Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertahta
CHAIRIL Anwar menuliskan baris-baris itu untuk seorang nenek tua
yang meninggal. Kita kini mungkin akan mcngingatnya untuk
seorang Kusni Kasdut.
Sebab memang bukan kematian itu benar yang menusuk kalbu. Tapi
kenyataan, bahwa yang mati hanya pasrah, dan maut datang sebagai
manifestasi kekuasaan. Dalam hal si nenek tua, kekuasaan itu
agaknya langsung dari Tuhan. Dalam hal Kusni, kekuasaan yang
hadir adalah negara. Begitu tinggi, begitu bertahta, begitu
singkat merampat. Yang mati butir debu. Duka itu pun rata dengan
tanah.
Masalah hukuman mati, dengan demikian, selalu menyintuh sebuah
akar yang tertanam dalam -- sejenis akar religius dalam
kehadiran kita. Mungkin Chairil Anwar seakan hendak memprotes
Tuhan ketika ia menyaksikan kematian neneknya. Tapi ia toh tak
bisa mengingkari-Nya. Mungkin kita juga mgin menggugat ke sana
ke mari, melihat jamjam terakhir Kusni Kasdut yang tak bisa ia
elakkan. Tapi pada akhirnya kita toh berbicara tentang
batas-batas manusia dan kekuasaannya.
Orang yang mati tak akan pernah kembali. Jurang antara tiang
tempat si terhukum ditembak dengan alam sesudahnya adalah jurang
yang mutlak. Bahaya terbesar dari hukuman mati karena itu
bukanlah lantaran kekejaman telah dilegalkan di sana. Bahaya
terbesar dari hukuman mati ialah bila kita, dalam ikhtiar
keadilan itu, tercerabut dari "akar religius" kita. Artinya kita
tak lagi bertanya atas dasar apakah seseorang, atau sekelompok
orang, mendapatkan kekuasaan yang begitu besar hingga "setinggi
itu atas debu dan duka" mereka bertahta.
Jangan salah faham. Sekelompok orang bisa mengirimkan algojo
atas nama Tuhan. Tapi pada saat itu barangkali mereka
menyekutukan diri dengan Yang Maha Kuasa itu, dan di sini kita
sesungguhnya tak bisa lagi bicara tentang suatu akar yang apa
pun berarti, kecuali kepongahan. Sebab kita tak lagi bersedia
mengakui ketidak-mampuan kita untuk seperti Dia: mengabsolutkan
keputusan-keputusan dan juga memberikan ampunan.
Kegagalan kita untuk memaakan, kesediaan kita untuk mengakui
dendam, adalah penerimaan tentang batas. Setelah itu adalah doa.
Pada akhirnya kita akan tahu bahwa kita bukan hakim yang
terakhir. Kematian dengan demikian diberi tafsiran bukan sebagai
lawan dari kehidupan, melainkan kelanjutannya. Di ujung sana
Tuhan lebih tahu.
Barangkali di situlah terasa kaum abolisionis, yang gigih
menentang hukuman mati atas segala macam kejahatan, terasa sama
kurang memuaskannya dengan kaum legalis. Mereka hendak
menunjukkan bahwa keputusan manusia bisa salah dan tidak mutlak.
Betapa benarnya. Tapi kematian barangkali tak dilihat sebagai
jalan ke arah hukum yang lebih adil. Tubuh yang ditembak itu
barangkali hanya dipandang sebagai tubuh yang kehilangan hak.
Tapi memang bukan kematian itu benar yang menusuk kalbu, dan
kaum abolisionis juga pada dasarnya berbicara tentang keadilan.
Yang kadang tak disadari ialah bahwa keadilan adalah satu hal,
perasaan iba adalah hal lain. Keduanya bisa bertemu di satu
titik, tapi bisa juga berlawanan.
Ataukah kita harus bicara soal aturan peradaban yang mutakhir?
Tapi agaknya keperluan kita kini akan peradaban bukanlah
hapusnya hukuman mati untuk perikemanusiaan atau terusnya
hukuman mati untuk menangkal kejahatan. Keperluan kita akan
peradaban nampaknya lebih elementer: sebuah peradilan yang
bersih dan terang sebuah penjara yang lebih baik daripada tiang
gantungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini