Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAHKAMAH Konstitusi tak boleh mengedepankan syak wasangka dalam memutus suatu perkara. Semestinya tak perlu emosional, meski yang menjadi pemohon uji materi adalah sejumlah figur terkemuka dan belasan organisasi kemasyarakatan Islam, termasuk Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Mereka mengajukan permohonan uji materi dan menuntut pembubaran Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas).
Prinsip kehati-hatian inilah yang tampaknya cenderung diabaikan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. ketika mengumumkan pembubaran BP Migas. Sikap majalah ini sejalan dengan hakim konstitusi Harjono, yang mengajukan dissenting opinion, berbeda pendapat dengan mayoritas anggota majelis. Lembaga penjaga konstitusi itu tampaknya kurang cermat atas satu hal yang sangat esensial dalam peradilan: legal standing atau posisi hukum para pemohon. Para tokoh dan organisasi tadi sejatinya tak punya kepentingan langsung terhadap pokok perkara sehingga permohonan mereka seharusnya ditolak.
Mahkamah akhirnya menganulir sejumlah pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Ketentuan yang mendasari pembentukan BP Migas itu dianggap membuka liberalisasi pengelolaan minyak dan gas. Konsiderans yang terasa menyalahkan pihak asing ini sangat aneh karena peraturan tadi lahir di era reformasi, yang tokoh-tokohnya dikenal bersikap nasionalistis. Presidennya saat itu Megawati Soekarnoputri. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat dijabat Amien Rais. Akbar Tandjung mengetuai Dewan Perwakilan Rakyat. Yang menarik, dua hakim Mahkamah Konstitusi yang pro-pembubaran BP Migas merupakan anggota DPR yang dulu ikut mengesahkan Undang-Undang Migas itu.
Sesungguhnya, kehadiran pemain asing tak bisa dihindari dalam bisnis di sektor migas ini. Guna meningkatkan cadangan minyak dan gas bumi, diperlukan kegiatan eksplorasi besar-besaran di dalam negeri. Pengeboran di laut dalam ini butuh investasi sangat besar, setidaknya US$ 20 juta per sumur. Untuk mengebor satu sumur di laut dangkal, sedikitnya perlu US$ 2 juta. Hanya pemain asing yang berani menggerujukkan modal segede gajah ini.
Janggal pula rasanya kalau Mahkamah menilai BP Migas berpotensi inefisien dan prakteknya membuka peluang penyalahgunaan kekuasaan. Mengikuti logika ini, sulit menemukan lembaga negara yang konstitusional dan tidak berpeluang untuk selingkuh dan tak efisien. Di sinilah perlunya sistem pengawasan, yang celakanya justru tak ada di dalam BP Migas. Masalah ini sebetulnya cukup diselesaikan dengan merevisi Undang-Undang Migas untuk membentuk dewan pengawas.
Badan publik yang tak ditetapkan dalam konstitusi tidak lantas tergolong inkonstitusional. Dalam pembentukan BP Migas, sejatinya tak ada yang salah menurut struktur konstitusi. Kepentingan negara dalam BP Migas dijaga dua pihak yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, yakni presiden dan DPR. Kadar entitas negara justru sangat kuat karena kepala badan di hulu migas ini diangkat dan diberhentikan oleh presiden setelah berkonsultasi dengan DPR.
Bukan mustahil ada kecurangan bahkan korupsi di dalam badan yang mengelola Rp 300-an triliun ini. Kalau Badan Pemeriksa Keuangan menduga ada manipulasi perhitungan kontrak kerja sama sebesar US$ 1,7 miliar (sebaliknya, BP Migas mengklaim selama ini BPK memberinya status wajar tanpa pengecualian), penyimpangan itu saja yang perlu diusut. Tudingan Komisi Pemberantasan Korupsi tentang potensi kerugian negara di badan ini sebesar Rp 152 triliun juga perlu dibuktikan. Kalau ini benar terjadi, "tikus-tikus" itu saja yang mesti diseret ke pengadilan, sedangkan lumbung padi tak perlu dibakar.
Mahkamah Konstitusi kadung membuat putusan, dan putusannya bersifat final. Pemerintah mesti segera melaksanakan putusan ini. Satuan kerja di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, pengganti sementara BP Migas, harus mampu mengisi kevakuman ini. Kepastian hukum atas kontrak-kontrak perlu tetap jalan, sehingga tak berdampak buruk bagi kegiatan investasi. Sektor migas memang sangat sensitif. Selain butuh kapital raksasa dan teknologi canggih, sifat bisnisnya berjangka panjang. Wajar saja bila sekarang merebak kekhawatiran: bila BP Migas yang kuat saja bisa dibatalkan, apalagi cuma kontrak kerja sama.
Dalam jangka panjang, badan baru atau perusahaan pelat merah baru yang mewakili dan melaksanakan fungsi pemerintah ini harus dipastikan lebih baik, lebih transparan dan akuntabel. Organisasinya harus kuat, diisi kaum profesional yang integritasnya tak diragukan. Jangan lantas berkah minyak dan gas hanya berpindah dari mulut harimau ke mulut buaya. Setelah BP Migas tamat, pemerintah kelimpahan tugas berat: mendongkrak lifting minyak yang kian merosot, dan pada saat bersamaan menjamin rezeki minyak dan gas untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
berita terkait di halaman 102
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo