjuk Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai komandan penanganan gempa Sulawesi Tengah dengan tugas mempercepat proses rehabilitasi dan rekonstruksi. Kalla memiliki pengalaman menangani bencana Aceh. Ketika itu, setidaknya 25 ribu orang tewas tersapu air bah.

Meski demikian, wewenang Kalla sebagai komandan lapangan itu harus diperjelas. Ia mesti memiliki wewenang penuh penanggulangan bencana Palu sejak tahap tanggap darurat hingga rehabilitasi dan rekonstruksi.

Belajar dari tsunami Aceh, komandan penanganan adalah pekerjaan penuh waktu. Pelbagai problem teknis dan strategis datang silih berganti—dari mengatur logistik hingga mengkoordinasi pelbagai pemangku kepentingan yang kerap bentrok karena kepentingan sektoral. Jika tugas penuh waktu itu tak terpegang, Kalla bisa menunjuk pelaksana harian dengan otoritas penuh.

Pemerintah perlu segera memetakan dampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah. Jika tingkat kerusakannya tidak mungkin tertanggulangi dengan cara-cara biasa, pemerintah bisa membentuk badan rehabilitasi dan rekonstruksi. Menurut undang-undang, proses pemulihan wilayah yang terkena gempa memang menjadi tugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Langkah luar biasa—termasuk, jika diperlukan, menggunakan peraturan pemerintah pengganti undang-undang—selayaknya dipertimbangkan.

Berada di cincin api yang rawan bencana, Indonesia tidak boleh lengah. Prosedur penanganan bencana harus dengan saksama dilaksanakan. Masyarakat mesti mendapat informasi yang cukup—terutama tentang bahaya tsunami setelah gempa yang berpusat di laut.

Segera setelah duka dan pilu mereda, pemerintah mesti membenahi sistem peringatan bahaya itu. Kewajiban ini juga harus ditanggung pemerintah daerah yang memiliki wilayah pantai dengan potensi gempa tinggi. Kegiatan ini memang tidak terlihat nyata di mata publik, berbeda dengan pembangunan fisik semacam infrastruktur. Namun semua mesti dilakukan atas nama perlindungan bagi jutaan jiwa penduduk yang bermukim di sekitar pantai Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus