SENIN, 26 September lalu, penguasa tertinggi Gereja Katolik Roma
di bumi, Sri Paus Paulus VI (d/h Giovanni Batista Montini),
merayakan ulang tahun beliau yang ke 80. Di Roma khususnya dan
Italia umumnya, umat Katolik merayakan ulang-tahun Il Papa
dengan meriah sekali. Sepuluh ribu muda-mudi Italia berpawai
mengelu-elukan sang paus di Vatikan, negeri mini hadiah
Mussolini di jantung Roma.
Begitu juga, ribuan penyanyi dari seluruh Eropa ikut mewarnai
kekhusyukan misa suci yang dibacakan sang paus sendiri di
Basilika Santo Petrus, kiblat Umat Katolik sedunia yang dibangun
di tempat di mana Petrus dan Paulus -- dua pendiri Gereja
Kristen Purba - disalib dan dipancung penguasa Romawi Kuno.
Di balik gegap-gempita itu, orang bertanya-tanya: inikah pesta
ulang tahun Giovanni Batista Montini yang terakhir sebagai paus?
Soalnya, Paulus VI yang sudah 14 tahun memegang tampuk tertinggi
hirarki gereja KR secara mutlak - dan menjadi tokoh
kontroversiil karena menentang keras pembatasan kelahiran
buatan, abortus, dan peranan wanita dalam gereja -- belakangan
ini menderita penyakit arthrilis (pengapuran pembuluH darah).
Tanda umur sudah uzur.
Bahkan kepada para peziarah yang mengunjunginya di isana musim
panasnya, Kepala Negara Vatikan itu sering dikabarkan berkata:
"Mungkin inilah kali terakhir saya berada di Castelgandolfo
ini." Tetapi kabar keuzuran itu kemudian dibantah oleh paus.
Juga usulusul untuk turun tanta saja, ditangkisnya dengan dalih:
"Seorang ayah tak akan membiarkan anak-anaknya terlantar."
Paus Pakistan
Paus sendiri memaksa para kardinal - calon paus beRIkutnya --
pensiun pada umur 75. Itu berarti tak ada kans buat mereka yang
berminat jadi paus pada usia 80, seperti Paus Paulus Vi sendiri
dan banyak pendahulunya. Tapi mengingat kesehatan Il Papa tak
tampak membaik, sementara dalam sejarah gereja sudah pernah ada
paus yang turun tahta atas kemauan sendiri atau dipaksa,
pemikiran soal paus herikutnya makin beragam saja.
Maka tersebutlah nama-nama Kardinal Giovanni Benelli (56) bekas
Pj. Sekneg Vatikan, Kardinal Poma (67), Kardinal Felici (67),
Kardinal Pignedolli (67) yang mengetuai Sekretariat Vatikan
untuk Agama Non-Kristen, Kardinal Sebastiano Baggio (62) yang
punya hubungan erat dengan organisasi ekstrun kanal Opus Dei di
Spanyol. Di samping nama-nama yang semuanya Italia itu, ada juga
kandidat dari Eropa: Sekneg Vatikan sekarang, Kardinal Villot
(72) dari Perancis serta Willebrands dari Belanda. Dari Benua
Amerika: Kardinal Wright (68) dari AS, Rossi (64) dari Brazilia
dan Pironio (56) dari Argentina. Juga satu nama dari Asia:
Kardinal, Cordeiro (59), dari Pakisan.
Besar harapan, terutama dari negeri-negeri Barat di luar Italia,
bahwa Paus berikutnya bukan orang Italia. Sehingga hegemoni
Italia yang sudah berabad-abad menguasai Vatikam dapat
dipatahkan. Namun kans ditampilkannya seorang kardinal kulit
berwarna dari Afrika atau Asia - Kardinal Darmoyuwono dari
Indonesia misalnya - masih sangat tipis.
Yang jelas, dan ini sudah pasti, paus berikutnya tentu saja
seorang laki-laki. Sebab meskipun kauln wanita sekarang sudah
dapat membantu pastor menyampaikan komuni suci pada umat dalam
misa suci, menjadi imam tetap merupakan hak pria. Khususnya:
pria yng membujang (celibat). Alasan yang sering dikemukakan
Hirarki Gereja KR: ini menurut teladan Sang Kristus sendiri.
Kristus kebetulan laki-laki, dan tak pernah menikah sampai mati
dan bangkit lagi.
Dari sudut lain: kalau sejarah Gereja Katolik di abad
pertengahan mau ditelusuri dengan teliti, sebenarnya pernah ada
seorang paus wanita. Yohanna julukannya. Dia hanya memerintah
selama 2 tahun, 5 bulan dan 3 hari (854 - 856), antara masa
pemerintahan Leo IV dan Benedictus III. Pemerintahannya berakhir
karena dia meninggal selepas melahirkan anaknya yang pertama
(yang juga meninggal), dan pawai berkuda pada hari ketiga
sebelum peringatan Kenaikan Yesus ke Surga.
Tepatnya: pawai itu macet ketika Yohanna tiba-tiba melorot dari
kudanya - antara Gereja St. Clemens dan Amfiteater Domitianus.
Dan di tempat itu juga lahir seorang anak laki-laki. "Elle
enfenta en pleine rue " ("dia melahirkan anaknya di jalan
biasa"), begitu kata edisi Perancis dari buku karangan guru
besar Leiden, Van Spanheim, berjudul Histoire de la Papesse
Jeanne (Riwayat Paus - Wanita Yohanna), terbitan 1736.
Masalah yang kontroversiil dan sering disembunyikan dalam
sejarah Gereja Katolik itu -- terutama setelah reformasi Luther
dan Calvin -- akhir bulan lalu dibeberkan lagi oleh koran
Belanda. NRC-Handelsblad, menyambut ulang tahun ke-80 Paus
Paulus VI.
Sasaran Protestan
Menurut Floor Kist, penulis artikel itu, soal ada-tidaknya paus
wanita itu berabad-abad menimbulkan pro dan kontra di kalangan
ahli Sejarah Gereja di Eropa. Apalagi setelah arus pasang
Protestantisme berusaha keras Inenelanjangi apa yang mereka
nilai sebagai kebobrokan institusi Gereja Katolik yang memang
berabad-abad dikuasai para paus sebagai penguasa mutlak dunia
dan akhirat penguasa agama maupun politik.
Di Belanda sendiri pernah dicetak karya seorang theolog
Perancis. Blondel (1947). Ia ini menyatakan bahwa kisah Paus
Yohanna itu hanya sebuah dongeng. Sebelas tahun kemudian, Prof.
Desmaret dari Groningen membantahnya dengan menyebutkan, bahwa
paus wanita itu memang pernah ada. Lalu, akhir abad ke-17
muncullah Van Spanheim, guru besar dari Universitas Leiden,
salah satu universitas tertua di Belanda, yang membongkar lagi
semua bahan dengan saksama. kemudian menyimpulkan: Paus Yohanna
memang betul-betul ada.
Lalu bagaimana dia selama ini selalu dihilangkan dari sejarah
kepausan? Kuta Van Spanileim, mudah saja. Karena masa
pemerintahannya begitu pendek, cara penghapusan itu cukup dengan
membiarkan Paus Leo (meninggal 854) memerintah dan meninggal
"lebih lama sedikit." Sambil mempersilakan Paus Benedictus III
(mulai memerintah 856) dinyatakan mulai jadi paus sedikit lebih
awal .....
Tetapi, mengapa? Jawab Van Spanheim, yang kebetulan beragama
Protestan: karena para ahli Sejarah Katolik mau menyembunyikan
satu sasaran serangan Protestan. Padahal, menurut dia itu
sebenarnya tak perlu - karena Yohanna hidup jauh sebelum Luther.
Memang boleh diingat bahwa tradisi Gereja Katolik hanya
memungkinkan laki-laki menjadi paus. Sebab paus dipilih dari
para kardinal dan kardinal adalah kedudukan terhormat bagi
rohaniwan tertentu sedang yang boleh jadi rohaniwan alias pastor
alias romo memang hanya aki-laki - yang tidak menikah.
Penyamaran Yang Sukses
Realitas politis-yuridis Gereja Katolik ini rupanya disadari
betul oleh Yohanna, yang masuk Kota Roma untuk mendalami ilmunya
di pertengahan abad ke-9 itu. Kebetulan, sejak umur 12 dia
sudah biasa berpakaian sebagai laki-laki -- agar bebas menemui
seorang kawan prianya di biara. Setelah berpisah dengan kawannya
itu di Athena, pergilah Yohanna ke Roma. Di sana, samarannya
tidak menonjol, sebab laki-laki Roma pada masa itu juga biasa
memakai jubah dan bercukur klimis.
Di Roma, Yohanna yang cerdas itu diangkat menjadi dosen
bahasa-bahasa klasik (Yunani dan Latin). Karena keahliannya di
bidang retorika, dia diterima di sekolah Yunani di mana Santo
Augustinus juga pernah mengajar. Kepintarannya dan kerjanya yang
tekun menyebabkan bintangnya menanjak. Malah sesudah beberapa
tahun Yohanna diangkat menjadi kardinal oleh dewan kepausan yang
memang belum banyak anggotanya waktu itu. Nah, ketika Leo IV
meninggal tahun 854, dan para kardinal tak dapat memilih paus
begitu cepat, perempuan itulah yang diangkat. Dia jadi paus,
dengan julukan Yohannes (entah yang keberapa).
Bagaimana pun juga, tulis Floor Kist, Yohanna bukan paus yang
terlalu jelek. Di masa pemerintahannya, beberapa raja di Eropa
tunduk pada Roma (baca: rada Paus) Seperti Adolf I dari
Inggeris, dan Lodewijk, putera Kaisar Lotharius yang dimahkotai
oleh Yohanna.
Celakanya, Yohanna yang sudah begitu beruntung dapat mengelabui
sekian banyak lelaki tak dapat menolak godaan dirinya sendiri.
Meskipun tetap saja Yohanna dapat menyembunyikan ketiga
rahasianya: kewanitaannya, kehamilannya, dan identitas
kekasihnya. Sampai tibalah saatnya sebuah prosesi liturgis dari
Vatikan ke Gereja St. Yohannes dari Lateran itu. Entah apa
sebabnya ibu dan anak langsung meninggal di tempat. Menurut Van
Spanheim, mungkin lebih karena malu ketimbang sebab-sebab medis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini