BUKU harian itu diketemukan Senin pagi dekat sebuah bak sampah. Ia tergeletak di bawah deretan pohon petai cina di kompleks Istana Olah Raga Senayan. Ia rupanya milik seorang gadis. Mungkin ia terjatuh ketika ratusan ribu penonton berbondong pulang dari nonton bola dan upacara penutupnl SEA Games, Minggu menjelang malam. Belum banyak isinya. Tulisannya di ana-sini kabur. Mungkin terkena embun. Tapi umumnya huruf-huruf tegak dengan ballpoint itu masih bisa terbaca, di antara hiasan bunga-bunga kecil di tepinya yang rapi. Si penulis, seperti tertera di sana, bernama H. (tak usah disebut kepanjangannya). Ia menyebut hari ulangtahunnya yang ke-17 bulan lalu. Nampaknya ia senang cewek yang romantis, atau seorang penggemar olah raga yang berapi-api, atau seorang yang lagi jatuh cinta pada seorang atlit. *** "Bukuku", begitu tulisan bertanggal ' September 1979. "Hari ini aku bertengkar. D., sepupuku, bilang: sebagian besar medali emas untuk kita itu ngibul. Gila! Dia bilang kita sengaja bikin acara pertandingan yang pasti nggak ada lawannya, dan bahwa negara-negara tetangga cuma kirim atlit kelas kambing. ..... Bukankah itu kurangajar? "Aku panas benar. Dia pura-pura nggak tau kejadian penting dalam sejarah pernahkah kita memperoleh kemenangan sebanyak itu dalam pertandingan internasional? Tidak. Baru kali ini. D. rupanya nggak ingin ikut bangga. Ia meledek aku "Kau fanatik karena lagi naksir Si M, atlit gondrong itu!" "Kenapa D. begitu sengit? Kenapa dia, calon sarjana, tak mau ngerti? Pagi tadi aku temui mas Tom, kubilangkan omongan D. itu. Dia cuma ketawa. "Itu yang disebut sinis, Niek," katanya. "Banyak orang yang tak percaya lagi bahwa hal-hal yang baik juga bisa terjadi kepada bangsa kita," katanya lagi. "Mas Tom lalu cerita tentang sebuah majalah Amerika yang dibacanya (Forture?) yang nyebut-nyebut Indonesia punya korupsi terburuk di Asia. Ia lalu cerita tentang pencopet orang Indonesia di Tokyo yang dipasang potretnya di televisi Jepang. Mas Tom juga nyebut perkara sogok-sogokan, tekan-tekanan, yang membikin orang kehilangan banyak, tapi terutama kepercayaan bahwa hal yang baik bisa terjadi. "Tapi hal yang baik 'kan bisa juga terjadi kepada bangsa kita, 'kan mas Tom ?, " tanyaku. "Tentu, Niek, tentu," jawabnya, menatapku. Tapi kenapa aku pingin nangis. *** Baris-baris lainnya bertanggal 26 September: "Hari ini M tak berhasil dapat medali. Ia murung sekali dan aku cuma bisa memegangi tangannya. Teman-teman sengaja pura-pura nggak ngeliat kami, berjalan beduaan di tepi bukit kecil di seberang lapangan baseball. "Mengapa orang tak bisa menghargai mereka yang kalah? Mengapa orang ngomongin hasil terakhir doang? Wartawan-wartawan sok pinter pada sok bikin analisa, pada ngritik ceplos-ceplos. Emangnya apaan pekan olahraga bagi mereka? Mereka cuma melihat satu titik, besaaar tapi bukan garis panjang. "M berbulan-bulan mempersiapkan diri. Dan tidak cuma dia. Sejak jam setengah lima pagi para atlit yang mau bertanding di mana saja pada bangun, berlari, berlatih, cemas, kecapekan, kepanasan, dikejar-kejar, mengejar-ngejar, kesel, keki, berharap-harap ..untuk perbaikan waktu yang cuman beberapa detik ! "Kau tau berapa rekor dunia lari satu mil di tahun 1945?", tanya M satu kali. Aku nggak tahu, nggak bisa ngejawab. Ia menerangkan: "Empat menit, satu koma enam detik, atas nama seorang Swedia." Lalu tanyanya lagi: "Kau tau berapa rekor dunia di tahun lalu? Dia jawab sendiri: "Tiga menit, 49 koma 4 detik atas nama John Walker, orang Selandia. "Itu artinya 30 tahun, Niek, 30 tahun!". Pergulatan, dan keringat, dan ketegangan, yang 30 tahun itu hanya untuk selisih 12 detik. *** Akhirnya buku harian itu berhenti di tanggal 30 September pagi. "Jika kesebelasan Indonesia kalah sore nanti dari Malaysia, aku tidak akan mengejeknya. Bukan karena aku fanatik, tapi dari ribuan penonton itu biarlah ada seorang yang bisa kasih medali diam-diam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini