RUMAH yang pernah ditinggali Almarhum Bung Karno selama masa
pembuangan di Ende, Flores, sampai sekarang masih jadi sengketa.
Abdullah, anak Haji Abdul Amburawuh, pemilik rumah itu, tetap
merasa sebagai pemiliknya dan menempatinya. Tapi pihak Pemda
Kabupaten Flores beranggapan rumah itu telah jadi milik negara
setelah pada 1958 pemerintah memberi uang Rp 50.000 kepada
pemiliknya.
Rumah itu sendiri tak begitu terpelihara. Sejak Sukarno dan
keluarganya 1938 meninggalkan Ende, keluarga Amburawuh sebagai
pemiliknya menempatinya hingga 1953. Tahun berikutnya Menteri P
& K waktu itu, Mr. Mohammad Yamin, berada di Ende untuk
mempersiapkan kunjungan Presiden Soekarno. Kepada Ambutawuh ia
berjanji akan memberi ganti rugi uang sebesar Rp 50.000. Baru
pada 1958 janji itu menjadi kenyataan.
Rumah itu ditempati BK (bersama Ibu Inggit, Ratna Djuami, anak
angkatnya dan Amsi mertuanya) dari 1934-1938. Rumah yang
berukuran 9 x 12 meter itu agak pengab: beratap rendah dari
seng, berjendela kecil dan bertiang kayu.
Sandiwara Kelimutu
Sementara itu sejak 1953 hingga 1972, rumah itu menjadi Kantor
Perwakilan Departemen Sosial. Tahun berikutnya, sampai 1977
disulap jadi kantor Fakultas Hukum Universitas Cendana. Setelah
itu, sampai sekarang, Abdullah menempatinya. Perbuatan ini
rupanya kurang disenangi Pemda Flores, yang merasa dengan uang
Rp 50.000 tadi telah membebaskan rumah itu dari pemiliknya
semula.
Sebab tak kurang dari BK sendiri berniat menjadikan rumah itu
sebagai museum. Bahkan ia sudah menyiapkan nama, Museum Arca.
Gagasan untuk itupun rupanya sudah cukup matang dan Pemda Flores
telah mengeluarkan seruan agar siapa yang menyimpan benda-benda
yang pernah dipakai BK selama menempati rumah tadi,
memberikannya kepada P & K setempat. Tapi ternyata selain baya
untuk memugar rumah itu tak kunjung ada, Abdullah menyatakan
dirinya sebagai tetap pemilik sah rumah itu. "Uang Rp 50.000 itu
hanya sekedar balas jasa dan hadiah," kata Abdullah. Dan pihak
Pemda Flores tetap beranggapan uang itu sebagai ganti rugi,
lebih-lebih karena mengingat nilainya pada waktu itu. "Uang itu
cukup banyak waktu itu," kata Kanis Parera, tokoh pemuda
setempat yang pada 1953 mengajak kawan-kawannya berdemonstrasi
menuntut agar rumah itu dipugar untuk dijadikan tempat
bersejarah.
Tapi rumah bekas dihuni Bung Karno ini tetap mendapat kunjungan
turis dalam dan luar negeri. Keluarga Ambu rawuh pun mengizinkan
siapa saja yang yang akan melongok ke dalam. Cuma benda-benda
peninggalan Bung Karno seperti tempat biola yang telah pecah
tutupnya, biola yang talinya telah putus berikut dua buah alat
geseknya, kini disimpan di kantor P & K Kabupaten Ende. Selain
itu, masih disimpan pula lukisan karya Bung Karno tentang 4
orang wanita Bali yang sedang meletakkan sesaji di depan pura.
Juga ada sejumlah foto-foto ketika Bung Karno berada di sana.
Berkas-berkas penulisan sandiwara yang ditulis Bung Karno selama
di rumah itu (Rahasia Kelimutu, Dr. Setan, Rendo, Nggere Ende,
Sjanghai Rumba) kini tak jelas ada di mana. "Aku menyusun suatu
perkumpulan Sandiwara Kelimutu, dinamai menurut danau yang
mempunyai air tiga warna di Pulau Bunga (nama lain untuk Flores,
Red)," ceritera Sukarno dalam buku "Bung Karno, penyambung lidah
rakyat Indonesia" tulisan Cindy Adams. Untuk mengisi waktunya
Sukarno menjadi sutradara sandiwara. Latihan di bawah pohon,
diterangi sinar bulan, paling tidak seminggu dua kali. Bung
Karno bahkan masih ingat nama Ali Pambe, montir mobil yang harus
memerankan orang mati sebaik mungkin. Selama 4 tahun berada di
Ende, ada 12 ceritera sandiwara yang ditulis almarhum.
Banyak barang-barang lain milik Bung Karno yang kini tidak jelas
di mana adanya. Almarhum Pak Riwu yang pernah jadi tukang masak
dan pembantu Bung Karno menceriterakan bahwa warna baju
kesenangan almarhum adalah putih-putih disetrika halus dengan
dasi kupu hitam di leher. Makanan kegemarannya pisang beranga,
salah satu jenis pisang paling enak di sana. Gemar mandi di
laut, tetapi setiap waktu sholat selalu kembali ke rumah untuk
bersembahyang. Pagi hari setelah sembahyang subuh, BK sudah
berjalan-jalan menghirup udara pagi. Petang hari, duduk
termenung sambil menantikan hilangnya matahari di balik Gunung
Ebulolo-Ngada.
Di Ende, cuma ada 8 orang polisi waktu itu. Karena itu BK dengan
mudah mengenali mereka yang tak henti-hentinya memata-matai
kegiatannya. Pemerintah Belanda melarang Sukarno naik perahu
walaupun cuma berlayar-layar saja. Juga tidak boleh melewati
kawasan radius 5 km. "Aku membentuk masyarakatku sendiri dengan
pemetik kelapa, supir, bujang yang tidak bekerja." Masyarakat
lainnya takut dan enggan menemani atau bergaul dengan orang
yang jadi interniran Belanda.
Kemalangan Sukarno ialah ketika di tanggal 12 Oktober 1935, ibu
mertuanya Amsi, meninggal dunia setelah tidak sadarkan diri
selama 3 hari. "Aku sangat lekat pada orangtua ini. Di
bulan-bulan pertama yang sangat menyiksa, di tempat pembuangan
itu di kala batin kami dirobek-robek tak kenal ampun setiap jam,
setiap detik, di waktu itu tidak satu pun perkataan yang tidak
enak keluar antara mertuaku dan aku sendiri," demikian buku
Cindy Adams terjemahan Abdul Bar Salim. "Dengan tanganku sendiri
kubuat kuburannya. Aku sendiri membangun kuburan itu dengan batu
tembok. Aku seorang diri mencari batu kali, memotong dan
mengasahnya untuk nisan." Makam itu kini tidak terawat lagi.
Sama seperti benda-benda peninggalan Bung Karno lainnya.
Ketika Sukarno dan keluarganya tiba di Ende, tidak ada orang
yang berani memberikan rumah bagi orang interniran dan
keluarganya ini. Bergaul dan berbicarapun takut, apalagi
menyediakan rumah. Hanya Amburawuh saja yang bersedia
menyediakan sekedar tempat berteduh, sebuah rumah di daerah
rambahan yang belum bernama dan kini bernama Desa Kotaratu.
"Tidak ada listrik, tidak ada air leding. Kalau hendak mandi,
aku membawa sabun ke Wola Wona, sebuah sungai dengan airnya yang
dingin dan di tengahnya berbingkah-bingkah batu," ceritera
Almarhum Sukarno kepada Cindy Adams selanjutnya.
Kini di bagian belakang rumah sudah ada kamar mandi dan sumur.
Jalan di muka rumah yang tanahnya seluas 600 mÿFD itu kini sudah
bernama Jalan Perwira. Bahkan pohon sukun sebagai tempat yang
paling disenangi almarhum kini diapit oleh dua jalan: Jalan
Sukarno dan Jalan Hatta. Sayang, pohon sukun yang asli telah
mati. Tempat itu letaknya di atas bukit dan mata bisa memandang
lepas ke laut yang luas. Di bawah pohon inilah, konon Bung Karno
mendapat ilham tentang Pancasila. Tahun 1963, Pemda Tingkat II
menanam lagi sebuah pohon sukun yang baru. Sayang, pohon itu
mati, sedangkan tembok yang memberi batas pohon yang beriwayat
itupun telah ambruk. Tempat itu kini berubah jadi lapangan
bola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini