Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Einstein, Tuhan...

Tuhan Einstein bukan “person” yang minta disembah, memberkahi, dan mengutuk. Tuhan bagi Einstein adalah “kehadiran satu kecerdasan intelektual...”.

27 Juni 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Einstein, Tuhan...

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GALILEO menafsir ciptaan Tuhan dengan matematika, Einstein menyimaknya dengan ketakjuban.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada umur 12 tahun, anak Yahudi calon penemu Teori Relativitas ini tak lagi mempercayai Kitab Suci. Ia membaca sebuah buku kecil tentang bidang geometri Euklides, dan ia terpesona. Dalam otobiografinya yang ia tulis pada usia 67 tahun—sebuah buku 45 halaman—ia menyebut yang ia baca saat itu sebuah “Keajaiban”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalam diri remaja itu, dunia sains menampakkan diri bagai “sebuah teka-teki besar yang kekal”. Maka pada umur 16 tahun ia meyakinkan ayahnya bahwa ia tak beragama. Ia sedang menciptakan iman dan sainsnya sendiri.

Dua dasawarsa kemudian, dalam pidato buat ulang tahun ke-60 ilmuwan Max Planck, Einstein menyebut “iman” itu. Dalam menghadapi problem sains yang paling sulit, katanya, agar tetap teguh, kita perlu “sebuah Gefühlszustand (keadaan perasaan) seperti seorang religius…”.

“Religius” dalam pengertian Einstein tak berarti taat beribadat. Agamanya lain. “Agamaku adalah rasa kagum yang daif kepada kekuatan intelektual yang tak terhingga, einer unbegrenzten geistigen Macht, yang menampakkan dirinya dalam hal paling kecil, yang kita tangkap dengan pikiran kita yang lemah dan tak utuh.”

“Kekuatan” itu bisa disebut Tuhan, tapi bukan Tuhan dalam doa Yahudi, Kristen, dan Islam. Tuhan Einstein bukan “person” yang minta disembah, memberkahi, dan mengutuk. Tuhan bagi Einstein adalah “kehadiran satu kecerdasan intelektual, einer geistigen Intelligenz, yang terungkap dalam alam semesta yang tak dapat dipahami”.

Keyakinan tentang Tuhan yang seperti itu—bukan karena takut, bukan karena ingin punya pedoman moral—disebutnya “religiositas yang kosmis”. Di sini tak ada dogma, gereja, atau pusat ajaran.

Sayangnya, banyak orang yang mengekspresikan religiositas itu dianggap “heretik”, menyeleweng, dan dihukum, meskipun dalam diri mereka sebenarnya terdapat “jenis religiositas yang tertinggi”. Einstein mencontohkan Spinoza, filosof yang paling dikaguminya, pemikir yang dikeluarkan para petinggi Sinagoge dari komunitas Yahudi Amsterdam di tahun 1656. Spinoza beriman kepada Tuhan yang mewedarkan diri dalam harmoni dunia, mengikuti hukum alam, “bukan Tuhan yang menyibukkan diri dengan nasib dan perbuatan manusia”.

Einstein menolak pencitraan Tuhan yang antroposentris.

Terbiasa hidup dengan agama-agama Ibrahimi, orang tak mudah memahami pandangan macam ini. Rabi Goldstein dari New York, yang minta Einstein menyatakan diri dalam 50 patah kata bahwa ia bukan atheis, menyimpulkan harapannya: pandangan Einstein akan melahirkan “rumusan ilmiah” yang menunjang monotheisme. Sesuai dengan Yudaisme.

Padahal tidak. Religiositas yang “kosmis” tak melihat Tuhan dalam kerangka monotheis ataupun politheis. Tuhan yang “satu” dan “banyak” adalah Tuhan yang diperlakukan sebagai benda, atau substance, yang dapat dihitung seperti jeruk. Tuhan Einstein justru tak menyerupai apa pun dan siapa pun, yang dalam Islam dinyatakan dalam Surat Al-Ikhlas. Bagi Einstein, Tuhan bukan Pencipta, bukan Pengintai, bukan Hakim. Seperti dalam pantheisme ala Spinoza, Tuhan adalah Alam, Alam adalah Tuhan, deus sive natura.

“Tuhan” dan “Alam” yang sering muncul dalam ucapan Einstein sebagai satu pengertian hadir di seantero kita, di luar dan di dalam kita, menakjubkan kita. Jika Tuhan dan Alam tak bisa kita pahami, itu karena ia lembut, subtil, bukan sesuatu yang bikin kita jeri. “Tuhan halus, subtil,” kata Einstein, “bukan jahat (boshaft)”.

Tapi mau tak mau, tentang Tuhan yang subtil, tafsir seseorang akan berlaku. Dalam tafsir Einstein, Tuhan adalah Tuhan yang tak membuat alam semesta acak-acakan. “Tuhan tak bermain dadu”—ucapan Einstein yang terkenal, yang ia arahkan sebagai kritik kepada theori mekanika kuantum.

Ia tak bisa menerima bahwa, seperti diungkapkan teori kuantum, gerakan partikel mengikuti hukum probabilitas. Theori ini, tulis Einstein di tahun 1926, tak mendekatkan kita kepada rahasia Tuhan.

Ada sikap angkuh yang langka di sini. Einstein tampak merasa mampu “membaca kartu Tuhan” (dalam kiasan Einstein sendiri) hingga bisa menilai demikian. Niels Bohr, fisikawan Denmark, tokoh teori mekanika kuantum, kesal. Ia jawab Einstein, “Stop telling God what to do!

Sampai akhir hidupnya, hubungan Einstein dengan theori mekanika kuantum, khususnya dengan pelopornya, Heisenberg, tak baik.

Tapi itulah dua sisi cerita sains. Ia lahir dari ketakjuban akan “kekuatan intelektual yang tak terhingga” dari Alam dan dalam Alam. Tapi ia juga merasa, setidaknya sesekali, sanggup menguak “misteri yang kekal” itu.

Einstein tokoh yang mengagumkan dalam cerita ini. Ia jauh dari stereotipe yang lazim tentang “derap kemenangan rasionalitas berhati-dingin”, untuk memakai kata-kata Gerald James Holton dalam Science and Anti-Science (Harvard University Press, 1993). Einstein mengakui peran besar intuisi. Ia menentang “klaim imperialistis Positivisme”. Kita ingat, Positivisme mendaku bahwa sains akan bisa menghapus sisi intuitif manusia, dari mana antara lain lahir perasaan religius.

Dan sebagaimana Einstein menolak agama-agama, ia juga tak akan bisa mengikuti Atheisme, atas nama sains—lama ataupun “baru”.

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Goenawan Mohamad

Goenawan Mohamad

Penyair, esais, pelukis. Catatan Pinggir telah terhimpun dalam 14 jilid. Buku terbarunya, antara lain, Albert Camus: Tubuh dan Sejarah, Eco dan Iman, Estetika Hitam, Dari Sinai sampai Alghazali.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus