Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Darah pada daun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Darah pada akar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jasad hitam yang terayun-ayun
Di angin selatan
Buah ganjil yang tergantung
di pohon poplar
—Strange Fruit, dinyanyikan Billy Holiday, 1939
MUSIK adalah politik ketika tuli adalah kekuasaan. Seluruh hidup Billy Holiday—masa kecilnya, kemiskinannya, suara seraknya, cengkok lagunya, narkotiknya, kankernya, kenangannya tentang ibu yang jadi pelacur dan ayah yang tak dikenalnya (yang konon mati tanpa perawatan karena ia “negro“)—dibangun dari keadaan yang tertekan seperti merih yang diinjak.
Merih orang hitam. Kaki orang putih. Tak hanya George Floyd.
Berapa ratus tahun penginjakan itu hanya setengah didengar?
Tak semua ingin mendengar agaknya. Juga di tahun 1939, di Café Society, di Greenwich Village, New York—sebuah kafe yang didirikan dengan tujuan mengumpulkan dana bagi Partai Komunis—ketika Billy Holiday menyanyikan Strange Fruit.
Di pentas kecil itu, Billy menampakkan wajahnya yang gelap. Suaranya seperti dibebani hantu yang ingin bercerita. Lirik Strange Fruit muncul sepatah-sepatah. “Harum segar manis kembang magnolia.... Bau jangat terbakar yang terhidu tiba-tiba....”
Billy Holiday dan jazz: suaranya seakan-akan membaca lamentation. Tapi tak hanya itu.
Lirik dan melodi Strange Fruit ditulis Abel Meeropol, seorang guru dan anggota Partai Komunis. Meeropol tergerak menggubahnya ketika melihat foto dua orang hitam di Indiana yang mati dikeroyok ramai-ramai dan digantung di pohon. Lagu ini segera menjadi nyanyian protes melawan rasialisme, bahkan sebelum dibawakan Billy Holiday.
Dalam sejarahnya, jazz dan gerakan kiri memang berjalan sejajar. Partai Komunis Amerika, yang terus-menerus diawasi pemerintah, ada di baris terdepan dalam melawan segregasi rasial dan menuntut keadilan, terutama di masa depresi ekonomi tahun 1930-an. Jumlah anggotanya meningkat cepat, didukung kalangan intelektual, penulis, dan pekerja seni. Di Harlem, New York, acara Partai Komunis umumnya membawakan jazz.
Tapi Adorno, filosof Jerman termasyhur yang juga penulis musik, menganggap ekspresi pembangkangan tak ada di sana. Ia tak melihat blues—dalam suara getir Bessie Smith dan Billy Holiday—sebagai momen yang mengingatkan kita bahwa kesengsaraan harus tak ada, bahwa keadaan seharusnya berbeda.
Mungkin karena Adorno melihat jazz berasal dari nyanyian Negro spiritual, endapan masa perbudakan: “ratapan ketidakbebasan” yang dalam keadaan tertekan, tak membangkang. Adorno menolak anggapan jazz bermula dari Afrika yang “liar”. Menurut dia, jazz bermula dari “tubuh yang dijinakkan dalam pasungan”.
Dengan kata lain, tak ada benih emansipasi.
Adorno pasti tahu jazz tak dapat dipisahkan dari sinkopasi: “ritme dasar” disisihkan, dan beat jatuh di momen yang tak disangka-sangka. Namun bagi Adorno itu tak menandai kebebasan. Juga improvisasi, yang membedakan jazz dengan musik Eropa. Baginya, improvisasi dalam jazz sekadar “hiasan”. Dengan “suara vibrato yang seperti isak dalam nada rendah” dan “saksofon yang menangis mengaduh”, tulisnya, jazz cocok untuk dipasarkan....
Adorno mungkin tak menyangka akan lahir jazz modern—akan ada Miles Davis dengan Kind of Blue, yang pertama kali dimainkan di tahun 1959, sepuluh tahun setelah Adorno meninggal. Setidaknya karya ini bisa dilihat sebagai musik pembebasan, lepas dari tonalitas yang baku, dengan improvisers yang mandiri dari basis harmoni.
Bahkan sebelum itu, di awal dan pertengahan 1940-an, bebop lahir. Varian jazz ini mengeras sebagai perlawanan, ogah musik yang manis dan laris ala Louis Armstrong dengan melodinya yang bahagia dan nyaman.
Ya, tak ada yang nyaman dalam bebop. Di masa ketika orang hitam secara akut terdesak segregasi dan dikepung pengangguran, bebop menjadi statemen yang memisahkan diri dari arus besar masyarakat Amerika—memisahkan diri dengan musik, dengan cara berpakaian, dan dengan perilaku.
Amiri Baraka, penyair hitam yang galak, menganggap bebop bagian dari jazz yang “memberontak, tak mau disedot ke dalam musik sampah, musik monopoli”.
Sejarawan Marxis terkenal yang juga penulis jazz, E.J. Hobsbawm, akan mengukuhkan itu. Ia juga menyambut musik yang “membuka diri menjangkau ke segala bentuk protes... lebih dari kebanyakan bentuk seni yang lain“. Dalam buku kecilnya, The Jazz Scene, Hobsbawm menganggap bahkan Bessie Smith, dengan blues-nya, “pembawa protes jazz yang paling murni”.
Tapi siapa yang dengar? Siapa yang ingat? Kapitalisme Amerika punya kekuatan menyedot, setelah merangkul, hampir tiap ekspresi perlawanan, dan menjadikannya bagian dari kapitalisme itu sendiri. Sebagaimana jazz. Ia kini bagian sah masyarakat yang penuh kontradiksi itu.
Juga ekspresi rasialis yang paling keji.
Kini Ku Klux Klan, yang dulu suara di luar dengan kemarahan, telah menjelma dengan wajah politikus, polisi, perencana kota, dan pelbagai bagian dari establishment yang mengekalkan terasingnya “nigger” secara diam-diam.
Bulan lalu George Floyd terbunuh. Dan mata pun terbuka, dan telinga pun terbuka: Billy Holiday masih menyanyi, dan kembali ada tubuh hitam yang tergantung-gantung mati.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo