Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pertamina Vs Isteri Kedua

Achmad thahir, ass umum dirut meninggal 23 juli 1976 diduga menyimpan us$ 80 juta di luar negeri. pertamina menuntut, isteri kedua pantang mundur. (nas)

16 Februari 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IA dikenal sebagai orang yang amat berkuasa di Pertamina semasa Ibnu Sutowo. Sekalipun tak berpangkat Direktur atau Direktur Umum seperti disebutkan koran-koran, dialah tak pelak lagi orang paling dekat Dir-Ut Pertamina ketika itu. Jabatan resminya: Asisten Umum Dir-Ut. Dia, Haji Achmad Thahir, meninggal 23 Juli 1976 pada usia hampir 64 tahun. Tapi tiba-tiba namanya disebut-sebut lagi pekan lalu. Pak Haji, demikian orang-orang lama Pertamina memanggilnya, ternyata memiliki simpanan uang yang besar di luar neeeri. Seperti diungkapkan koran The Asian Wall Street Journal 5 Februari, almarhum memiliki deposito berjangka di beberapa bank di luar negeri. Jumlahnya US$ 80 juta. Deposito itu dibuka sebagai rekening bersama dengan istri kedua almarhum, Ny. Kartika Ratna. Dengan kata lain, Ny. Kartika itu setiap waktu berhak mengambil uangnya di bank tempat suami istri itu menyimpan depositonya. Tapi ia terbentur ketika mau mengambil sebagian dari US$ 35 juta yang didepositokan di Bank Sumitomo Cabang Singapura. Itu terjadi empat hari setelah Haji Thahir meninggal, 1976. Manajer bank itu, Akira Fujimene minta maaf dan memberitahukan sang nyonya tentang kedatangan Abubakar dan Ibrahim Thahir, dua putra almarhum dari istri pertama Rukiah. Mereka, demikian manajer bank Sumitomo itu, mengklaim juga hak atas deposito itu. Uang Sogok Merasa tak puas dengan perlakuan begitu, esoknya Ny. Kartika lewat pengacaranya minta agar seluruh depositonya di bank Sumitomo ditarik. Tapi itupun tak berhasil. Kompromi antara kedua pihak yang bersengketa memang dicoba, tapi gagal. Kabarnya Ny. Kartika berkeras. Sengketa keluarga itu agaknya tak banyak diketahui orang. Pertamina sendiri baru mengetahui dan mulai ikut dalam perkara pada 6 Mei 1977, hampir setahun kemudian. Pada hari itu kantor pengacara Selvadurai & Emmanuel di Singapura, sebagai wakil Pertamina, menulis kepada Sumitomo dan memberitahukan bahwa deposito almarhum Haji Thahir itu adalah milik sah pemerintah Indonesia. Dalam suratnya itu disebutkan bahw deposito almarhum itu adalah hasil "promisi" yang diperoleh almarhum dari para kontraktor asing. Surat resmi Pertamina itu tak menyebutkan bahwa almarhum Thahir atau bekas Dir-Ut Pertamina telah melakukan suatu tindakan "korupsi". Tapi disebutkan Thahir sebagai pejabat direktur urusan keuangan di bawah bekas Dir-Ut Ibnu Sutowo adalah orang yang bertanggungjawab dalam "perundingan, pembuatan dan pelaksanaan berbagai kontrak, pinjaman dan proyek yang meliputi ratusan juta dollar AS." Dokumen itu menerangkan, di tahun 1974 melalui posisinya yang begitu leluasa di Pertamina almarhum diduga telah menyalahgunakan kedudukannya untuk menarik berbagai uang sogok dari para calon kontraktor. Dokumen itu secara khusus menyebutkan bahwa Haji Thahir bersama Ibnu Sutowo telah merundingkan kontrak-kontrak pembangunan beberapa bagian dari proyek Krakatau Steel dengan kontraktor Jerman Barat Klockner & Co. Jumlah kontrak itu meliputi DM 469 juta (US$ 69,2 juta menurut nilai tukar sekarang). Seperti diketahui proyek raksasa yang terutama melibatkan tiga kontraktor Jerman Barat: Klockner, Siemens AG dan Ferrostahl, telah menggelembung menjadi sekitar US$ 2 milyar. Suatu jumlah yang oleh pemerintah dianggap tak masuk akal. Tim penyehatan PT Krakatau Steel yang dibentuk oleh Presiden, diketuai Menteri PAN J.B. Sumarlin kemudian berhasil menekan jumlah itu lewat serentetan perundingan kembali yang seru, menjadi di bawah US$1 milyar. Ahli waris almarhum Thahir dari istri pertama, seperti dikatakan Menteri Sumarlin pekan lalu, sudah menyetujui untuk menyerahkan deposito yang diduga US$ 80 juta itu kepada pemerintah R.I. Tapi bagaimana cara memperolehnya. "Itu memang tidak mudah," kata Sumarlin kepada TEMPO pekan lalu. Dia sendiri belum bersedia untuk menerangkan lebih jauh. Tapi beberapa sumber yang dekat dengan Pertamina, menjelaskan bahwa simpanan Thahir yang di bank Sumitomo itu baru ketahuan beberapa bulan setelah timbul sengketa antara Kartika dengan anak-anak Thahir. Selain yang di bank Sumitomo, almarhum bersama istrinya Kartika kabarnya memiliki simpanan di Chase Manhattan Bank of New York dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation of Hongkong. Umumnya berupa deposito berjangka 6 bulan, dan dalam mata-uang dollar AS dan Mark Jerman Barat yang kuat itu. Anak Nganjuk Di Jakarta saja, almarhum mewariskan tiga rumah mentereng, semuanya saling berdekatan di Jl. Mangunsarkoro. Lalu ada sebuah rumah, bagaikan istana dikelilingi tembok bata merah mengkilat, di Kemang Raya. Di situ kini tinggal Ny. Rukiah, istri pertama almarhum. Rukiah menolak untuk diwawancarai. "Tak usah saja," pesannya lewat penjaga yang berpakaian seragam Pasmanin, keamanan Pertamina. Pengacara keluarga Ny. Rukiah. S. Tasrif SH juga tak bersedia memberi keterangan apapun. "Etiknya saya tak boleh membuka perkara yang ada di tangan saya," katanya kepada Karni Ilyas dari TEMPO. Konon Ny. Kartika akan membalas dengan menuntut pembagian semua warisan almarhum yang ada di Indonesia. Masih memegang paspor Indonesia, Ny Kartika memang sudah lama tinggal di luar negeri. Kalau tidak di Singapura dia kabarnya sering tinggal di Jenewa. Ketika suaminya meninggal, Nyonya Kartika memang sedang berada di Eropa. Tapi siapa Kartika Ratna itu? Dia ternyata anak kelahiran Nganjuk, kota di Jawa Timur. Dibesarkan di Malang, Kartika Ratna binti Tandio yang lahir pada 28 November 1934 itu pernah kawin sebelum bertemu dengan Haji Thahir. Tak begitu jelas di mana mereka bertemu muka. Tapi ada yang bilang, adalah Robin Loh, pengusaha terkenal di Singapura itu yang memperkenalkan janda itu dengan H.A. Thahir. Mereka, pada 19 Juli 1974, menikah secara Islam di rumah kediaman Mr. Iskak, di Jl. Diponegoro 6, Jakarta. Mr. Iskak sendiri ketika ditanya belum bersedia menerangkan. Tapi kabarnya, pernikahan yang terjadi persis di belakang rumah almarhum yang di Jl. Mangunsarkoro no. 13 itu baru kemudian terungkap setelah Thahir meninggal. Melihat semua itu posisi Ny. Kartika Thahir nampak kuat. Tapi pihak Bakin yang sedang melacak asal-usul deposito di bank Sumitomo itu perlu membuktikan bahwa uang itu memang berasal dari komisi atau sogokan. Seorang pejabat mengakui untuk membuktikan asal-usul uang itu bukan perkara yang mudah. Di akhir 1979, melalui kantor pengacara Karthigesu & Arul, Pertamina mengeluarkan surat resmi (affidavit) lagi. Antara lain disebutkan ada indikasi kuat bahwa kekayaan almarhum Thahir di bank Sumitomo Cabang Singapura diperoleh dengan menyalahgunakan jabatannya di Pertamina. Ada lagi satu cara yang setidaknya dianggap bisa mengurangi milik Ny. Kartika di bank Sumitomo itu. "Menurut hukum Islam kan seorang istri hanya berhak seperempat atas warisan suaminya," kata sebuah sumher di Pertamina. Rupanya hukum agama juga akan digunakan dalam sidang bulan depan di Singapura.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus