Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Setengah Mati Korupsi Politik Dinasti

Bupati Probolinggo Puput Tantriana Sari ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena kedapatan menerima suap. Mudarat dinasti politik.

4 September 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • KPK tangkap tangan Bupati Probolinggo karena menerima suap.

  • Bupati Puput Tantriana Sari dan suaminya memperdagangkan jabatan.

  • Dampak buruk dinasti politik.

PENANGKAPAN Bupati Probolinggo dan suaminya oleh Komisi Pemberantasan Korupsi makin menabalkan dinasti politik menjadi pupuk bagi praktik korupsi. Kekuasaan yang dibangun Puput Tantriana Sari dan Hasan Aminuddin melalui jalur kekerabatan membuka ruang terjadinya pelbagai penyelewengan. Mereka saling isi melakukan korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasangan suami-istri ini “menguasai” Probolinggo selama 18 tahun. Puput Tantriana, yang terpilih kedua kalinya pada 2018, mewarisi kursi bupati dari suaminya, yang sebelumnya berkuasa selama dua periode. Akibatnya, di era jabatan mereka, korupsi merajalela. Hasan, yang sekarang menjabat anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai NasDem, ditengarai memakai pengaruh istrinya untuk mengatur beberapa jabatan strategis di Pemerintah Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, dengan imbalan sejumlah uang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tindakan lancung Puput mengingatkan kita pada politik dinasti Syaukani Hasan Rais dengan anaknya, Rita Widyasari, di Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Politik dinasti serupa terjadi pada Atut Chosiyah dan adiknya, Tubagus Chaeri Wardana, di Banten. Ikatan keluarga menjadi pelumas jalan korupsi mereka.

Dua puluh tiga tahun setelah reformasi 1998, dinasti politik tumbuh bak jamur di musim hujan. Godaan membangun gurita kekuasaan lewat jalur keluarga hadir dalam segala lapisan: partai politik dan pemerintahan. Walhasil, banyak kepala daerah yang mendapat jabatan melalui tradisi “waris-mewarisi” seperti kerajaan. Contoh paling fenomenal adalah ketika pemilihan kepala daerah 2020, anak dan menantu Presiden Joko Widodo maju dan terpilih menjadi kepala daerah.

Jokowi yang terpilih menjadi kepala daerah dan kemudian kepala negara tanpa jalur sirkulasi yang berpusar di lingkaran elite sejatinya bisa menjadi teladan bagaimana mendapatkan kekuasaan lewat kompetisi demokrasi yang sehat. Jokowi yang bukan “siapa-siapa” berhasil menembus dinding kekuasaan bermodal reputasi dan popularitas. Tapi modal besar itu menjadi percuma ketika dia ikut-ikutan membangun politik dinasti.

Kian suburnya dinasti politik dalam pemilihan kepala daerah juga dipicu putusan Mahkamah Konstitusi yang mencabut larangan keluarga elite politik terlibat dalam pemilihan kepala daerah pada 2018. Lembaga-lembaga tinggi dalam sistem ketatanegaraan kita ikut memberi “restu” lahirnya dinasti-dinasti politik baru.

Dampaknya terlihat dalam pemilihan kepala daerah serentak pada Desember 2020. Dari 1.000 lebih kandidat yang bertarung di 270 daerah, sebanyak 124 calon di antaranya terindikasi kerabat elite politik. Jumlah ini meningkat tajam dari periode sebelumnya. Pada pemilihan kepala daerah 2015, 2017, dan 2018, hanya ada 202 calon yang berhubungan keluarga dengan pejabat sebelumnya.

Konstitusi memang menjamin setiap warga negara memiliki hak politik yang sama tanpa membedakan asal-usul. Artinya, secara hukum, tak ada yang salah dengan politik dinasti. Namun politik kekerabatan mendorong lahirnya kartel politik dan mempersempit peluang masyarakat luas menjadi pemimpin daerah. Sulit berharap lahir pemimpin berkualitas dari proses rekrutmen yang tidak demokratis.

Politik dinasti juga bisa dengan gampang membuat kepala daerah terpeleset ke dalam kubangan korupsi dan kesewenang-wenangan. Dalam catatan komisi antikorupsi, setidaknya ada delapan perkara rasuah yang berkaitan dengan hubungan politik sanak famili. Modusnya nyaris serupa: membangun kerajaan politiknya di daerah, lalu mengangkangi anggaran negara untuk kemudian dikorupsi. Di tangan mereka, politik tidak lagi menjadi instrumen untuk mencapai kemaslahatan rakyat, tapi semata alat mencari manfaat kepentingan pribadi dan keluarga.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus