Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Grasi Ganjil Gembong Narkoba

Meirika Franola, bandar narkoba, memperoleh grasi. Kontroversi muncul karena Yudhoyono tidak transparan.

18 November 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POLEMIK pro-kontra pemberian grasi kepada Meirika Franola alias Ola bisa terus bergulir—sampai semua orang bosan sendiri—karena ada yang belum jelas. Grasi adalah hak prerogatif Presiden, yang ini sudah jelas. Presiden dalam memutuskan grasi bisa meminta pertimbangan Mahkamah Agung dan instansi lain, itu pun jelas. Dalam hal mempertimbangkan grasi untuk Ola, Mahkamah Agung menyatakan ketidaksetujuannya, juga masalahnya jelas.

Yang tak jelas, pertimbangan dari mana yang dipakai Presiden dalam memberikan grasi kepada Ola. Jika itu dianggap rahasia, dan toh Presiden mau memikul tanggung jawab penuh, boleh dikesampingkan. Tapi yang satu ini seharusnya jelas dan transparan ke khalayak: pertimbangan itu menyangkut perilaku si pemohon grasi ataukah kebijakan baru Presiden menyangkut hukuman mati yang dianggap melanggar konstitusi?

Ketidakjelasan yang terakhir ini menimbulkan berbagai dugaan. Ada yang menduga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi kepada Ola semata-mata karena menganggap Ola hanya kurir, bukan otak atau gembong narkoba. Ternyata kemudian Ola, yang menerima grasi pada 26 September 2011, bisa mengendalikan peredaran narkoba dari penjara. Itulah yang terungkap dari tertangkapnya seorang penyelundup narkoba di Bandung, yang menyebutkan Ola otak penyelundupan sabu-sabu dari India ke Indonesia.

Jika Yudhoyono memberikan grasi kepada Ola bukan soal kurir atau otak narkoba, melainkan semata-mata karena "anti-hukuman mati", persoalan jadi lain. Presiden harus memberikan grasi kepada semua terpidana mati di seluruh Tanah Air, tanpa kecuali, apakah kasusnya narkoba, pembunuhan berencana, terorisme, atau apa pun. Kebijakan Presiden ini harus disosialisasi, termasuk mungkin dengan menciptakan undang-undang baru. Tentu setelah melalui perdebatan, apakah hukum kita masih mencantumkan hukuman mati atau tidak.

Dalam kasus Ola, pencabutan grasi—hal yang disebut memungkinkan oleh pihak Istana—hendaknya tidak dilakukan. Selain tidak etis, pepatah menyebut "menelan ludah sendiri", terkesan tindakan ini mencla-mencle, padahal urusannya nyawa orang. Juga tak ada kepastian hukum, dan jadi preseden kelak, grasi bisa dicabut jika ada tekanan. Di mana wibawa seorang presiden kalau itu terjadi?

Yang paling baik, Ola diproses secara hukum untuk kasusnya yang terakhir, setelah grasi diberikan, yakni tuduhan sebagai otak penyelundupan sabu-sabu di Bandung itu. Nanti ia dijerat dengan hukuman maksimal yang masih berlaku: mati. Pasal ini tentu mudah ditimpakan, mengulang perbuatan sebelumnya, merusak generasi muda, dan pasal-pasal lain yang tak perlu lagi diajarkan kepada jaksa penuntut umum, lalu ditambah dengan kesalahan yang memberatkan: menyia-nyiakan grasi yang diberikan Presiden.

Kalau vonis mati kedua akan dikenakan kepada Ola, nantinya persoalan semakin jelas. Jika hukuman mati itu masih diberi grasi oleh Presiden, artinya Presiden memang punya "maksud lain" meniadakan hukuman mati. Kalau grasi ditolak, ya, eksekusi berjalan: dor. Ketegasan diperlukan dari Presiden dan pembantu-pembantunya untuk memberantas narkoba, yang kian marak di negeri ini. Langkah ini jauh lebih penting ketimbang berpusing-pusing oleh polemik soal adanya mafia narkoba masuk Istana atau tidak.

berita terkait di halaman 90

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus