Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Birokrasi, Dari Hindia Belanda

Negara modern pertama yang didirikan di Indonesia, adalah Hindia Belanda. Untuk mencapai sebuah negara republik Indonesia, dapat dikatakan bahwa struktur dan ciri birokrasinya belum 100% modern.(kl)

29 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REPUBLIK Indonesia adalah sebuah negara modern. Orang memang dapat mengatakan bahwa struktur dan ciri birokrasinya masih banyak menunjukkan sifat patrimonial, dengan kata lain, belum 100% cocok dengan model birokrasi modern seperti yang diberikan Max Weber. Namun, secara keseluruhan, asal usul dan struktur Republik Indonesia harus pula dicari dalam tradisi dan struktur negara modern. Negara modern pertama, yang didirikan di Indonesia, adalah Hindia Belanda. Republik Indonesia sebagai lembaga kiranya harus diteliti dari lembaga negara Hindia Belanda ini, dan bukan dari kerajaan prakolonial, biarpun ada beberapa aspeknya yang masih berpengaruh. VOC Asal mula kekuasaan Belanda ditanamkan oleh VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) atau "Kompeni". Badan ini sebuah perseroan perdagangan yang memiliki status politik di Asia. Ia memiliki angkatan perang dan berhak mengadakan perjanjian. Di Indonesia, khususnya di Jawa, VOC membangun kedudukan politisnya melalui perjanjian dengan raja-raja Mataram dan para penguasa lain di pesisiran. Kompeni umumnya memihak para penguasa yang ada, dalam menghadapi para pemberontak. Maka, sejak semula penguasa setempat dipertahankan, bahkan diperkuat. Artinya, struktur sosial politis pribumi diawetkan. Hal itu juga karena VOC tidak memiliki aparat kepegawaian dan militer yang cukup untuk berkuasa sepenuhnya. Ia harus menyerahkan urusan memerintah kepada penguasa pribumi. Elite pribumi inilah yang diserahi masalah tata tertib, pengumpulan pajak, penanaman hasil agraria untuk ekspor, pengerahan tenaga kerja, dan lain-lain. Sifat hubungan VOC dengan penguasa pribumi masih bersifat kontrak: VOC membeli hasil agraria untuk ekspor tertentu, dengan harga tertentu pula. Dengan demikian, VOC berfungsi sebagai "stabilisator politik". Ia menjaga perimbangan kekuasaan antara penguasa "pusat" (raja) dan para penguasa setempat (bupati). Selain itu, ia berfungsi juga sebagai sumber keuangan bagi elite pribumi. Perlu dicatat sementara di sini bahwa para penguasa ini di mata rakyat bukanlah sekadar pegawai Belanda - dan memang berkelakuan tidak sebagai pegawai. Karena itu, lembaga politik prakolonial masih berpengaruh pada elite penguasa ini, biarpun mereka kemudian dijadikan pegawai pribumi Hindia Belanda - dengan istilah pangreh praja atau "para penguasa kerajaan". Di kerajaan Jawa prakolonial, para pejabat diberi lungguh atau "kedudukan". Lungguh ini dalam bahasa Belanda diterjemahkan sebagai apanage. Sebenarnya ini terjemahan yang salah, sebab apanage adalah pemberian dalam bentuk satu unit tanah, sedangkan seperti terdapat dalam piagam pengangkatan pejabat prakolonial, disebut bahwa lungguh adalah kedudukan yang didukung (dibiayai) oleh sejumlah cacah, bentuknya rakyat (petani). Artinya, masalah dukungan, yang juga sumber materiil bagi pemegang lungguh, adalah soal yang penting. Bila dibandingkan dengan kesatuan politik Indonesia prakolonial, misalnya Kesultanan Mataram, VOC jelas lebih efisien dan kuat. Namun, dalam rangka sejarah Eropa, ia tak lebih dari suatu organisasi pramodern, tertinggal oleh perkembangan setelah Revolusi Prancis dan Revolusi Industri pada akhir abad ke-18. Pada gilirannya, VOC dinyatakan bangkrut - antara lain oleh korupsi. Ia dibubarkan setelah Revolusi Prancis mencapai Nederland di tahun 1798. Milik VOC di Indonesia, khususnya Jawa, diambil alih oleh Negara Belanda baru. Sejak itu wilayah ini disebut "Hindia Belanda". Daendels/Raffles Marsekal H.W. Daendels, gubernur jenderal (GG) Hindia Belanda tahun 1806-1810, adalah penguasa Belanda pertama yang membawa konsep negara modern ke koloni Belanda. Ia sendiri memerintah terlalu singkat untuk mewujudkan ide-idenya. Namun, sebenarnya H.W. Daendels inilah pendiri negara kolonial, bukan J.P. Coen, sang pendiri Batavia. J.P. Coen adalah tokoh VOC, seorang pedagang, sedangkan Daendels anak Revolusi Prancis, pengagum Napoleon, penyempurna negara modern Prancis. Daendels mau menerapkan negara modern yang diciptakan Napoleon ke koloni Belanda. Negara modern ini mengenal batas-batas daerah, wilayah, hierarki kepegawaian, tindakan antlkorupsi dan penyelewengan lam yang menjadi kelaziman pada zaman VOC. Korupsi di antara pejabat Belanda di koloni menjadi sasaran Daendels yang lalu terkenal sebagai "Tuan Besar Guntur". Dalam konsepsi Daendels, para bupati dinyatakan sebagai pegawai kolonial. Artinya, bagian dari aparat kekuasaan atau "birokrasi" Hindia Belanda. Namun, Daendels pun mengerti keistimewaan para bupati sebagai aparat yang tidak dapat disamakan dengan para pejabat Belanda. Maka, para bupati dan pangreh praja dinyatakan sebagai volkshoofden, para "pemimpin rakyat", yang ditempatkan di bawah pejabat Belanda yang disebut "saudara tua". Pada zaman pemerintahan Daendels sendiri, perubahan ketatanegaraan ini mungkin masih sebagian besar di atas kertas saja, sebab masa kekuasaannya terlalu singkat tetapi dasar konsep telah dia letakkan. Dan tidak dapat disangkal bahwa Daendels berhasil memperkuat pemerintahan pusat yang disebut Hindia Belanda. Ia berhasil antara lain memerintahkan membangun jalan raya sepanjang pesisir Pulau Jawa, dari Anyer sampai ke Banyuwangi, yang memerlukan banyak sekali tenaga kerja rodi dan banyak korban. Jalan ini, yang dalam masa itu tidak membawa keuntungan apa-apa bagi para pejabat, baik Belanda maupun Indonesia, dapat dilaksanakan karena usaha Daendels yang lain yang sudah sukses pada permulaan: pemberantasan korupsi dan pembaharuan moral di kalangan pejabat Belanda. Koloni sebagai Taklukan Kekuasaan Belanda diselingi dengan direbutnya Pulau Jawa dari tangan Belanda oleh Inggris (l812-1816). Inilah masa Raffles. Letnan gubernur Inggris ini merasa cukup yakin bahwa penguasa Barat baru ini adalah pengganti raja-raja Jawa. Karena itu, Raffles merasa berhak menyusun sistem pajak tanah yang harus membiayai pemerintahan kolonial. Perhitungan untung rugi sistem pajak tanah dalam tulisan ini tidak penting. Yang penting adalah bahwa sistem pajak tanah, yang dibebankan pada para petani yang menguasai tanah, melengkapi konsep penguasa kolonial sebagai satu kesatuan politik yang memiliki kedaulatan dan bukan sekadar organisasi dagang. Konsep pajak sebagai beban, biarpun pelaksanaannya berbeda dari yang disusun Raffles, kelak tidak ditinggalkan Belada ketika kembali memperoleh koloninya setelah peperangan Napoleon selesai. Pada tahun 1825 sampai 1830, penguasa Belanda di Jawa mengalami salah suatu krisis besar, yakni menghadapi pemberontakan Pangeran Diponegoro. Belum pernah, dalam sejarah intervensi Belanda ke Jawa, demikian banyak tentara kolonial Belanda dikirim - dan belum pernah terjadi korban demikian besar terhadap tentara itu. Penetrasi Belanda ke seluruh Jawa berlangsung secara mendalam. Dengan singkat, setelah "Perang Jawa" selesai, daerah-daerah Jawa dinyatakan sebagai Hindia Belanda Termasuk daerah Susuhunan Surakarta yang tidak terlibat pemberontakan Diponegoro. Sejak itu pula para raja Jawa di daerah masing-masing diawasi secara ketat. Sebenarnya, kedaulatan mereka diambil alih Hindia Belanda, meskipun pemerintahan kolonial tidak langsung menyentuh - sebab masih ada keraton, raja, patih, dan penguasa pribumi lain. Hindia Belanda, yang selama abad ke-19 sampai permulaan abad ke-20 memperluas wilayahnya sampai sebagian besar yang kini disebut Republik Indonesia, juga dalam mengurus koloninya makin mencampuri urusan para "kawula"-nya. Kalau dahulu, khususnya sebelum 1870, banyak soal diserahkan kepada para bupati dan pangreh praja, maka sesudah itu pegawai Belanda sendiri yang mengatur desa, sampai ke soal agama dan adat. Beribu-ribu peraturan dikeluarkan demi tata tertib, seperti soal pagar di sekeliling rumah, soal berjalan dengan obor api pada malam hari, cara naik kuda, cara mendirikan rumah, masalah kehidupan pribadi priayi dan seterusnya. Dari semua pemerintah kolonial, Hindia Belandalah yang paling merasa diri sebagai babu-pengasuh anak yang disebut "pribumi". Para peninjau asing, seperti para sarjana Prancis dan Inggris, sampai mengatakan bahwa bila pejabat kolonial Belanda dapat mengeluarkan peraturan cara orang Indonesia harus bernapas di udara bebas, mereka akan melakukannya. Dan setiap peraturan mengakibatkan pengawasan yang sering bersifat pengawasan kepolisian yang tentunya dapat berakibat pemindasan. Gejala ini tampak dalam meluasnya dinas-dinas teknis birokrasi kolonial, seperti dinas kesehatan, dinas irigasi, dinas kehutanan, dinas pertanian, dan lain-lain. Semua pemerintah kolonial dan modern memang mengatur masyarakat mereka menurut ukuran profesional, tapi Hindia Belanda telah melakukannya secara berlebihan. Sikap "babu pengasuh" dari birokrat kolonial Belanda ini mungkin yang membuat peran birokrasi dan pengawasan pemerintah begitu besar - suatu kebiasaan yang berlanjut hingga masa-masa sesudahnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus