Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Kisah paus yohanna

Kisah paus wanita, yohanna (854-856) ada menganggap hanya dongeng. tapi setelah dibuktikan memang betul ada. tradisi gereja katolik hanya laki-laki menjadi paus, tapi yohanna menyamar sebagai laki-laki.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SENIN, 26 September lalu, penguasa tertinggi Gereja Katolik Roma di bumi, Sri Paus Paulus VI (d/h Giovanni Batista Montini), merayakan ulang tahun beliau yang ke 80. Di Roma khususnya dan Italia umumnya, umat Katolik merayakan ulang-tahun Il Papa dengan meriah sekali. Sepuluh ribu muda-mudi Italia berpawai mengelu-elukan sang paus di Vatikan, negeri mini hadiah Mussolini di jantung Roma. Begitu juga, ribuan penyanyi dari seluruh Eropa ikut mewarnai kekhusyukan misa suci yang dibacakan sang paus sendiri di Basilika Santo Petrus, kiblat Umat Katolik sedunia yang dibangun di tempat di mana Petrus dan Paulus -- dua pendiri Gereja Kristen Purba - disalib dan dipancung penguasa Romawi Kuno. Di balik gegap-gempita itu, orang bertanya-tanya: inikah pesta ulang tahun Giovanni Batista Montini yang terakhir sebagai paus? Soalnya, Paulus VI yang sudah 14 tahun memegang tampuk tertinggi hirarki gereja KR secara mutlak - dan menjadi tokoh kontroversiil karena menentang keras pembatasan kelahiran buatan, abortus, dan peranan wanita dalam gereja -- belakangan ini menderita penyakit arthrilis (pengapuran pembuluH darah). Tanda umur sudah uzur. Bahkan kepada para peziarah yang mengunjunginya di isana musim panasnya, Kepala Negara Vatikan itu sering dikabarkan berkata: "Mungkin inilah kali terakhir saya berada di Castelgandolfo ini." Tetapi kabar keuzuran itu kemudian dibantah oleh paus. Juga usulusul untuk turun tanta saja, ditangkisnya dengan dalih: "Seorang ayah tak akan membiarkan anak-anaknya terlantar." Paus Pakistan Paus sendiri memaksa para kardinal - calon paus beRIkutnya -- pensiun pada umur 75. Itu berarti tak ada kans buat mereka yang berminat jadi paus pada usia 80, seperti Paus Paulus Vi sendiri dan banyak pendahulunya. Tapi mengingat kesehatan Il Papa tak tampak membaik, sementara dalam sejarah gereja sudah pernah ada paus yang turun tahta atas kemauan sendiri atau dipaksa, pemikiran soal paus herikutnya makin beragam saja. Maka tersebutlah nama-nama Kardinal Giovanni Benelli (56) bekas Pj. Sekneg Vatikan, Kardinal Poma (67), Kardinal Felici (67), Kardinal Pignedolli (67) yang mengetuai Sekretariat Vatikan untuk Agama Non-Kristen, Kardinal Sebastiano Baggio (62) yang punya hubungan erat dengan organisasi ekstrun kanal Opus Dei di Spanyol. Di samping nama-nama yang semuanya Italia itu, ada juga kandidat dari Eropa: Sekneg Vatikan sekarang, Kardinal Villot (72) dari Perancis serta Willebrands dari Belanda. Dari Benua Amerika: Kardinal Wright (68) dari AS, Rossi (64) dari Brazilia dan Pironio (56) dari Argentina. Juga satu nama dari Asia: Kardinal, Cordeiro (59), dari Pakisan. Besar harapan, terutama dari negeri-negeri Barat di luar Italia, bahwa Paus berikutnya bukan orang Italia. Sehingga hegemoni Italia yang sudah berabad-abad menguasai Vatikam dapat dipatahkan. Namun kans ditampilkannya seorang kardinal kulit berwarna dari Afrika atau Asia - Kardinal Darmoyuwono dari Indonesia misalnya - masih sangat tipis. Yang jelas, dan ini sudah pasti, paus berikutnya tentu saja seorang laki-laki. Sebab meskipun kauln wanita sekarang sudah dapat membantu pastor menyampaikan komuni suci pada umat dalam misa suci, menjadi imam tetap merupakan hak pria. Khususnya: pria yng membujang (celibat). Alasan yang sering dikemukakan Hirarki Gereja KR: ini menurut teladan Sang Kristus sendiri. Kristus kebetulan laki-laki, dan tak pernah menikah sampai mati dan bangkit lagi. Dari sudut lain: kalau sejarah Gereja Katolik di abad pertengahan mau ditelusuri dengan teliti, sebenarnya pernah ada seorang paus wanita. Yohanna julukannya. Dia hanya memerintah selama 2 tahun, 5 bulan dan 3 hari (854 - 856), antara masa pemerintahan Leo IV dan Benedictus III. Pemerintahannya berakhir karena dia meninggal selepas melahirkan anaknya yang pertama (yang juga meninggal), dan pawai berkuda pada hari ketiga sebelum peringatan Kenaikan Yesus ke Surga. Tepatnya: pawai itu macet ketika Yohanna tiba-tiba melorot dari kudanya - antara Gereja St. Clemens dan Amfiteater Domitianus. Dan di tempat itu juga lahir seorang anak laki-laki. "Elle enfenta en pleine rue " ("dia melahirkan anaknya di jalan biasa"), begitu kata edisi Perancis dari buku karangan guru besar Leiden, Van Spanheim, berjudul Histoire de la Papesse Jeanne (Riwayat Paus - Wanita Yohanna), terbitan 1736. Masalah yang kontroversiil dan sering disembunyikan dalam sejarah Gereja Katolik itu -- terutama setelah reformasi Luther dan Calvin -- akhir bulan lalu dibeberkan lagi oleh koran Belanda. NRC-Handelsblad, menyambut ulang tahun ke-80 Paus Paulus VI. Sasaran Protestan Menurut Floor Kist, penulis artikel itu, soal ada-tidaknya paus wanita itu berabad-abad menimbulkan pro dan kontra di kalangan ahli Sejarah Gereja di Eropa. Apalagi setelah arus pasang Protestantisme berusaha keras Inenelanjangi apa yang mereka nilai sebagai kebobrokan institusi Gereja Katolik yang memang berabad-abad dikuasai para paus sebagai penguasa mutlak dunia dan akhirat penguasa agama maupun politik. Di Belanda sendiri pernah dicetak karya seorang theolog Perancis. Blondel (1947). Ia ini menyatakan bahwa kisah Paus Yohanna itu hanya sebuah dongeng. Sebelas tahun kemudian, Prof. Desmaret dari Groningen membantahnya dengan menyebutkan, bahwa paus wanita itu memang pernah ada. Lalu, akhir abad ke-17 muncullah Van Spanheim, guru besar dari Universitas Leiden, salah satu universitas tertua di Belanda, yang membongkar lagi semua bahan dengan saksama. kemudian menyimpulkan: Paus Yohanna memang betul-betul ada. Lalu bagaimana dia selama ini selalu dihilangkan dari sejarah kepausan? Kuta Van Spanileim, mudah saja. Karena masa pemerintahannya begitu pendek, cara penghapusan itu cukup dengan membiarkan Paus Leo (meninggal 854) memerintah dan meninggal "lebih lama sedikit." Sambil mempersilakan Paus Benedictus III (mulai memerintah 856) dinyatakan mulai jadi paus sedikit lebih awal ..... Tetapi, mengapa? Jawab Van Spanheim, yang kebetulan beragama Protestan: karena para ahli Sejarah Katolik mau menyembunyikan satu sasaran serangan Protestan. Padahal, menurut dia itu sebenarnya tak perlu - karena Yohanna hidup jauh sebelum Luther. Memang boleh diingat bahwa tradisi Gereja Katolik hanya memungkinkan laki-laki menjadi paus. Sebab paus dipilih dari para kardinal dan kardinal adalah kedudukan terhormat bagi rohaniwan tertentu sedang yang boleh jadi rohaniwan alias pastor alias romo memang hanya aki-laki - yang tidak menikah. Penyamaran Yang Sukses Realitas politis-yuridis Gereja Katolik ini rupanya disadari betul oleh Yohanna, yang masuk Kota Roma untuk mendalami ilmunya di pertengahan abad ke-9 itu. Kebetulan, sejak umur 12 dia sudah biasa berpakaian sebagai laki-laki -- agar bebas menemui seorang kawan prianya di biara. Setelah berpisah dengan kawannya itu di Athena, pergilah Yohanna ke Roma. Di sana, samarannya tidak menonjol, sebab laki-laki Roma pada masa itu juga biasa memakai jubah dan bercukur klimis. Di Roma, Yohanna yang cerdas itu diangkat menjadi dosen bahasa-bahasa klasik (Yunani dan Latin). Karena keahliannya di bidang retorika, dia diterima di sekolah Yunani di mana Santo Augustinus juga pernah mengajar. Kepintarannya dan kerjanya yang tekun menyebabkan bintangnya menanjak. Malah sesudah beberapa tahun Yohanna diangkat menjadi kardinal oleh dewan kepausan yang memang belum banyak anggotanya waktu itu. Nah, ketika Leo IV meninggal tahun 854, dan para kardinal tak dapat memilih paus begitu cepat, perempuan itulah yang diangkat. Dia jadi paus, dengan julukan Yohannes (entah yang keberapa). Bagaimana pun juga, tulis Floor Kist, Yohanna bukan paus yang terlalu jelek. Di masa pemerintahannya, beberapa raja di Eropa tunduk pada Roma (baca: rada Paus) Seperti Adolf I dari Inggeris, dan Lodewijk, putera Kaisar Lotharius yang dimahkotai oleh Yohanna. Celakanya, Yohanna yang sudah begitu beruntung dapat mengelabui sekian banyak lelaki tak dapat menolak godaan dirinya sendiri. Meskipun tetap saja Yohanna dapat menyembunyikan ketiga rahasianya: kewanitaannya, kehamilannya, dan identitas kekasihnya. Sampai tibalah saatnya sebuah prosesi liturgis dari Vatikan ke Gereja St. Yohannes dari Lateran itu. Entah apa sebabnya ibu dan anak langsung meninggal di tempat. Menurut Van Spanheim, mungkin lebih karena malu ketimbang sebab-sebab medis.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus