Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bila pujangga menyimak kemiskinan

Pujangga abad 19, mengamati kemiskinan sebagai sesuatu yang tidak berdaya melawan nasib, walaupun segala bantuan diberikan. pujangga abad 20, mengamati kemiskinan sebagai suatu yang tak berdaya dalam struktural.

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANGKUNEGARA IV, raja-muda Surakarta yang terkenal bijaksana itu, di samping senang bersastra-sastra (Wedatama, Tripama) juga suka memperhatikan kehidupan rakyat kecil. Selain keadaan kesejahteraan mereka, hal yang sering menjadi pertanyaan beliau adalah permainan sang nasib terhadap rakyat kecil itu. Apakah kesejahteraan dan kemiskinan itu hasil sentuhan nasib ataukah akibat dari usaha? Ranggawarsita, pujangga kraton Surakarta yang tersohor itu Djaka Lodang, Wirid Hidayat Jati), konon suka diajak berbincang-bincang tentang hal ini oleh raja muda yang bijaksana itu. "Kanjeng Gusti, kalau seseorang itu telah bernasib miskin maka untuk selanjutnya tidak akan ada yang dapat mengubah nasibnya yang demikian," demikianlah sembah sang pujangga. Waktu itu lewatlah seorang tukang rumput yang miskin. Maka raja-muda dan pujangga itu bersepakat untuk membuktikan pendapat pujangga itu. Tukang rumput itu diperintahkan membabat rumput halaman istana. Kepadanya dijanjikan upah yang lebih dari yang biasa diterimanya untuk tugas semacam itu. Tetapi tanpa diketahuinya, waktu tukang rumput itu lagi menyabit, diperintahkanlah oleh sang raja-muda kepada seorang petugas untuk menyisipkan beberapa mata-uang emas pada pikulan si tukang rumput. Dalam perjalanan pulang tukang rumput itu singgah mandi di sebuah sungai. Seorang yang lewat sungai itu melihat pikulan tergeletak di atas rumput. Mengira pikulan itu tidak ada yang memiliki dibawalah pikulan itu. Tukang rumput itupun -- tanpa diketahuinya -- gagal berubah nasibnya .... Konon, percobaan demi percobaan dilakukan oleh Mangkunegara IV dan Ranggawarsita itu untuk men-test "teori" sang pujangga tentang nasib si miskin. Selalu saja terbukti yang bernasib miskin akan selalu bernasib miskin bagaimanapun segala bantuan akan dikerahkan baginya .... *** Seabad ditambah sekian tahun telah berlalu sejak sang raja-muda dan sang pujangga berdialog seperti di atas itu. Pada pertengahan bulan November yang lalu pertanyaan yang serupa bertubi dilontarkan dalam sebuah seminar ilmiah nasional di Malang. Mereka bertanya dalam bahasa baru: kemiskinan struktural dalam masyarakat kita. Yang disebut "mereka" di sini adalah para anggota HIPIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial). Ah, "pujangga-pujangga" ilmu-sosial. (Bukankah dulu pada waktu dunia masih begitu indah, utuh tanpa kotak-kotak, pujangga itu bukan hanya empu-empu sastra tetapi juga para ilmuwan dan cendekiawan? Atau mungkin lebih tepat pujangga adalah yang mumpuni, yang ahli dalam segala hal? Sekarang sesudah dunia terkotak dalam berbagai bidang dan keahlian sempit, mungkin sekali-sekali menyebut seorang ilmuwan itu "pujangga" tidak ada jeleknya Siapa tahu malah menyenangkan mereka! Pujangga Alfian, pujangga Mely Tan.....). Hatta, Soedjatmoko yang mulai membuka persoalan "kemiskinan struktural" itu dengan micaranya mengingatkan kepada hadirin bahwa masalah kemiskinan dalam masyarakat kita bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan lebih tua dari zaman cultuurstelsel. Sebab bukankah dalam Kalangwan terjemahan Zoetmulder itupun sudah disebut-sebut tentang kemelaratan? Ada sesuatu yang struktural dalam kemiskinan kita itu. Sesuatu yang dengan gigih dan uletnya telah membelenggu rakyat kecil kita sehingga mereka tidak berdaya lagi untuk muncul ke atas. Seakan ada suatu irama-hidup yang dengan kuatnya memeluk mereka dalam kemiskinan itu. Hingga mereka tidak mampu lagi berorganisasi dan tidak mampu lagi menguasai pasaran. Untuk itu -- kata pujangga bekas dubes ini -- perlu pendobrakan struktur-struktur sosial yang eksploatatif dan mengaturnya kembali menjadi pelembagaan yang membuka kemungkinan baru bagi rakyat kecil. Seperti pelembagaan yang mengatur kembali penguasaan tanah, penggunaan tanah dan hak warisan. Pengaturan kembali yang akan mampu membangkitkan semangat berorganisasi dari rakyat sendiri. Dan makalah demi makalah yang mengkonfirmasikan adanya kemiskinan struktural di berbagai tempat di kepulauan kita yang konon aman dan makmur ini dibacakan oleh para pujangga ilmu-sosial di situ. Kalaupun sementara makalah itu agak ringan bobot ilmiahnya toh kesan tentang citra kemiskinan yang mereka laporkan itu cukup meyakinkan. Citra dan wajah itu ada di mana-mana pada kanvas besar negeri kita. Di Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Irian Jaya, Kalimantan Timur. Pada penderes karet, buruh perkebunan, tukang becak, petani, nelayan, puak-puak Dayak, Irian dan sebagainya. Makalah-makalah itu dibacakan baik oleh para pujangga ilmu-sosial akademik, yang berdatangan dari berbagai universitas dan markas penelitian seperti LEKNAS, maupun oleh para pujangga non-akademik seperti Franki Raden, Emmanuel Subangun, George Adicondro, Abdurrachman Wahid yang berdatangan dari dunia surat-kabar, kesenian, pesantren dan markas penelitian swasta. Hampir semua makalah yang mencitra berbagai wajah kemiskinan itu secara terisrat atau terang-terangan pada akhirnya menggaris bawahi lontaran Soedjatmoko bahwa lingkaran setan dari kemiskinan struktural itu mestilah didobrak lewat pengaturan kembali semua pepelembagaan yang selama ini mengeksploatir ketidak-berdayaan rakyat kecil .... *** Ranggawarsita, pujangga feodal Jawa abad 19, mengamati kemiskinan sebagai sesuatu yang tidak berdaya melawan sentuhan tangan sang nasib. Anggota-anggota HIPIS, pujangga republik Indonesia abad 20, mengamati kemiskinan sebagai sesuatu yang tidak berdaya dalam pelukan struktural berbagai pelembagaan negerinya. Di bawah payung feodalisme Jawa abad 19, Ranggawarsita yang mengecap kenikmatan elite untuk sewaktu-waktu boleh berbincang-bincang dengan sang raja sembari makan angin, dengan tenang dapat menasihati rajanya untuk tidak mencoba-coba kekuatan tangan sang nasib. Di bawah payung orde baru abad 20, para pujangga ilmu-sosial yang juga mengecap kenikmatan elite untuk sewaktu-waktu boleh berpolemik dengan penguasa sembari makan angin pada seminar-seminar yang seronok, dengan tenang dapat menasihati pemimpin-pemimpinnya untuk mencoba mengocok kembali kartu pengaturan kehidupan rakyat kecil. Amat berbedakah dua sosok pujangga dari dua abad itu? Dari sudut pandangan rakyat kecil yang selalu miskin sejak falangwan, jauh sebelum cultuurstelsel, mungkin tidak ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus