KALI ini pengendapan dan pemantapan nilai. Fase pancaroba, eksperimentasi, dan penjelajahan unsur-unsur tari yang hiruk-pikuk, pada pekan koreografi sebelumnya, telah lewat. Pekan Koreografi berskala nasional pekan lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, diselenggarakan Komite Tari Dewan Kesenian Jakarta. Misalnya, karya Hendromartono dari ISI Yogyakarta. Fatamorgana itu suguhan paling utuh. Ia menekankan unsur visual. Tak lagi terlihat sosok manusia, atau karakterisasi gerak, atau gerakan yang memuat emosi. Ada garis-garis, bentuk, warna, tekstur yang mengalir, transformasi bentuk dan warna yang membius. Ada kain parasut besar dan transparan, tapi tanpa bobot, merangsang penonton untuk...fly. Lain lagi Omik Ahmad Hidayat dari ASTI Bandung. Karyanya, Rajah, lebih mengemukakan suasana magis ritual, dengan kepekaan penyutradaraan dari berbagai elemen. Ia berhasil mencapai intensitas suasana. Hal ini juga orientasi Gusmiati Suid dari Batusangkar (Limbago). Ia berangkat dari tari atau teater Minang, semacam Randai, meski ia mencoba lebih percaya pada unsur gerak manusia. Beberapa koreografer melampaui fase kritis. Mereka yang sadar berdisiplin menjelajahi kemungkinan dari satu gaya etnik mulai jenuh. Dedy Luthan dari Jakarta, misalnya. Beberapa kali ia menampilkan karya penting - sclalu memakai pola dan suasana tari Minang - mendadak berparodi, ketika memamerkan penguasaan teknik dan pola yang prima dalam Tui Galodo. Mendadak ada unsur narasi, yang seolah tak ada hubungan dengan pola gerak, yang menghancurkan suasana serius yang telah dibangun. Sementara itu, Joko Suko Sadono (Jakarta), yang entah kenapa setia pada gaya Betawi, mulai tak percaya pada bentuk-bentuk itu sendiri. Dengan seenaknya, dalam Kerlap-Kerlip Jakarta, ia menghamburkan perbendaharaan penguasaan gaya tari ini, dan menyiratkan ekspresi kegelisahannya. Begitu juga dalam manifestasi lain. Wiwik Widiastuty (Jakarta), yang punya identifikasi dengan Betawi, dalam Aiii, Loh, berani melepaskan diri dari penjajahan terhadap diri sendiri. Karena tema dan ide tak lagi cukup dengan bentuk dan suasana rakyat dalam pola tari Betawi. Dalam pada itu, Parea ciptaan Zulkifli dan Syaiful Erma (ASKI Padangpanjang) semarak dengan penataan musik. Permainan sunyi dan bunyi menggarisbawahi dinamik gerak-gerak tarinya. Dalam dunia seni modern, penampilan proses sebuah produk adalah sah. Sebuah latihan dari kualitas gerak, tanpa dibakukan dalam pola selesai, bisa diangkat ke panggung. Misalnya latihan pengendalian emosi hingga membentuk kualitas gerak mengalir berjam-jam, tanpa henti. Hal ini biasa dalam kampus seni yang bereksperimen. Kali ini, Sulistyo S. Tirtokusumo (Jakarta) meletakkannya di pentas. Seperti juga kecenderungan saat ini, masyarakat lebih menyukai membingkai wayang kulit yang polos belum disinggung, belum berwarna. Tampilnya para koreografer dan penari yang rata-rata muda usia ini memang memberi warna. Dan gegap gempita. Yang paling provokatif ialah Wiwiek Sipala (Jakarta), dengan Ironi. Ia mampu menjaring penonton dengan menggunakan unsur teater. Lengking trompet memekakkan. Dan dentang timpam, piring-piring kertas yang beterbangan, kostum putih-putih, jerit anak-anak. Penonton "terserang". Tapi kesalahan kecil mendadak berubah besar dalam pola penggarapan yang menggunakan amplifikasi segalanya. Misalnya penempatan pemain timpani dan kehadiran anak-anak kecil yang tak jelas. Tidak hanya anak-anak muda, koreografer senior juga tampil. Misalnya Yulianti Parani dan Farida Feisol (Jakarta), yang menyuguhkan sisi hidup lain, menawarkan variasi dari seluruh pertunjukan yang penuh dengan hal-hal yang berat, atau diberat beratkan. Dalam pergelaran Yulianti, kita lihat sosok manusia sehari-hari, siap menari. Yang duduk depan piano: Marusy Nainggolan. Koreografi ini memang diangkat dari komposisi Siparnipi ciptaan Marusya (lihat Box). Penonton diguyur melodi lagu Batak, penari tampil dengan teknik balet, yang menghindar dari virtuoso, tap dilapis rasa Tortor. Bagian yang menarik tampilnya Sigale-gale berjalan di atas kabu putih. Adapun Farida, yang menyajikan koreografi berdasarkan komposisi Marusya, Maniera, lebih lugas dan segar. Penonton tak dibawa ke mana-mana. Meskipun ada gendang Bali, tak perlu muncul asosiasi ke alam dewata. Kita tetap mendengarkan suara dal melihat hubungan bunyi dengan suara itu Bahkan tetap jelas. Itu sekadar bunyi pianl dan gendang. Dan itu tubuh yang bergerak gerak. Kedua koreografi itu, diiringi pian oleh Marusya sendiri - yang tampil sebagai sebuah tontonan tersendiri. Koreografer senior lain ialah Bagon Kussudiardjo (Yogyakarta), dengan Kurusetra. Ia mengungkap kembali penguasaannya akan idiom gerak bermuatan emosi, yan bila ditata dalam kerangka sebuah ide naratif, akan tercipta sebuah drama lirik. Ide itu tetap dijabarkan dengan medi tubuh, dan asosiasi karakter. Plot tak ditopang properti atau kostum, tapi dikembalikan pada kemungkinan gesture, mimik dan kualitas gerak. Hanya musik, satu-satunya penopang, mengungkap tema. Kurusetra memberi kesempatan berbagai emosi, da konflik batin muncul lewat metafora peperangan Pandawa-Kurawa. Idiom gerak itu merupakan kekayaan lama Bagong. Ada secuil yang tak mungkin dibicarakan yaitu pertunjukan saya sendiri. Bagaimana mungkin? Sardono W. Kusumo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini