Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Mengapa vaksin ketiga bocor kepada pejabat publik?
Apa yang dilakukan Kementerian Kesehatan mencegah vaksin bocor?
SUNGGUH barbar kelakuan para elite yang menikmati jatah vaksin Covid-19 ketiga. Alih-alih mengutamakan tenaga kesehatan untuk mendapat vaksin booster, mereka tanpa malu-malu mendahulukan diri sendiri dan kelompoknya. Tanpa ada perbaikan tata kelola vaksinasi Covid-19 secara menyeluruh, penggarongan vaksin seperti ini dikhawatirkan bakal terus terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penelusuran majalah ini menunjukkan, sampai pekan pertama September 2021, masih banyak tenaga kesehatan kesulitan mendapat vaksin booster. Padahal, sebagai penjaga hidup-mati pasien Covid, mereka sangat rentan terinfeksi virus corona. Pada pertengahan Agustus lalu, sudah 1.891 tenaga kesehatan, 640 di antaranya dokter, berpulang sepanjang masa pandemi. Angka itu terburuk di Asia dan nomor tiga di dunia. Hingga Jumat, 3 September lalu, baru 47,5 persen tenaga kesehatan mendapat vaksin booster.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sederet fakta itu yang membuat aksi sejumlah pejabat menyalip antrean vaksinasi amat mengusik rasa keadilan publik. Salah satu pelakunya adalah Gubernur Kalimantan Timur Isran Noor. Dalam percakapan dengan Presiden Joko Widodo dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto pada 24 Agustus lalu—yang tak sengaja terekam dalam video resmi pemerintah—Isran mengaku sudah diinjeksi vaksin Moderna.
Sayangnya, Presiden Jokowi membiarkan kelakuan zalim itu. Dalam percakapan dengan Isran, dia bahkan tak berupaya “sekadar” menegur anak buahnya yang mempertontonkan praktik lancung tersebut. Ketidaktegasan Jokowi membuat para politikus dan pejabat makin seenaknya menggunakan kekuasaan untuk mengakses vaksin booster.
Bukan hanya soal vaksin ketiga, distribusi vaksin dosis pertama dan kedua di berbagai daerah juga masih tak keruan. Pembagian vaksin tak merata dan kerap terlambat. Publik tak pernah tahu berapa jatah vaksin yang tersedia untuk daerah mereka. Ada indikasi, elite politik lokal mendominasi kebijakan distribusi vaksin dan cenderung mengutamakan konstituennya.
Yang lebih memprihatinkan, setelah terungkapnya jatah vaksin ketiga Covid-19 untuk pejabat, protes khalayak ramai hanya dianggap angin lalu. Kini Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia bahkan tak sungkan meminta Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin melegalkan vaksinasi ketiga bagi pejabat daerah. Usul itu sudah selayaknya ditolak. Ketimbang mendorong vaksin ketiga buat para elite, lebih baik pemerintah bekerja lebih keras menaikkan angka vaksinasi nasional yang baru mencapai 31,67 persen untuk dosis pertama dan 18,11 persen buat dosis kedua.
Untuk itu, Menteri Kesehatan harus segera membuat peraturan yang menegaskan prinsip utama distribusi vaksin: akses harus diberikan lebih dulu kepada mereka yang paling rentan. Keputusan soal kelompok dan daerah mana yang harus diprioritaskan ada di tangan otoritas kesehatan, bukan ketua partai politik atau kepala daerah. Percuma saja Menteri Budi berulang kali mengimbau soal itu jika tak ada aturan tegas hitam di atas putih.
Aksi main salip soal vaksin ini tak semata soal pelanggaran etika. Memang, di tengah masa pandemi, vaksin adalah kebutuhan publik yang harus dibagi merata. Semua orang, tanpa kecuali, punya hak yang sama memperoleh vaksin Covid-19. Namun persoalannya bukan hanya itu. Perilaku sekelompok orang yang getol cari selamat sendiri jelas membahayakan penanganan Covid-19 secara nasional. Pemberian vaksin untuk kelompok rentan bisa tertunda. Padahal keberadaan komunitas yang tak tervaksin bisa jadi ladang persemaian untuk varian baru virus corona yang lebih berbahaya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo