Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Bohong

Juan Oonce Enrile bersikap dusta pada masa pemerintahan Marcos. Suatu detik yang sangat jarang tercatat dalam sejarah politik. Itu dilakukannya untuk menyelamatkan hati nuraninya dan tanah airnya.

8 Maret 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA orang bersenjata menembaki sebuah iringan mobil pejabat. Waktunya: suatu hari di Filipina di tahun 1972. Di salah satu mobil itu duduk Menteri Pertahanan Juan Ponce Enrile. Ia yang jadi sasaran utama. Ia memang salah satu tokoh terpenting Filipina waktu itu. Orang bersenjata, pembunuhan, dan gertak-menggertak sebenarnya hal lumrah dalam politik di Filipina. Tapi toh kejadian itu mengagetkan. Tak lama kemudian, Presiden Marcos memaklumkan keadaan darurat perang. Wewenang sang presiden kian panjang terentang. Empat belas tahun kemudian, presiden itu terjungkir. Beberapa jam sebelum ia lari dari negerinya, Enrile membangkang. Dan ia mengungkapkan sebuah pengakuan: peristiwa percobaan pembunuhan atas dirinya di tahun 1972 itu hanya bohong-bohongan. Marcos merencanakan kejadian itu sebagai alasan untuk membuat Filipina tampak gawat, dan kekuasaannya dibutuhkan. Anehnya, tak ada yang terkejut mendengar pengakuan seperti itu. Tak juga ada yang terkejut mendengar pengakuan Enrile yang lain: Presiden Marcos, di hari pemilihan umum 1986 yang bersejarah itu, meneleponnya sendiri dan menyuruhnya untuk main curang. Seakan-akan, orang sudah mengharapkan hal seperti itu akan dilakukan. Khususnya oleh Marcos. Barangkali oleh siapa saja di tempat pergulatan kekuasaan. Pada saat orang masuk ke dalam pergulatan itu, orang akan mendengarkan nasihat termasyhur dari abad ke-16 Eropa: bagaimana untuk tak menjadi orang baik. Tentu saja nasihat Machiavelli. Di dalam riwayat Yunani lama, dikisahkan bagaimana Achiles dan para pangeran lain dikirim untuk diasuh seekor makhluk setengah hewan setengah manusia. Bagi Machiavelli itu adalah kiasan: seorang raja perlu tahu bagaimana mempergunakan kombinasi dua sifat itu. "Yang satu, tanpa adanya yang lain, akan tak dapat berlangsung lama," kata Machiavelli. Semacam pura-pura pun diperlukan dalam paduan setengah hewan setengah manusia seperti itu. Maka, seorang raja, menurut Machiavelli, tak perlu memiliki sifat-sifat baik. Tapi sangat perlu bila ia tampak punya sifat-sifat baik. Bahkan dalam risalah yang termasyhur itu, Il Principe, tertulis: "Dan saya berani mengatakan, memiliki serta senantiasa menaati sifat-sifat baik itu bisa merusak, sedangkan berlaku seakan-akan memilikinya merupakan hal yang berfaedah." Hipokrisi? Kemunafikan? Di sinilah kita perlu berhati-hati. Machiavelli adalah seorang yang mengingatkan kita akan keniscayaan yang pahit dalam hidup politik. Tapi ia juga tak bisa mengabaikan iman kepada Hakim Yang Terakhir. Maka, ketika ia menulis, dalam sepucuk surat, bahwa "Aku mencintai kota kelahiranku lebih dari aku mencintai rohaniku" tak berarti ia telah mengingkari Tuhan. Tanah air bukanlah hal yang lebih penting ketimbang Pencipta. Ucapannya itu, bagi Machiavelli, sekadar menunjukkan bahwa ia rela mengorbankan kebahagiaan hidup di surga demi keselamatan tanah kelahirannya. Soalnya kemudian bukanlah manakah yang lebih dicintai: Tuhan atau hidup dunia. Soalnya adalah: Lebih bisakah seseorang mencintai dunia di atas cintanya pada dirinya sendiri termasuk hasratnya untuk ke surga. Maka, betapapun kadang mengerikannya petuah Il Principe, yang ditentang Machiavelli dari abad ke-16 itu adalah egoisme. Karena itu, ia sebenarnya bukan penganjur hipokrisi. Saya kira hanya Hannah Arendt, dalam satu risalah tentang revolusi, yang dengan bagus bisa menguraikan perkara kemunafikan ini. Seorang hipokrit bukanlah seorang aktor. Sang aktor hanya memainkan peran dan mengenakan topeng. Sang hipokrit, kata Arendt, adalah seorang yang "terlampau ambisius". Bukan saja ia ingin tampak baik budi di depan orang banyak ia bahkan ingin meyakinkan dirinya sendiri. Dengan demikian, ia hendak melenyapkan inti kejujuran satu-satunya, sumber yang bisa menampilkan kembali dirinya yang sejati, "the only core of integrity from which true appearance cold arise again". Seorang hipokrit akhirnya tak punya saksi yang sejati itu: semacam tatapan Tuhan, yang lebih dekat ketimbang nadi di leher. Sebaliknya, seorang aktor tak kehilangan dirinya sendiri: selepas ia dari pentas, setelah topeng ia tanggalkan, ia tetap tahu ia bukan Rambo. Juan Ponce Enrile akhirnya memutuskan ia hanya seorang aktor. Ia mengakui justa yang ikut dilakukannya dan ia menolak untuk melaksanakan justa yang lebih jauh. Yang menarik ialah bahwa ia bersikap demikian pada suatu detik yang sangat jarang tercatat dalam sejarah politik: ketika seseorang bisa sekaligus menyelamatkan hati nuraninya pada saat ia juga menyelamatkan tanah airnya. Dengan mencopot kebohongan, Enrile bukan saja mengembalikan pentingnya kejujuran ia juga telah memojokkan seorang yang ditentang orang ramai. Pada saat itulah (biarpun mungkin hanya pada saat itu), kita bisa mengatakan betapa berbahagianya Filipina. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus