Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah bohong Ratna Sarumpaet tentang peng-aniayaan dirinya memperlihatkan kekerdilan kita dalam berpolitik. Penyokong pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilihan Umum 2019 tak segan menciptakan kabar bohong buat menyerang lawan. Perilaku ini akan merusak demokrasi sekaligus menciptakan permusuhan di tengah masyarakat.
Motif politik elektoral di balik kebohongan Ratna tampak terang-benderang. Dia mengklaim dianiaya tiga orang tak dikenal di dekat Bandar Udara Husein Sastranegara, Bandung, pada 21 September lalu. Tapi yang dilapori Ratna bukan polisi, melainkan teman-teman politikusnya dan calon presiden Prabowo Subianto. Kubu Prabowo kemudian menggelar konferensi pers yang mengutuk keras penganiayaan terhadap Ratna.
Kebohongan itu terkuak setelah polisi mengungkap hasil penyelidikannya. Bonyok di wajah seniman teater itu ternyata efek dari operasi plastik di sebuah klinik kecantikan di Jakarta. Ratna sendiri akhirnya mengakui hal tersebut—ulah yang menyebabkan ia dipecat sebagai juru kampanye pasangan Prabowo-Sandiaga Uno.
Drama memalukan ini masih berlanjut karena polisi terus mengusut kasus Ratna. Kamis pekan lalu, polisi menangkap Ratna di Bandara Soekarno-Hatta ketika ia hendak terbang menuju Santiago, Cile, mengikuti konferensi internasional wanita penulis naskah drama.
Kebohongan Ratna menambah panjang daftar hoaks menjelang pemilihan presiden. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan, sepanjang 2017, sekitar 760 ribu kabar bohong dan ujaran kebencian disebarkan di media sosial. Sedangkan hasil penelitian Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia sepanjang Juli-September menunjukkan hampir 59 persen hoaks yang beredar di media berkaitan dengan pemilihan presiden dan kebanyakan digunakan untuk menyerang lawan politik.
Fenomena itu amat mengkhawatirkan. Kabar bohong yang terus direproduksi untuk propaganda politik akan selalu memunculkan pertikaian. Pada pemilihan presiden 2014 dan pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang lalu, hoaks bahkan memperuncing gesekan berbau ras dan agama. Propaganda hitam juga menutupi informasi yang lebih penting bagi pemilih, yakni rekam jejak serta visi dan program kerja calon.
Pencipta dan penyebar hoaks harus dibuat sadar bahwa mereka telah melakukan kejahatan yang membahayakan demokrasi. Aparat serta Kementerian Komunikasi dan Informatika dapat menggunakan aturan dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik untuk membendung kabar bohong di media sosial. Pencipta dan penyebar kabar bohong bisa diusut tanpa harus mengorbankan kebebasan publik untuk berpendapat.
Kepolisian mesti menangani kasus hoaks secara adil karena praktik kotor ini dilakukan baik oleh pendukung pasangan Prabowo-Sandiaga maupun Joko Widodo-Ma’ruf Amin. Jangan sampai polisi hanya gesit mengusut kasus Ratna tapi lamban dalam mengungkap kasus lain. Kampanye hitam terhadap calon wakil presiden Sandiaga Uno oleh sebuah situs abal-abal merupakan contoh kasus hoaks yang belum diusut hingga sekarang.
Masyarakat pun memiliki peran penting dalam menangkal kabar bohong. Caranya: tidak menyebarkan informasi yang belum terkonfirmasi kebenarannya. Publik harus kritis terhadap kabar yang berseliweran di media sosial. Kasus Ratna Sarumpaet merupakan pelajaran berharga bagi kita semua untuk tidak mudah percaya kepada kabar yang belum terverifikasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo