Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam artikel berjudul “Donggala atau Pantoloan” pada edisi 6 Desember 1975, Tempo mengupas rencana pemerintah membuat pelabuhan di timur Teluk Palu itu, persisnya di Pantoloan. Wilayah ini berseberangan dengan Pelabuhan Donggala, yang terletak di sisi barat Teluk Palu. Sebelum proyek itu dibangun, kapal-kapal dari berbagai wilayah banyak bersandar di pelabuhan ini untuk keperluan niaga ataupun mobilitas penduduk. Meski pelabuhan itu tak terlalu besar, orang Sulawesi Tengah banyak mengandalkannya sebagai prasarana transportasi laut.
Gagasan pemerintah memindahkan pelabuhan ke Pantoloan tercetus karena Pelabuhan Donggala dianggap sudah tak layak. Ada kendala akibat wilayah laut di sekitar Pelabuhan Donggala yang tergolong dangkal. Karena faktor itu, kapal-kapal tidak bisa merapat langsung di dermaga. Setiap penumpang dan barang bawaan yang akan menjangkau bibir pantai harus dipindahkan ke getek bertenaga motor.
Cara ini tentu sangat lambat dan tradisional. Apa boleh buat, hanya itu satu-satunya cara yang bisa ditempuh. Opsi memindahkan pelabuhan ke Pantoloan, karena itu, dianggap bakal menjadi solusi terbaik. Apalagi rencana pemerintah setempat memperbaiki Pelabuhan Donggala tak kunjung selesai. Sejumlah tiang pancang beton yang ditancapkan pada 1969 (kala itu bernilai Rp 90 juta) terlihat mangkrak.
Untuk keperluan relokasi tahap awal, pemerintah mencairkan anggaran sebesar Rp 490 juta dari total Rp 3 miliar dana yang dibutuhkan. Rencana pembangunan pelabuhan terbagi dalam beberapa tahap, disesuaikan dengan anggaran pemerintah setempat. Jika proyek ini rampung, Pelabuhan Pantoloan bisa menjadi tempat bersandar kapal-kapal besar, termasuk untuk keperluan ekspor-impor.
Kebijakan itu belakangan menuai kontroversi. Sejumlah pengamat menilai pelabuhan tersebut belum didesain untuk bertahan menghadapi gempa skala besar akibat pergerakan sesar Palu-Koro. Sesar Palu-Koro merupakan patahan terpanjang kedua di Indonesia setelah sesar Sumatera yang terbentang sepanjang 500 kilometer. Setengah di antaranya berada di darat. Sesar ini membelah Sulawesi dari utara Teluk Palu hingga Teluk Bone di bagian selatan.
Di wilayah Tondo-Mambrono, gempa juga pernah menyapu perkampungan penduduk. Sejumlah bangunan ambles akibat gerakan dari dalam tanah. Efek gempa pun masih terlihat di wilayah Mapaga, yang menyisakan jejak berupa lubang menganga dengan kedalaman tak terduga. Pemerintah di wilayah Tawaili-Parigi juga kerap mengeluarkan dana yang cukup besar untuk memperbaiki sejumlah ruas jalan yang terus bergerak.
Jika pemerintah jeli, sebetulnya informasi gempa yang mengintai wilayah ini sudah lama ada. Pemerintah kolonial Belanda bahkan sudah meneliti rencana pemindahan pelabuhan ini, yang lalu batal akibat hasil penelitian gempa. Riset yang dibuat Sarasin bersaudara pada 1901 mengungkap gempa di pesisir Selat Makassar pernah mengguncang dengan kekuatan 7-8 pada skala Richter. Kekuatan gempa sebesar itu bisa melahirkan gelombang tsunami.
Penelitian Direktorat Geologi di Bandung yang bekerja sama dengan USAID di kemudian hari juga memperkuat kesimpulan Sarasin bersaudara. Rata-rata kedalaman pusat gempa di Selat Makassar 36-765 kilometer di perut bumi. Karena itulah muncul kritik dan pertanyaan dari sejumlah kalangan apakah rencana relokasi pelabuhan dari Donggala ke Pantoloan masih layak dilanjutkan.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Oktober 1992. Dapatkan arsip digitalnya di: https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201301110044/ford-sini-dong-gerald-ford#.W7YuMdczaUl
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo