Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ikhtiar pemerintah mempercepat pelarangan ekspor bahan mentah hasil tambang sudah selayaknya mendapat sokongan. Di tengah lesunya perekonomian global dan anjloknya harga komoditas utama Indonesia, penghiliran industri sektor pertambangan bisa menjadi salah satu obat penekan defisit transaksi berjalan.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral akan melakukan pelarangan ekspor nikel mulai 1 Januari 2020, dua tahun lebih cepat dari rencana semula. Itu merupakan keputusan tepat karena sejumlah studi menunjukkan pembangunan industri pengolahan nikel menghasilkan nilai ekonomis yang lebih tinggi bagi industri pertambangan di dalam negeri. Apalagi kontribusi Indonesia terhadap pasokan pasar nikel dunia mencapai 27 persen.
Larangan ekspor itu sebenarnya pernah berlaku pada 2014-2017. Setelah itu, pengusaha tambang memperoleh relaksasi asalkan membangun pabrik pengolahan dan pemurnian. Nyatanya, sebagian besar pemilik izin usaha pertambangan sama sekali tidak membangun fasilitas itu. Karena itu, tidak ada alasan bagi para pelaku usaha tambang untuk kembali mengulur-ulur waktu.
Buktinya, sebelum relaksasi berlaku, larangan ekspor bijih nikel periode 2014-2017 telah memberikan kontribusi terhadap investasi di sektor hilir. Nilainya lebih dari US$ 8 miliar. Kebijakan itu berhasil meningkatkan ekspor baja antikarat dari US$ 1,1 miliar pada 2014 menjadi lebih dari lima kali lipat pada 2017. Walhasil, pemerintah berhasil menekan defisit neraca perdagangan di sektor besi dan baja.
Pemurnian dan pengolahan bijih nikel menjadi feronikel juga bisa menghasilkan nilai tambah empat-enam kali lipat. Bijih nikel yang diproses menjadi lembaran baja antikarat bahkan bisa memberi nilai tambah yang jauh lebih besar. Tahun lalu, nilai ekspor bijih nikel mencapai US$ 612 juta. Bila bijih nikel itu diproses menjadi lembaran baja, proyeksi nilai ekspornya mencapai US$ 6,24 miliar. Makin tinggi nilai tambah yang dihasilkan, makin tinggi pajak dan pendapatan yang diterima.
Tak cuma menaikkan nilai tambah, proses pengolahan bahan mentah menjadi barang setengah jadi ataupun barang jadi juga memperpanjang rantai produksi. Salah satunya membuka lapangan pekerjaan. Akibatnya, akan terjadi perbaikan kesejahteraan dan pengurangan kesenjangan di sekitar lokasi penambangan. Hasil industri juga dapat menjadi substitusi impor, bahkan diekspor, sehingga mengobati defisit transaksi berjalan yang sudah akut sejak 2011.
Defisit neraca transaksi berjalan kita memang mencemaskan. Dolar yang masuk dari seluruh perdagangan barang dan jasa jauh lebih kecil daripada yang keluar. Angkanya cenderung melebar dari US$ 16,2 miliar pada 2017 menjadi US$ 31 miliar tahun lalu. Hingga semester pertama tahun ini saja defisit transaksi berjalan sudah mencapai US$ 15,37 miliar.
Celakanya, selama ini Indonesia sangat bergantung pada ekspor sumber alam. Sementara itu, harga komoditas utama Indonesia menurun sejak tahun lalu. Akibatnya, tren pertumbuhan ekspor barang dan jasa kita negatif sejak kuartal pertama 2019. Tak mengherankan bila melebarnya defisit neraca transaksi berjalan diprediksi berlanjut tahun ini.
Agar tidak selalu bergantung pada sumber alam, larangan ekspor bijih nikel merupakan keniscayaan. Meski sudah ada lobi politik untuk menunda keputusan itu, pemerintah tak perlu ragu melarang ekspor bahan mentah, termasuk hasil tambang lain, seperti bauksit dan timah. Sudah sepantasnya perusahaan wajib meningkatkan nilai tambah hasil tambang yang mereka kelola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo