Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Sebuah segi tiga emas yang tak...

Sutradara: alan j. pakula pemain utama: meryl streep, kepin kline, peter mac nicol. resensi oleh.: isma sawitri. (fl)

29 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOPHIE'S CHOICE Pemain: Meryl Streep, Kevin Kline, Peter MacNicol Sutradara: Alan J. Pakula SOPHIE, Nathan, dan Stingo tak ubahnya trio istimewa. Dengan Sophie sebagai tokoh sentral, ketiganya bersahabat, bercinta, bertikai, dan saling melukai hati. Sepintas terlihat bagaikan kisah segitiga tapi yang sama sekah tidak sederhana. Pada usia 30-an, Sophie, yang diperankan dengan cemerlang oleh Meryl Streep, sekaligus memancarkan daya tarik seks dan teka-teki pelik. Wanita ini menerima Nathan, kekasihnya, sebagai juru selamat, padahal dia tahu benar bahwa pria itu adalah penderita syzophrenia, dan juga pecandu narkotik. Pernah Sophie berontak, mencoba bebas dari Nathan, tapi gagal. Memang, di muka bumi ini berjuta manusla lainnya menemukan nasib seperti Sophie, terlahir hanya untuk sebuah kegagalan. Bedanya mungkin cuma pada satu hal: Sophie cantik, lemah lembut, terilhami untuk menjadi perempuan baik-baik, tapi akhirnya hanya diperolok-olokkan nasib. Dalam usia yang baru 22, Stingo tidak melihatnya begitu. Dengan optimisme ia berusaha merenggutkan Sophie dari cengkeraman kesintingan Nathan. Berbakat sebagai calon pengarang, dia merasa tidak ada salahnya menjanjikan sebuah kehidupan baru bagi Sophie. Dibayangkannya bagaimana membina keluarga kecil di daerah pertanian. satu alasan yang terdengar aneh di telinga Sophie. Sebagai bekas tawanan Nazi Jerman di kamp kerja paksa Auschwitz, wanita itu sudah tidak lagi berani bermimpi tentang masa depan. Apalagi merintis hidup baru dengan seorang pemuda lugu dan membesarkan anak-anak .... "Jangan lagi bicara tentang anak-anak," pinta Sophie putus asa. Tapi Stingo tetap saja memandang perempuan itu dengan mata penuh cinta. Apa yang terjadi kemudian hampir tak tecernakan oleh akal sehat Stingo. Setelah keduanya bermain cinta, hangat dan mesra pula, Sophie menghilang. Setengah panik Stingo mencarinya ke Istana Merah Jambu, rumah kos milik Yetta immerman, tempat mereka dulu menjalin persahabatan. Didampingi Dokter Larry, abang Nathan, Stingo menemukan sepasang kekasih itu di sana, di tempat tidur, sudah tidak bernyawa. Dari Larry diketahuinya bahwa Nathan dan Sophie telah menelan racun cyanida. Dibuat berdasarkan novel karya William Styron dengan judul serupa, film ini memfokuskan cerita pada konflik Sophie-Nathan, Sophie-Stingo, dan Sophie-Sophie. Bertolak dari konsep itu, Sutradara Alan Pakula berusaha menuangkan cerita banyak segi ini ke dalam sebuah film drama yang utuh. Pernah sukses dengan film-film Klute dan All the President's Men, Pakula menata cerita Sophie's Choice dalam layar biasa dengan setting yang sebagian besar terpusat di rumah kos. Terutama antara kamar Sophie dan Nathan di lantai teratas dengan kamar Stingo yang terletak setingkat di bawahnya. Kamera telah dengan tekun menjalin kisah antara ketiga kamar itu dengan sudut-sudut pemotretan yang melontarkan suasana tragik dan pahit. Kendati Sutradara telah bekerja cukup cermat dan teliti, film ini tidak dengan sempurna mengungkapkan lapis demi lapis problem kejiwaan Sophie atau menggambarkan tahap-tahap pemikiran Stingo. Hampir dapat dipastikan, memang, bahwa visualisasi seperti itu amat tidak mungkin. Dengan masa putar 2 1/2 jam, film ini masih terlalu sempit untuk menampung tema cerita yang begitu kaya masalah. Pakula sudah tepat merumuskan tema itu dalam tiga konflik tersebut, lalu memperkuatnya dengan beberapa kilas balik yang dijalin rapi. Lewat flashback, Sophie si Polandia itu digambarkan sebagai pribadi remuk, terbelah oleh kekejaman Nazi, sikap anti-Yahudi ayahnya sendiri, dan dendam kesumat Nathan terhadap Jerman. Terasa sangat ironis bagaimana Sophie dicurigai Nathan, bukan saja karena pria Yahudi yang gila ini dirasuk cemburu buta, tapi lebih-lebih karena adanya tato di lengan Sophie, bukti tak terbantah masa lampau hitam di Auschwitz. Tato itu menimbulkan obsesi pada Nathan, obsesi tentang kebiadaban Nazi dan manipulasi mereka terhadap Sophie. Di pihak lain, Sophie terpenjara dalam obsesinya sendiri, yang tidak pernah bisa melihat dirinya semata-mata sebagai korban kcadaan. Ia tidak pernah selesai dengan masa lampau. denan Auschwitz. Di sana ia menyerahkan Eva, anak perempuannya, untuk dikirim ke kamar gas, hanya untuk menyelamatkan Jan. Di sana pula ia bertekuk lutut, mencium sepatu Hoss, algojo Nazi, dalam usaha memperoleh Jan kembali, satu harapan yang tidak pernah terpenuhi. Sophie dua kali gagal bunuh diri, hina akhirnya menelan cyanida bersama Nathan. Tapi kegagalan yang dua kali itu tidak tergambarkan lewat film ini, begitu pula obsesi Stingo tentang frigiditas Leslie Lapidus atau kegairahan seks yang aneh pada Sophie. Namun, secara amat mengesankan Sutradara telah menghadapkan penonton pada praktek kekejaman Nazi dan ketidakwarasan Nathan. Di antara keduanya hadir Sophie, pada akhirnya memilih maut. Isma Sawitri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus