Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Buruh

Zaman telah berubah. sosialisme yang didukung buruh di inggris kalah. resesi ekonomi menggerogoti negara ini. pm margareth thatcher membenahinya dengan kapitalisme dan ia pun didukung oleh para buruh.

20 Juni 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LELAKI yang menemui saya di markas besar serikat sekerja itu mengenakan pullover biru gelap. Pakaian itu menutupi tubuh dan lehernya yang pendek. Matanya juling. Ia tak mencoba teramat ramah juga kepada seorang wartawan yang datang dari jauh, dari Indonesia. Kota London masih pagi, dia tampak baru bangun tidur satu-satunya petunjuk bahwa ia secara sadar sedang menemui tamu ialah ketika ia, dengan aksen Inggris yang agak sulit saya pahami, menawarkan kopi pada cangkir keramik dengan warna tanah yang kasar. Ada sesuatu yang mengharukan dalam sikap dan penampilan itu - sesuatu yang mungkin menyebabkan orang merasa dekat, atau merasa bersalah, kepada mereka yang diwakilinya: proletar. Di gedung dengan arsitektur yang kaku dan hampir tanpa hiasan ini, lelaki itu - seoran anota staf sekretariat jenderal Trades Unon Congress--tampil seperti orang-orang sederajatnya, yang baru pulang capek dari pabrik-pabrik dan liang tambang. Tapi apa sebenarnya yang diwakilinya ? Siapa yang diwakilinya? Saya bertanya kepadanya, kenapa serikat buruh tekstil Inggris memprotes pabrik-pabrik tekstil Muangthai yang mempekerjakan anak-anak "di bawah umur". Adakah ini tanda solidaritas kaum pekerja sedunia - atau justru ketakutan akan persaingan, antara buruh lnggris yang mahal dan buruh Thai yang murah, yang menyebabkan industri tekstil Inggris terpukul? Ia menjawab, sambil menghirup kopinya, tanpa argumentasi, "Mungkin kedua-duanya." Saya pulang berjalan kaki dari kantor TUC, melewati British Museum: lebih dari seabad yang lalu. Marx hampir tiap hari di sana, menyusun bahan untuk meramalkan keruntuhan kapitalisme. Sosialisme pun mendengung: buruh harus bersatu, dunia akan jadi tempat yang baik. Tapi seabad lebih lewat, dan kita tak amat pasti bagaimana itu semua akan bisa terjadi. Terutama di Inggris, negeri tempat Marx pernah menyingkir dan kemudian, dalam keadaan miskin tapi masyhur, dimakamkan. Mungkin semuanya bisa ditandai dengan tahun 1979. Resesi ekonomi memuncak. Ratusan ribu pekerja dirumahkan. Serikat sekerja kehilangan anggota - dan juga uang iuran. Partal yang biasa mereka dukung, Partai Buruh, kalah oleh seorang yang bertekad melumpuhkan mereka sampai renta: Margaret Thatcher. Itu berarti, rakyat mendukung wanita itu: seorang anak pedagang grosir dari Grantham, yang, dengan kepastian scorang ahli kimia, meyakini kapitalisme sebagai jalan tunggal bagi Inggris, kini dan nanti. Suara Thatcher, ternyata, punya gema yang dalam dan panjang. Ia dipilih buat ketiga kalinya, dengan gemuruh Dan orang mendukungnya bukan karena ia tokoh yang disukai seperti Reagan, pemimpin yang bisa jenaka dan senyum hangat. Ia didukung karena apa yang dilakukannya dan ingin terus dilakukannya. "Tujuan jangka panjang saya," katanya, "adalah untuk melihat sebuah Inggris yang bebas dari sosialisme." Kata-kata itu seperti ramalan. Saya ingat hari itu, di stasiun Piccadily Circus, seorang teman Inggris berkata, dingin, "Buruh tambang batu bara terus mogok, tapi mereka tak tahu bahwa zaman berubah: kini mereka akan kalah." Ini juga ramalan (ternyata benar) dari mereka yang sudah muak pada kebisingan serikat-serikat sekerja: terlalu rewel, tak putus-putusnya menuntut dilindungi daripembaruan teknologi, (agar lapangan kerja tak hilang), dan nyaris mengakibatkan Inggris mandek di persaingan . Ada segaris sedih di hati saya, dan, mungkin berlebihan, ada terbayang bagian suram novel Germinal. Emile Zola juga, dengan novel itu, bercerita tentang kekalahan buruh Prancis di tambang Montsou abad ke-19. Tapi Germinal diakhiri dengan alasan alam yang cerah: pagi dan matahari. Pemogokan buruh tambang batu bara Inggris di tahun 1983 itu mungkin tak punya pagi dan matahari. Seorang direktur British Steel bahkan pernah berkata ketika buruh baja mogok di tahun 1979, "Bulan dan bintang dan segalanya tak mendukung orang-orang malang ini." Sang buruh akhirnya memang harus memilih hidup dengan roti, bukan revolusi. Dan heroisme proletariat? Ketika pemerintahan Thatcher berhasil menaikkan penghasilan rakyat, biarpun amat kecil buat si miskin dan amat banyak buat si kaya, para buruh pun ikut memilihnya. Ketika Thatcher membuka kesempatan membeli saham, mereka pun beramai-ramai jadi kapitalis teri - seperti pembuat topi dari Marseilles yang dapat lotre dalam Germinal .... Berkhianatkah mereka? Souvarin, tokoh anarkis dalam novel Zola, mencerca para pekerja yang akhirnya menyerah kepada bujukan sang pemodal. Ia pun meruntuhkan tambang batu bara di Montsou itu dan membinasakan siapa saja yang turun ke dalamnya. Tapi bagaimana Souvarin bisa tahu hati seorang proletar? Ia anak bangsawan dari Rusia, yang lari dari kejaran polisi dan jadi juru mesin yang meneriakkan perlawanan. Tapi ia hanya tamu. Ia akan pergi bila perlu. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus