TAK setiap bom bisa membunuh anak yang menangis. Tak setiap bom membinasakan batas antara yang bersalah dan tak bersalah: musuh yang layak dibenci dan seorang bapak yang cuma tengah mencari sesuap nasi. Tapi zaman berubah. Pernah ada masanya, dulu, ketika seorang panglima bahkan melarang para prajuritnya merusakkan pohon-pohon. Yang sipil, tak berdaya, dibiarkan, walaupun mereka di pihak lawan. Yang tak mengangkat senjata dilindungi. Tapi zaman berubah. Dan zaman berubah dengan cepat, dengan ganas, sedih. Di Hiroshima, sesuatu yang mengerikan, total dan tak memilih-milih, telah dijatuhkan kota itu pun luluh lantak 39 tahun-yang lalu, lengkap dengan bayi-bayinya. Selanjutnya adalah teror. Ketakutan tak punya persembunyian lagi di abad ke-20. Ada sekali masanya kita mengenal sebuah tirai - mungkin juga teori yang memisahkan kekerasan yang "adil" dan kekerasan yang "tak adil". Namun, tirai itu pun kini jebol. Tiap pembunuhan bahkan yang sewenang-wenang, seakan pandai menemukan alasan yang beradab. Tiap kesewenang-wenangan punya dalih, kadang-kadang filsafat. kadang-kadang ideoloi atau sekadar statistik. Rasa malu telah kita simpan, jauh-jauh, di kolong yang kelam. Kita hidup dengan wajah suram Stepan Fedorov. Stepan ini adalah Stepan yang diciptakan Albert Camus dalam lakon termasyhurnya tentang teroris Rusia awal abad ini, Les Justes. Sandiwara itu pernah diterjemahkan dan dipentaskan di Indonesia beberapa belas tahun yang lalu, lantas dilupakan. Ia memang cerita pentas yang tak mengesankan. Tapi saya kira kita kini lebih baik mengingatnya kembali. Setidaknya, kita mengingat Stepan. Sebab, Stepan adalah sebuah ide yang berkata dengan yakin tentang teror sebagai teror - bukan sekadar sebuah gaya lain-seorang radikal. Dengan kata lain, tak ada basa-basi. "Kita ini para pembunuh, dan kita telah memilih untuk jadi demikian," katanya kepada teman-temannya seperjuangan. Itulah sebabnya terorisme bukan permainan untuk mereka yang masih repot dengan perasaan moral serta hati nuram. La terreur ne convient pas aux delirats, titik. Maka, orang macam Stepan tak akan bergeming buat melemparkan bom ke tubuh anak-anak sekalipun, asal sang Hertog Agung yang menguasai Rusia bisa ia enyahkan. "Ya, saya memang brutal," katanya, mengakui. "Tapi bagi saya, rasa benci bukanlah sebuah maiman. Kita di sana bukan untuk mengagumi diri. Kita di sana untuk berhasil." Sudah jelas bahwa bagi Albert Camus, sang pengarang, tokoh jenis Stepan adalah tokoh yang merisaukan. Sebab, hanya dialah yang bisa mengucapkan kata bena dengan bagus, dan dengan bagus pula jadi sosok yang mencemooh Ivan Kaliayev. Kaliayev, yang selalu dipanggil Yanek, memang anak muda revolusioner yang bersemangat. Tapi dengan segala sikap patuhnya kepada "Organisasi", Yanek kadang masih menciptakan aturan sendiri. Bagi orang macam Stepan, itu suatu tanda bahwa anak muda itu ikut revolusi hanya lantaran bosan. Ia terlampau romantis. Jika pun tak ada yang disebut "hati nurani", orang macam Yanek tetap akan menyimpannya jauh di dalam. Dan memang itulah yang terjadi. Ketika Yanek petang itu harus melemparkan bom ke kereta sang Hertog Agung, ia tak jadi melakukannya. Ia melihat sesuatu yang tak diperkirakan sebelumnya: ada anak-anak di kereta itu. Dua bocah yang tak tertawa, dua keponakan kecil yang memandang kosong ke depan, dua waah yang sekilas sedih. Yanek terkesiap. "Tanganku mendadak lemah. Anggota badanku gemetar," tuturnya kemudian. Sedetik setelah itu, ia telat sudah. Sang Hertog selamat. Bersalahkah Yanek? Bagi Camus, tidak. "Kau benar," kata Yanek keoada Dora. teman seperjuangan yang juga kekasihnya, "soalnya tak begitu sederhana. Tadinya kusangka bahwa mudah untuk membunuh, bahwa ide saja cukup, dan keberanian. Tapi saya tidak sedemikian besar dan sekarang saya tahu, tak ada bahagianya kebencian itu." Meskipun demikian, dalam kisah ini, Yanek akhirnya tak melarikan diri dari tugas. Ia mati digantung, tak sebagai orang cengeng. Ia hanya tahu, betapapun kerasnya ia berbuat untuk keadilan, "manusia tak hidup hanya dengan keadilan". Dan Camus menampilkannya sebagai hero. Di tahun 1957, beberapa jam setelah menerima Hadiah Nobel, Camus sendiri bahkan seakan mengulang Kaliayev-nya, Ia bicara tentang teror yang-terjadi di jalan-jalan kota masa mudanya, Algiers. Ia tahu, kekerasan itu dilakukan para pejuang kemerdekaan Aljazair. Tapi ia juga tahu bahwa suatu saat bom blsa membunuh ibunya, yang hidup tua di sana. Maka, ia tak bisa bersikap lain: "Saya percaya kepada keadilan, tapi saya akan membela ibu saya di depan keadilan. Mungkin, yang ingin dibelanya bukanlah sebuah cita-cita abstrak, tapi seorang manusia yang benar ada dan tak berdaya. Tapi zaman berubah dan Camus ditertawakan sebagai penjaga sebuah kepentingan. Yanek telah mati. Hanya Stepan yang ketawa suram dengan tepuk tangan di kanan kiri: penghancuran, katanya, adalah sesuatu yang "tak ada batas". Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini