Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sebuah rumah di pulau bunga

Rumah bekas bung karno ketika masa pembuangan di ende (di pulau bunga) kini menjadi sengketa antara kab. flores dengan keluarga haji abdul amburawuh. (ils)

12 Januari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH yang pernah ditinggali Almarhum Bung Karno selama masa pembuangan di Ende, Flores, sampai sekarang masih jadi sengketa. Abdullah, anak Haji Abdul Amburawuh, pemilik rumah itu, tetap merasa sebagai pemiliknya dan menempatinya. Tapi pihak Pemda Kabupaten Flores beranggapan rumah itu telah jadi milik negara setelah pada 1958 pemerintah memberi uang Rp 50.000 kepada pemiliknya. Rumah itu sendiri tak begitu terpelihara. Sejak Sukarno dan keluarganya 1938 meninggalkan Ende, keluarga Amburawuh sebagai pemiliknya menempatinya hingga 1953. Tahun berikutnya Menteri P & K waktu itu, Mr. Mohammad Yamin, berada di Ende untuk mempersiapkan kunjungan Presiden Soekarno. Kepada Ambutawuh ia berjanji akan memberi ganti rugi uang sebesar Rp 50.000. Baru pada 1958 janji itu menjadi kenyataan. Rumah itu ditempati BK (bersama Ibu Inggit, Ratna Djuami, anak angkatnya dan Amsi mertuanya) dari 1934-1938. Rumah yang berukuran 9 x 12 meter itu agak pengab: beratap rendah dari seng, berjendela kecil dan bertiang kayu. Sandiwara Kelimutu Sementara itu sejak 1953 hingga 1972, rumah itu menjadi Kantor Perwakilan Departemen Sosial. Tahun berikutnya, sampai 1977 disulap jadi kantor Fakultas Hukum Universitas Cendana. Setelah itu, sampai sekarang, Abdullah menempatinya. Perbuatan ini rupanya kurang disenangi Pemda Flores, yang merasa dengan uang Rp 50.000 tadi telah membebaskan rumah itu dari pemiliknya semula. Sebab tak kurang dari BK sendiri berniat menjadikan rumah itu sebagai museum. Bahkan ia sudah menyiapkan nama, Museum Arca. Gagasan untuk itupun rupanya sudah cukup matang dan Pemda Flores telah mengeluarkan seruan agar siapa yang menyimpan benda-benda yang pernah dipakai BK selama menempati rumah tadi, memberikannya kepada P & K setempat. Tapi ternyata selain baya untuk memugar rumah itu tak kunjung ada, Abdullah menyatakan dirinya sebagai tetap pemilik sah rumah itu. "Uang Rp 50.000 itu hanya sekedar balas jasa dan hadiah," kata Abdullah. Dan pihak Pemda Flores tetap beranggapan uang itu sebagai ganti rugi, lebih-lebih karena mengingat nilainya pada waktu itu. "Uang itu cukup banyak waktu itu," kata Kanis Parera, tokoh pemuda setempat yang pada 1953 mengajak kawan-kawannya berdemonstrasi menuntut agar rumah itu dipugar untuk dijadikan tempat bersejarah. Tapi rumah bekas dihuni Bung Karno ini tetap mendapat kunjungan turis dalam dan luar negeri. Keluarga Ambu rawuh pun mengizinkan siapa saja yang yang akan melongok ke dalam. Cuma benda-benda peninggalan Bung Karno seperti tempat biola yang telah pecah tutupnya, biola yang talinya telah putus berikut dua buah alat geseknya, kini disimpan di kantor P & K Kabupaten Ende. Selain itu, masih disimpan pula lukisan karya Bung Karno tentang 4 orang wanita Bali yang sedang meletakkan sesaji di depan pura. Juga ada sejumlah foto-foto ketika Bung Karno berada di sana. Berkas-berkas penulisan sandiwara yang ditulis Bung Karno selama di rumah itu (Rahasia Kelimutu, Dr. Setan, Rendo, Nggere Ende, Sjanghai Rumba) kini tak jelas ada di mana. "Aku menyusun suatu perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau yang mempunyai air tiga warna di Pulau Bunga (nama lain untuk Flores, Red)," ceritera Sukarno dalam buku "Bung Karno, penyambung lidah rakyat Indonesia" tulisan Cindy Adams. Untuk mengisi waktunya Sukarno menjadi sutradara sandiwara. Latihan di bawah pohon, diterangi sinar bulan, paling tidak seminggu dua kali. Bung Karno bahkan masih ingat nama Ali Pambe, montir mobil yang harus memerankan orang mati sebaik mungkin. Selama 4 tahun berada di Ende, ada 12 ceritera sandiwara yang ditulis almarhum. Banyak barang-barang lain milik Bung Karno yang kini tidak jelas di mana adanya. Almarhum Pak Riwu yang pernah jadi tukang masak dan pembantu Bung Karno menceriterakan bahwa warna baju kesenangan almarhum adalah putih-putih disetrika halus dengan dasi kupu hitam di leher. Makanan kegemarannya pisang beranga, salah satu jenis pisang paling enak di sana. Gemar mandi di laut, tetapi setiap waktu sholat selalu kembali ke rumah untuk bersembahyang. Pagi hari setelah sembahyang subuh, BK sudah berjalan-jalan menghirup udara pagi. Petang hari, duduk termenung sambil menantikan hilangnya matahari di balik Gunung Ebulolo-Ngada. Di Ende, cuma ada 8 orang polisi waktu itu. Karena itu BK dengan mudah mengenali mereka yang tak henti-hentinya memata-matai kegiatannya. Pemerintah Belanda melarang Sukarno naik perahu walaupun cuma berlayar-layar saja. Juga tidak boleh melewati kawasan radius 5 km. "Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerja." Masyarakat lainnya takut dan enggan menemani atau bergaul dengan orang yang jadi interniran Belanda. Kemalangan Sukarno ialah ketika di tanggal 12 Oktober 1935, ibu mertuanya Amsi, meninggal dunia setelah tidak sadarkan diri selama 3 hari. "Aku sangat lekat pada orangtua ini. Di bulan-bulan pertama yang sangat menyiksa, di tempat pembuangan itu di kala batin kami dirobek-robek tak kenal ampun setiap jam, setiap detik, di waktu itu tidak satu pun perkataan yang tidak enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri," demikian buku Cindy Adams terjemahan Abdul Bar Salim. "Dengan tanganku sendiri kubuat kuburannya. Aku sendiri membangun kuburan itu dengan batu tembok. Aku seorang diri mencari batu kali, memotong dan mengasahnya untuk nisan." Makam itu kini tidak terawat lagi. Sama seperti benda-benda peninggalan Bung Karno lainnya. Ketika Sukarno dan keluarganya tiba di Ende, tidak ada orang yang berani memberikan rumah bagi orang interniran dan keluarganya ini. Bergaul dan berbicarapun takut, apalagi menyediakan rumah. Hanya Amburawuh saja yang bersedia menyediakan sekedar tempat berteduh, sebuah rumah di daerah rambahan yang belum bernama dan kini bernama Desa Kotaratu. "Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi, aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang dingin dan di tengahnya berbingkah-bingkah batu," ceritera Almarhum Sukarno kepada Cindy Adams selanjutnya. Kini di bagian belakang rumah sudah ada kamar mandi dan sumur. Jalan di muka rumah yang tanahnya seluas 600 mÿFD itu kini sudah bernama Jalan Perwira. Bahkan pohon sukun sebagai tempat yang paling disenangi almarhum kini diapit oleh dua jalan: Jalan Sukarno dan Jalan Hatta. Sayang, pohon sukun yang asli telah mati. Tempat itu letaknya di atas bukit dan mata bisa memandang lepas ke laut yang luas. Di bawah pohon inilah, konon Bung Karno mendapat ilham tentang Pancasila. Tahun 1963, Pemda Tingkat II menanam lagi sebuah pohon sukun yang baru. Sayang, pohon itu mati, sedangkan tembok yang memberi batas pohon yang beriwayat itupun telah ambruk. Tempat itu kini berubah jadi lapangan bola.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus