Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah berani Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan advokat ternama Lucas sebagai tersangka perintangan penyidikan kasus korupsi patut diapresiasi. Penahanannya pada pertengahan pekan lalu merupakan penegasan bahwa KPK serius menyidik semua pihak yang sengaja menghalangi kerja-kerja pengusutan skandal korupsi.
Sudah terlalu lama para advokat bersembunyi di balik Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat untuk menjustifikasi praktik kotor mereka. Dengan dalih menjalankan tugas profesi, para advokat kerap menghalalkan segala cara agar kliennya tak dijebloskan ke penjara. Mereka lupa bahwa profesi advokat hanya bisa kebal dari tuntutan perdata dan pidana jika pendampingan klien dilakukan dengan “iktikad baik”.
Tindakan Lucas membantu koleganya, mantan Presiden Komisaris Lippo Group, Eddy Sindoro, menghindari penyidikan dan kabur lagi ke luar negeri pada akhir Agustus lalu tentu sulit dikategorikan sebagai pendampingan dengan “iktikad baik”. Sudah sepantasnya dia dijatuhi hukuman berat agar tidak ada lagi advokat yang menyalahgunakan profesi mulia itu. Sesuai dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Lucas terancam dipenjara selama-lamanya 12 tahun dengan denda paling banyak Rp 600 juta. Vonis tujuh tahun penjara untuk advokat Fredrich Yunadi, yang menghalangi penyidikan KPK atas politikus Golkar, Setya Novanto, bisa menjadi tolok ukur obyektif.
Penahanan Lucas juga merupakan kesempatan bagi KPK untuk mengusut pihak lain yang terlibat dalam manuver Eddy menghindari jerat hukum. Ketika eks bos Lippo itu dideportasi Imigrasi Malaysia, Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur seharusnya segera memberi tahu aparat penegak hukum di Tanah Air. Penyidik KPK akan sangat terbantu jika Kementerian Luar Negeri proaktif memeriksa jajaran KBRI di Kuala Lumpur untuk memastikan tidak ada unsur kesengajaan menghalangi upaya pemberantasan korupsi.
Direktorat Jenderal Imigrasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia juga patut diperiksa lebih mendalam. Kegagalan mereka mencatat kedatangan Eddy di Bandar Udara Soekarno-Hatta sulit diterima akal sehat. Mereka kecolongan dua kali karena Eddy kemudian lolos dengan penerbangan berikutnya ke Kamboja, lagi-lagi tanpa melalui pemeriksaan Imigrasi.
Terlambatnya pengiriman notifikasi soal kaburnya Eddy (lazim disebut red notice) ke Interpol juga patut diusut tuntas. Kalau saja notifikasi itu dikirimkan lebih awal dari Kepolisian RI, ruang gerak tersangka akan sangat terbatas.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, serta Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian sudah seharusnya membuka pintu lebar-lebar buat penyidik KPK yang hendak memeriksa anak buah mereka. Semua pihak, termasuk jajaran KPK sendiri, harus melakukan audit internal untuk memastikan tidak ada unsur penegak hukum yang justru menyabot upaya pemberantasan korupsi.
Lolosnya buron kelas kakap seperti Eddy Sindoro jelas merupakan tamparan keras di wajah KPK. Padahal dia diduga memainkan peran sentral dalam kasus penyuapan sejumlah panitera dan perangkat peradilan sampai jajaran Mahkamah Agung. Perkara suap miliaran rupiah itu konon terkait dengan upaya mengamankan grup Lippo dari berbagai kasus pidana dan perdata.
Kita berkepentingan mendorong lembaga yudikatif bersih dari praktik korupsi agar semua warga negara diperlakukan sejajar di depan hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo