Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di dunia ini, manusia biasa menikmati atau berhadapan dengan hal-hal yang aneh. Di dunia statistik kita mengenal istilah outlier untuk menggambarkan hal-hal yang tidak normal. Dalam bahasa Inggris ada istilah oxymoron untuk menjelaskan dua arti atau karakter yang bertolak belakang, seperti Yin dan Yang, atau seperti julukan yang dulu diberikan bagi Presiden Soeharto: The Smiling General.
Selama sekitar 17 tahun kita juga menikmati keanehan lembaga negara yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi. Aneh karena KPK tidak sama persis dengan lembaga negara lain, baik struktur organisasinya yang punya lima pemimpin; pegawainya yang bukan hanya aparatur sipil negara (ASN); cara kerjanya yang tidak semata-mata menyidik atau menuntut seperti kepolisian dan kejaksaan, melainkan keduanya dan tidak boleh dihentikan kalau sudah mulai menyidik (tidak ada surat perintah penghentian penyidikan/SP3); maupun auditor internalnya yang berbeda dengan aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) di kementerian/lembaga. Dan KPK baik-baik saja dengan keanehannya.
Sedari kecil kita diajari bahwa, kalau pemimpin lebih dari satu, akan terjadi kekacauan, kegaduhan, dan sebagainya. Seperti dalam pepatah satu kapal dua nakhoda atau istilah “matahari kembar”. Di KPK, nakhodanya lima dan bukan paket tim seperti dalam pemilihan direksi badan usaha milik negara atau PT Bursa Efek Indonesia, yang sudah saling mengenal dan siap bekerja sama bila menang dalam pemilihan. Dan belum pernah terdengar sepanjang usia KPK sesama pemimpin saling menimbulkan kegaduhan, kecuali beberapa hari terakhir ini, saat ada pemimpin KPK yang membantah pemimpin lain KPK. Satu kapal lima nakhoda di KPK selama ini aman-aman saja.
Pegawainya pun aneh, terdiri atas tiga kelompok: pegawai tetap yang sama persis dengan pegawai swasta tapi bekerja di lembaga negara, ASN, dan pegawai tidak tetap yang mirip pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K). Semuanya akur dan tergabung dalam serikat pekerja KPK yang mereka beri nama Wadah Pegawai.
Belum pernah pula terdengar keributan di antara kelompok pegawai tersebut padahal setiap kelompok bisa membatasi jenjang karier kelompok lain. Misalnya penuntut harus jaksa sehingga yang bukan jaksa tidak akan bisa menjadi jaksa penuntut umum di pengadilan tindak pidana korupsi yang disampaikan KPK ke pengadilan negeri. Mirip pegawai swasta dan tidak sama dengan pegawai negeri sipil atau anggota Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian RI, yang kalau sudah pensiun menerima uang pensiun bulanan, pegawai KPK ketika purnabakti menerima pesangon sekali saja, mirip mengelola dana pensiun sendiri dan tidak ikut program PT Taspen. Sampai sekarang pun tak ada pensiunan pegawai KPK yang mengeluh tidak menerima uang pensiun bulanan seperti pegawai negeri atau anggota TNI/Polri.
Tugas dan fungsi KPK pun oxymoron: mencegah tapi juga menindak korupsi. Dan selama ini aman-aman saja dua deputi yang membidangi pencegahan dan penindakan. Demikian pula tugas dan fungsi Deputi Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat (PIPM), yang mendukung Deputi Penindakan dengan menindaklanjuti aduan masyarakat, yang setiap tahun berjumlah ribuan dan tidak jarang diselesaikan oleh Deputi Penindakan hingga ke pengadilan dengan rekor yang “nyaris” tak terkalahkan. Dikatakan nyaris karena ada satu putusan kasasi yang memenangkan terdakwa. Artinya, selain yang satu itu, ujungnya sangat bagus bagi KPK.
Yang tidak kalah hebat adalah pegawai Direktorat Pengawasan Internal di Deputi PIPM, yang bisa memeriksa pemimpin KPK. Meskipun tidak bisa memberikan sanksi, mereka dapat merekomendasikan pembentukan komite etik untuk memeriksa pemimpin KPK lebih lanjut. Ini tidak pernah ada di APIP kementerian/lembaga karena APIP secara teoretis adalah “mata dan telinga” menteri atau ketua/kepala kementerian/lembaga sehingga tidak bisa memeriksa pemimpin tertinggi mereka. Tidak mengherankan kalau salah seorang pemimpin KPK mengumumkan ada kandidat pemimpin lembaga itu yang diduga bermasalah berdasarkan pemeriksaan auditor internal KPK.
KPK memang benar-benar oxymoron, meskipun aneh seperti uraian di atas. KPK adalah lembaga yang dibiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sehingga patuh pada berbagai peraturan perundang-undangan lembaga negara/pemerintah. KPK diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan, yang opininya hingga 2018 selalu wajar tanpa pengecualian. Ini artinya pengelolaan keuangan mereka bagus. Pengelolaan kinerja mereka juga senantiasa dianugerahi nilai tinggi oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Laporan akuntabilitas KPK selalu diberi nilai A. Tidak banyak lembaga negara/pemerintah yang seperti itu. KPK juga menggunakan balanced score-card (BSC) sebagai perencanaan strategis untuk mencapai visi pemimpin yang dipilih Dewan Perwakilan Rakyat. Tidak banyak lembaga negara/pemerintah yang menggunakan BSC. Salah satunya Kementerian Keuangan.
Pemimpinnya pun tidak pernah mbalelo, tidak hadir kalau diundang DPR, kecuali undangan itu terkait dengan hal-hal yang sedang dalam proses pengadilan atau penyidikan. Saran-saran DPR juga senantiasa ditindaklanjuti. Jadi memang KPK selama ini dikelola dengan baik, termasuk dalam hal penyadapan, yang tidak boleh dilakukan pegawai KPK tanpa persetujuan pemimpin atau tidak sesuai dengan standar (lawful interception). Hasilnya juga harus dipertanggungjawabkan dan beberapa kali diperdengarkan di pengadilan. Hakim pun memvonis bersalah orang-orang yang disadap tersebut sehingga bisa disimpulkan penyadapan yang dilakukan pegawai KPK benar-benar sesuai.
Lalu tiba-tiba sekelompok orang di DPR membuat usul agar KPK menjadi lembaga yang biasa-biasa saja, tidak lagi oxymoron. Giri Suprapdiono di Jawa Pos edisi Sabtu, 7 September 2019, meringkasnya menjadi lima poin.
Pertama, mengubah pegawai KPK menjadi ASN sehingga komposisinya terdiri atas PNS dan P3K. Jadi sama dengan pegawai kementerian/lembaga pada umumnya. Tidak lagi istimewa.
Kedua, penyadapan harus disetujui dewan pengawas yang akan dibentuk. Sementara selama ini Presiden Joko Widodo “gerah” karena terlalu banyak lembaga pemerintah, DPR malah mengusulkan penambahan dengan tugas mengawasi penyadapan. Padahal pekerjaan KPK bukan cuma menyadap. Lalu apa pekerjaan dewan pengawas ini nantinya?
Ketiga, KPK boleh menerbitkan SP3. Jadi sama dengan Polri nantinya. Apa itu tidak akan menurunkan tingkat kehati-hatian yang selama ini dipegang KPK karena tidak punya hak menerbitkan SP3?
Keempat, KPK tidak lagi diperbolehkan mengangkat penyelidik dan penyidik sendiri. Padahal penyelidik dan penyidik adalah pegawai KPK, tapi yang merekrut justru orang luar. Terhadap hasil kerja Panitia Seleksi Pimpinan KPK saja masyarakat pesimistis. Ini malah ujung tombak penindakan korupsi diserahkan kepada pihak lain. Proses itu sangat rawan diintervensi atau digunakan untuk memperlemah penin-dakan.
Kelima, KPK akan dipatok pada penanganan kerugian negara di atas Rp 1 miliar saja yang berpotensi menjadi kasus operasi tangkap tangan. Kasus suap yang nilainya di bawah Rp 1 miliar tidak akan bisa lagi ditangani KPK.
Giri Suprapdiono juga menyebutkan bahwa sifat oxymoron KPK “dijadikan contoh dan model pemberantasan korupsi di banyak negara”. Tapi, lucunya, DPR malah mengusulkan mengubahnya untuk dijadikan biasa-biasa saja.
Dengan kinerja KPK yang diakui bagus dan pengelolaan organisasinya yang juga bagus, mari kita kawal dua pejabat negara yang ditugasi Presiden mewakili pemerintah merevisi Undang-Undang KPK agar tidak terjerumus ikut-ikutan melemahkan KPK dan membiarkan KPK dengan keanehannya. Tapi kita pun harus tetap mengawasi KPK agar senantiasa berkinerja baik, bukan memperlemah dan menyamakannya dengan kementerian/lembaga lain atau menghilangkan sifat oxymoron-nya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo