MANGKUNEGARA IV, raja-muda Surakarta yang terkenal bijaksana
itu, di samping senang bersastra-sastra (Wedatama, Tripama)
juga suka memperhatikan kehidupan rakyat kecil.
Selain keadaan kesejahteraan mereka, hal yang sering menjadi
pertanyaan beliau adalah permainan sang nasib terhadap rakyat
kecil itu. Apakah kesejahteraan dan kemiskinan itu hasil
sentuhan nasib ataukah akibat dari usaha?
Ranggawarsita, pujangga kraton Surakarta yang tersohor itu
Djaka Lodang, Wirid Hidayat Jati), konon suka diajak
berbincang-bincang tentang hal ini oleh raja muda yang bijaksana
itu.
"Kanjeng Gusti, kalau seseorang itu telah bernasib miskin maka
untuk selanjutnya tidak akan ada yang dapat mengubah nasibnya
yang demikian," demikianlah sembah sang pujangga.
Waktu itu lewatlah seorang tukang rumput yang miskin. Maka
raja-muda dan pujangga itu bersepakat untuk membuktikan pendapat
pujangga itu. Tukang rumput itu diperintahkan membabat rumput
halaman istana. Kepadanya dijanjikan upah yang lebih dari yang
biasa diterimanya untuk tugas semacam itu. Tetapi tanpa
diketahuinya, waktu tukang rumput itu lagi menyabit,
diperintahkanlah oleh sang raja-muda kepada seorang petugas
untuk menyisipkan beberapa mata-uang emas pada pikulan si tukang
rumput.
Dalam perjalanan pulang tukang rumput itu singgah mandi di
sebuah sungai. Seorang yang lewat sungai itu melihat pikulan
tergeletak di atas rumput. Mengira pikulan itu tidak ada yang
memiliki dibawalah pikulan itu. Tukang rumput itupun -- tanpa
diketahuinya -- gagal berubah nasibnya ....
Konon, percobaan demi percobaan dilakukan oleh Mangkunegara IV
dan Ranggawarsita itu untuk men-test "teori" sang pujangga
tentang nasib si miskin. Selalu saja terbukti yang bernasib
miskin akan selalu bernasib miskin bagaimanapun segala bantuan
akan dikerahkan baginya ....
***
Seabad ditambah sekian tahun telah berlalu sejak sang raja-muda
dan sang pujangga berdialog seperti di atas itu. Pada
pertengahan bulan November yang lalu pertanyaan yang serupa
bertubi dilontarkan dalam sebuah seminar ilmiah nasional di
Malang. Mereka bertanya dalam bahasa baru: kemiskinan struktural
dalam masyarakat kita.
Yang disebut "mereka" di sini adalah para anggota HIPIS
(Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial). Ah,
"pujangga-pujangga" ilmu-sosial. (Bukankah dulu pada waktu dunia
masih begitu indah, utuh tanpa kotak-kotak, pujangga itu bukan
hanya empu-empu sastra tetapi juga para ilmuwan dan cendekiawan?
Atau mungkin lebih tepat pujangga adalah yang mumpuni, yang ahli
dalam segala hal? Sekarang sesudah dunia terkotak dalam berbagai
bidang dan keahlian sempit, mungkin sekali-sekali menyebut
seorang ilmuwan itu "pujangga" tidak ada jeleknya Siapa tahu
malah menyenangkan mereka! Pujangga Alfian, pujangga Mely
Tan.....).
Hatta, Soedjatmoko yang mulai membuka persoalan "kemiskinan
struktural" itu dengan micaranya mengingatkan kepada hadirin
bahwa masalah kemiskinan dalam masyarakat kita bukanlah sesuatu
yang baru. Bahkan lebih tua dari zaman cultuurstelsel. Sebab
bukankah dalam Kalangwan terjemahan Zoetmulder itupun sudah
disebut-sebut tentang kemelaratan?
Ada sesuatu yang struktural dalam kemiskinan kita itu. Sesuatu
yang dengan gigih dan uletnya telah membelenggu rakyat kecil
kita sehingga mereka tidak berdaya lagi untuk muncul ke atas.
Seakan ada suatu irama-hidup yang dengan kuatnya memeluk mereka
dalam kemiskinan itu. Hingga mereka tidak mampu lagi
berorganisasi dan tidak mampu lagi menguasai pasaran.
Untuk itu -- kata pujangga bekas dubes ini -- perlu pendobrakan
struktur-struktur sosial yang eksploatatif dan mengaturnya
kembali menjadi pelembagaan yang membuka kemungkinan baru bagi
rakyat kecil. Seperti pelembagaan yang mengatur kembali
penguasaan tanah, penggunaan tanah dan hak warisan. Pengaturan
kembali yang akan mampu membangkitkan semangat berorganisasi
dari rakyat sendiri.
Dan makalah demi makalah yang mengkonfirmasikan adanya
kemiskinan struktural di berbagai tempat di kepulauan kita yang
konon aman dan makmur ini dibacakan oleh para pujangga
ilmu-sosial di situ. Kalaupun sementara makalah itu agak ringan
bobot ilmiahnya toh kesan tentang citra kemiskinan yang mereka
laporkan itu cukup meyakinkan. Citra dan wajah itu ada di
mana-mana pada kanvas besar negeri kita. Di Lampung, Jawa
Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya, Kalimantan Timur.
Pada penderes karet, buruh perkebunan, tukang becak, petani,
nelayan, puak-puak Dayak, Irian dan sebagainya.
Makalah-makalah itu dibacakan baik oleh para pujangga
ilmu-sosial akademik, yang berdatangan dari berbagai universitas
dan markas penelitian seperti LEKNAS, maupun oleh para pujangga
non-akademik seperti Franki Raden, Emmanuel Subangun, George
Adicondro, Abdurrachman Wahid yang berdatangan dari dunia
surat-kabar, kesenian, pesantren dan markas penelitian swasta.
Hampir semua makalah yang mencitra berbagai wajah kemiskinan
itu secara terisrat atau terang-terangan pada akhirnya menggaris
bawahi lontaran Soedjatmoko bahwa lingkaran setan dari
kemiskinan struktural itu mestilah didobrak lewat pengaturan
kembali semua pepelembagaan yang selama ini mengeksploatir
ketidak-berdayaan rakyat kecil ....
***
Ranggawarsita, pujangga feodal Jawa abad 19, mengamati
kemiskinan sebagai sesuatu yang tidak berdaya melawan sentuhan
tangan sang nasib. Anggota-anggota HIPIS, pujangga republik
Indonesia abad 20, mengamati kemiskinan sebagai sesuatu yang
tidak berdaya dalam pelukan struktural berbagai pelembagaan
negerinya.
Di bawah payung feodalisme Jawa abad 19, Ranggawarsita yang
mengecap kenikmatan elite untuk sewaktu-waktu boleh
berbincang-bincang dengan sang raja sembari makan angin, dengan
tenang dapat menasihati rajanya untuk tidak mencoba-coba
kekuatan tangan sang nasib.
Di bawah payung orde baru abad 20, para pujangga ilmu-sosial
yang juga mengecap kenikmatan elite untuk sewaktu-waktu boleh
berpolemik dengan penguasa sembari makan angin pada
seminar-seminar yang seronok, dengan tenang dapat menasihati
pemimpin-pemimpinnya untuk mencoba mengocok kembali kartu
pengaturan kehidupan rakyat kecil.
Amat berbedakah dua sosok pujangga dari dua abad itu? Dari sudut
pandangan rakyat kecil yang selalu miskin sejak falangwan, jauh
sebelum cultuurstelsel, mungkin tidak ....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini