WARGA Jakarta minum air PAM yang mengandung tinja manusia? Mudah-mudahan tidak. Tapi yang pasti, bahan baku air yang dipakai Perusahaan Air Minum (PAM) di instalasi Pejompongan dan Pulogadung mengandung bacteri coliform yang kebanyakan berasal dari kotoran manusia. Bahan baku air dari Saluran Tarum Barat, Jatiluhur, itu menunjukkan kandungan bacteri coliform 5,2 x 107 untuk PAM Pejompongan, dan 2,9 X 1o8 untuk PAM Pulogadung. Padahal, jumlah maksimum yang dianjurkan hanya 1 x 104. Satuan parameter yang agak susah dipahami orang awam itu adalah untuk mengindikasikan seberapa jauh air sungai sudah mengalami kontak dengan tinja manusia. Makin besar angka itu semakin besar pula kemungkinan terjadinya wabah penyakit. Namun, pencemaran bahan baku air yang dipakai PAM untuk penduduk Ibu Kota itu tidak hanya dari kotoran orang. Sebuah penelitian yang makan waktu setahun, yang berakhir November lalu, juga menunjukkan unsur-unsur lain sudah merusakkan air untuk minum itu. "Hasil penelitian membuktikan, air baku di dua instalasi itu tidak layak," kata Ir. Nana Terangna Ginting, 36, kepala Laboratorium Kualitas Tata Air, Puslitbang Pengairan, Departemen PU. Penelitian yan ditanani Nedeco, sebuah perusahaan konsultan Belanda, itu memang menghasilkan penemuan-penemuan yang mungkin bisa membuat penduduk Jakarta ragu minum air PAM. Misalnya, biochemical oxygen demand (BOD) menunjukkan besarnya konsentrasi zat kimia organik. Makin besar konsentrasi zat jenis ini makin banyak O2 yang dibutuhkan untuk menguraikannya. Padahal, banyaknya O2 menentukan tingkat kesegaran air. Zat kimia organik ini kebanyakan berasal dari limbah domestik (sampah dan kotoran orang) dan limbah industri, seperti industri makanan dan minuman, kulit, kertas, dan tapioka. BOD pada PAM Pejompongan menunjukkan 11,2 dan pada PAM Pulogadung 11,1, sementara jumlah maksimum yang dianjurkan cuma 6. Begitu juga dengan chemical oxygen demand (COD). Di Pejompongan tercatat 17,8 dan di Pulogadung 18,5. Sedangkan maksimum yang dianjurkan hanya 10. Zat kimia anorganik yang larut dalam air ini, bila unsurnya berdiri sendiri-sendiri saja sudah berbahaya, apalagi bila bergabung. Dan tingkat bahayanya akan menjadi besar bila unsur-unsur yang terkandung itu merupakan kelompok logam berat. Penelitian yang dibiayai oleh Perum Otorita Jatiluhur (POJ) sebagai instansi yang berhak mengelola air dari waduk Jatiluhur itu juga mengecek pengaruh pencemaran pestisida. Ternyata, Saluran Tarum Barat, yang hampir sepanjang tubuhnya melalui daerah persawahan Karawang, belum dibahayakan oleh racun hama itu. "Polutan dari unsur ini kecil konsentrasinya, mungkin karena bahan pestisida yang dipakai berasal dari jenis yang lifetime-nya pendek," ujar peneliti yang sama di puslitbang pengairan itu. Toh efek dari semua polutan yang diteliti itu tetap mengkhawatirkan. "Efeknya bagi manusia, kalangan medis lebih tahu. Tapi, yang jelas, air baku dari saluran itu tidak dapat diolah oleh instalasi yang sekarang dimiliki PAM," ucap peneliti itu lagi. Karena itu, ia melihat, hanya dengan instalasi yang lebih maju PAM-DKI bisa mengolah bahan baku yang berkualitas rendah itu. "Atau bila dengan instalasi yang sekarang, kami menyarankan agar PAM-DKI mengganti sumber air," ujar peneliti tadi. Mengganti sumber air atau mengubah instalasi dengan yang lebih maju bagi PAMDKI tentu sama-sama sukar. Terutama yang terakhir itu pasti akan menyangkut masalah biaya. Ir. Razak Manan, presiden direktur PAM Jaya, mengakui bahwa, dari kedua belas instalasi yang dimilikinya, tingkat kemutakhirannya tidak sama. Tapi, prinsip pengolahannya tidak berbeda. Razak memang prihatin dengan mutu air baku yang semakin menurun. "Sehingga, pemakaian bahan kimia jadi berlipat," ucap Razak. Upaya pemakaian bahan kimia untuk menghasilkan air yang sesuai dengan persyaratan Depkes itu yang menyebabkan biaya pengolahan menjadi mahal. "Sekitar 40% dari biaya produksi habis untuk membeli bahan kimia," ucap Razak lagi. Jumlah itu hampir dua kali biaya menggaji karyawan. Toh, penggunaan bahan kimia itu terbatas juga. Artinya, kalau kebanyakan, menurut Razak, tentu efeknya akan buruk juga. Mampu menghasilkan air bersih sebanyak hampir 7.000 liter per detik dan dilanggani oleh baru 140.000 kk, PAM DKI memang tidak menerima bahan baku air hanya dari Saluran Tarum Barat itu. Menerima air dari berbagai kali, seperti Ciliwung, Sunter, Krukut, Klender, dan Cipinang, serta mata air Ciburial, Bogor, perusahaan air minum itu kebanyakan memang menerima bahan baku air bermutu rendah. "Nyaris seperti comberan," ucap Ir. Rooswitha, salah seorang staf PAM-DKI. Ia menunjuk beberapa instalasi, Pulogadung, Muara Karang, Cengkareng, dan Cakung misalnya, yang hampir sepanjang tahun kualitasnya di bawah standar yang ditetapkan Departemen Kesehatan. Penurunan mutu itu bisa dilihat dari meningkatnya coliform, nitrit, dan amonium. Akibat pencemaran itu, PAM-DKI terpaksa setiap tahun meningkatkan penggunaan bahan kimia, seperti tawas, kaporit, dan kapur tohor, rata-rata 15%. Meskipun upaya-upaya meningkatkan kualitas air minum itu terus dilakukan, agaknya, Razak Manan perlu juga memberi peringatan. "Kemampuan instalasi PAM untuk menetralisir air baku ada batasnya," katanya. Karena itu, bila ternyata kualitas air baku memang sudah jauh betul dari standar yang ditetapkan - tanpa menjelaskan batas ukurannya - ia akan mengambil keputusan menyetop produksi air minum. Nah, kalau sudah begini, orang Jakarta akan makin bingung mencari air buat umum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini