Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tata bahasa dalam menulis itu amatlah penting. Namun, jujur sejujur-jujurnya, tata bahasa itu tidak menarik. Karena itu, ia membosankan. Namun, apa boleh buat, perkara ini bukanlah tentang menarik atau tidak menarik, membosankan atau menggembirakan. Lekas-lekas kita mesti bermufakat: sesuatu yang menarik belumlah tentu sesuatu yang esensial. Ini perkara kebutuhan, bukan kesenangan. Kesenangan memang sering bertolak-tolakan dengan kebutuhan. Contoh sangat lazim: merokok itu tentulah kesenangan, bukan kebutuhan. Dan celakanya, jamak kita menukar posisi ini: kesenangan menjadi kebutuhan. Tata bahasa dengan demikian harus kita tarik dan kita tempatkan di posisi seterang-terangnya. Saya berpendapat seperti ini: kita perlakukanlah tata bahasa itu sebagai kebutuhan yang menjadi kesenangan.
Ong Hok Ham, sejarawan nyentrik itu, menjadi satu dari sangat sedikit penulis besar yang sangat tidak teratur dalam bertata bahasa. Apa boleh buat, dia begitu cerdas. Buah pikirannya sangat bernas. Alur berpikirnya sangat tajam. Karena itulah, ketika dia menulis di Tempo ataupun Kompas, perlu editor khusus untuk mengembalikan tulisannya ke “jalan yang benar”. Tempo dan Kompas akan menyesal setengah mati bila menolak tulisannya. Begitulah, pengecualian itu selamanya selalu ada meski sangat jarang.
Bila ingin menjadi penulis unggul, unggul pulalah bertata bahasa, kata seorang teman. Lupakan tata bahasa, kata teman lain saat memberikan motivasi dasar bagi para penulis pemula. Bagaimana menjelaskan kedua hal ini?
Perkenankanlah saya mengatakan ini: motivasi menulis tidak akan bermanfaat banyak kalau dia hanya berkutat di motivasi. Memotivasi penulis yang baru menulis dengan hanya menceritakan keagungan faedah menulis juga akan berujung di tepi jurang sehingga suatu saat akan jatuh. Kita tentu tidak sedang menulis di awang-awang, atau kita tidak merakit kata-kata dari sesuatu yang tidak punya aturan sama sekali. Jelas-jelaslah kita tahu perkara menulis adalah perkara penggunaan kata-kata. Karena berhadapan dengan pemanfaatan banyak kata, kita kemudian mesti mengikuti ikatan-ikatan yang menyelimuti kata-kata itu. Ikatan itu adalah tata bahasa.
Silakan abaikan semua tata bahasa andai kita ingin menjadi penulis biasa-biasa saja. Ya, saya tahu, tata bahasa tidak boleh terlalu dipaksakan kepada penulis yang baru mulai menulis. Tapi, saya juga tahu, kita tak akan mengharapkan anak kita kelak hanya akan menyantap bubur. Pengabaian tata bahasa bagi penulis yang baru mulai menulis, menurut saya, haruslah dibatasi pada sekadar pelecut semangat menulis. Artinya, penulis yang baru mulai menulis di awal-awalnya tak bolehlah terlalu mengingat-ingat tata bahasa. Tapi, sekali lagi, itu sebagai pelecut semangat semata. Mereka tak terlalu keliru memindahkan bulat-bulat bahasa percakapan ke bahasa tulisan. Tapi menulis itu bukan bercakap. Menulis itu sesungguhnya bertata bahasa.
Ada kekhawatiran besar dengan ini. Bertata bahasa baik itu seolah-olah menjadi penghalang utama untuk berekspresi. Seakan-akan pula mengindahkan tata bahasa akan berakhir dengan petaka. Ini tak lebih dari akibat keseakan-akanan kita: seakan-akan kita bisa menulis tanpa aturan; seakan-akan kita bisa menulis sesuka hati. Namun ada juga yang disebabkan oleh kemalasan akut, atau pengabaian membabi-buta.
Kita punya kisah tentang saat-saat warga bangsa, tepatnya para abdi negara, berlomba-lomba bertata bahasa buruk. Abdi-abdi negara itu, dari Sabang hingga Merauke, berusaha mati-matian berbicara meniru patron mereka, Soeharto: “Sesuai petunjuk daripada Bapak Presiden, kita mesti secepat-cepatnya mengentasken kemiskinan.” Seakan-akan penggunaan “daripada” dan “-ken” itu akan mendekatkan mereka dengan citra patron mereka. Padahal kita kemudian tertawa terpingkal-pingkal, tentu saja bukan di depan abdi negara itu, karena baru saja terjadi penjawaan logat, memedok-medokkan ujaran yang tak karu-karuan. Bukankah itu akan kedengaran sangat aneh saat diujarkan oleh seorang abdi negara di daerah Tapanuli?
Dari pencerminan ini, kita tariklah kesimpulan: kita tidak begitu membutuhkan abdi negara untuk membantu kita bertata bahasa yang baik.
Tata bahasa adalah ilmu pasti dalam menulis. Karena ia ilmu, tentulah ia memiliki metode atau cara kerja. Inilah yang membuat menulis itu menjadi setara dengan ilmu pasti. Artinya, menulis itu bisa di-science-kan. Kita memiliki rambu-rambu. Kita punya cara kerja. Tersisalah kini adonan-adonan yang mesti diramu sesempurna mungkin. Adonan itu akan menjadi kue lezat kalau ia lahir dari percobaan demi percobaan, dari kreativitas mencampurkan bahan-bahan, dan tentu dari penghormatan tertinggi kepada cara kerja itu. Kita akan tampil dan tampak luar biasa bila bisa memainkan peran itu, peran bermain-main--atau memain-mainkan--kata-kata dalam aturan pasti bertata bahasa.
*) ALUMNI PASCASARJANA ILMU SEJARAH UNIVERSITAS GADJAH MADA; GURU SEJARAH DI SEKOLAH BANGUN INSAN MANDIRI, MEDAN
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo