Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INGAR-bingar pemilihan kepala daerah belum banyak menghasilkan pemimpin berkualitas. Biaya politik tinggi-termasuk untuk "mahar" pencalonan, juga instabilitas politik yang acap mengiringi proses demokrasi ini-tak kunjung membuahkan hasil sepadan. Dua kali pemilihan yang digelar serentak juga belum memangkas ongkos penyelenggaraan. Padahal penghematan biaya merupakan tujuan awal pemilihan serentak diadakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pekan ini merupakan gelombang ketiga pemilihan serentak, setelah 2015 dan 2017. Pemilih di 171 daerah-terdiri atas 17 provinsi, 115 kabupaten, dan 39 kota-akan menggunakan hak suaranya. Namun, bahkan sebelum hari pemungutan suara tiba, sejumlah daerah "kehilangan" calon karena mereka ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Setidaknya 12 orang terjaring operasi tangkap tangan pada Januari-Mei 2018. Kebutuhan dana besar buat menangguk dukungan ditengarai membuat para kandidat inkumben itu kalap mata, memungut duit yang bukan hak mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebutuhan dana politik untuk pemilihan itu diduga mengalir ke dua muara. Pertama, biaya pencalonan untuk partai politik. Sentralisasi penetapan kandidat membuat pemburu rekomendasi partai berlomba-lomba mendekati elite pengurus pusat partai menjelang pencalonan. Sering surat penetapan ini perlu ditebus dengan nilai besar. Mata rantai akan makin panjang jika tiket pencalonan memerlukan persetujuan dari sejumlah pemimpin partai yang berkoalisi. Oligarki semacam ini membuat hanya calon dengan sumber pendanaan cukup yang mampu mendapatkan rekomendasi pencalonan. Perkecualian barangkali berlaku buat tokoh yang memiliki popularitas tinggi.
Muara berikutnya ada pada kebutuhan penggalangan suara. Dana yang diperlukan menjadi jumbo karena sebagian besar calon yang diajukan partai tidak memiliki akar ke pemilik suara. Walhasil, sering kandidat merasa harus membagikan "paket", misalnya bahan kebutuhan pokok atau sarung atau baju atau gabungan semua itu, untuk memperoleh dukungan. "Serangan fajar" hampir mustahil dihilangkan dalam proses pemilihan ini.
Kebutuhan dana akan makin besar jika pengeluaran "normal" semacam biaya konsultasi politik dan komunikasi, perjalanan ke calon pemilih, serta pernak-pernik kampanye dihitung. Untunglah aturan telah melarang pengeluaran jorjoran untuk kampanye di media massa. Komisi Pemilihan Umum-lah yang bertanggung jawab mengkampanyekan semua kandidat.
Biaya penyelenggaraan hajatan ini pun tak kalah dahsyat. Tahun ini saja, untuk pemilihan di 171 daerah diperlukan Rp 20 triliun. Sayangnya, biaya besar tak kunjung mendekatkan pemilihan kepala daerah kepada esensinya. Sebagian kecil saja dari pemungutan suara itu yang menghasilkan pemimpin mumpuni yang mampu memperbaiki daerahnya. Menurut Kementerian Dalam Negeri, sekitar 400 kepala daerah terjerat perkara hukum-mayoritas kasus korupsi-pada 2004-2017. Komisi Pemberantasan Korupsi juga telah menangkap puluhan kepala daerah pada awal tahun ini saja.
Sudah semestinya sistem pemilihan kepala daerah ini dievaluasi. Prinsip bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat harus tetap dipertahankan. Rezim pemilihan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tidak selayaknya dikembalikan. Meski begitu, perlu dicari solusi agar biaya tinggi pemilihan bisa dikurangi hingga seminimal mungkin.
Pola rekrutmen calon kepala daerah pada partai politik merupakan hal paling krusial yang harus dibenahi. Oligarki membuat kaderisasi kepemimpinan di partai tak berjalan. Akibatnya, mereka menggaet tokoh dari luar-misalnya perwira militer atau kepolisian-pada detik-detik terakhir pencalonan. Rekrutmen yang baik akan membuat calon berkualitas tersedia setiap saat.
Syarat pencalonan juga perlu dikaji ulang. Tiket pencalonan berupa dukungan partai atau gabungan partai dengan 20 persen jumlah kursi Dewan atau 25 persen perolehan suara dalam pemilihan umum menciptakan praktik yang rumit. Syarat ini membuat satu partai harus melakukan serangkaian lobi dan kesepakatan bawah meja dengan partai lain. Walhasil, calon yang diajukan bukanlah tokoh terbaik, melainkan mereka yang mampu mengakomodasi partai-partai penyokongnya.
Dalam urusan teknis, perlu dikaji penggunaan teknologi yang memungkinkan pemilihan berjalan cepat dan murah. Uji coba pemungutan suara secara elektronik harus terus-menerus dilakukan. Dengan memperkuat keamanan dan menyusun aturan legalnya, teknologi sederhana ini bisa jadi akan memangkas biaya pemungutan suara.
Sebelum semua perbaikan dilakukan, kita hanya berharap pemilik suara memilih calon terbaik di daerah masing-masing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo