Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nurman Hakim*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM film Hollywood berjudul Planet of the Apes, sebuah pesan disampaikan: ketika simpanse mampu berbahasa, berbicara seperti manusia, itu adalah akhir dari riwayat manusia. Dikisahkan dalam film itu, para kera berperang dan berencana memusnahkan umat manusia. Para simpanse berstrategi, mengorganisasi pikiran dan kekuatan dalam menghadapi umat manusia, dengan kemampuan berbahasa yang mereka miliki.
Bahasa adalah pikiran yang dikategorisasi, diklasifikasi, dan sistematis, yang mampu menata, menamai benda-benda, dan memungkinkan manusia mengidentifikasi semua yang ada dalam alam dan kehidupannya. Bahkan sesuatu yang abstrak pun bisa diberi nama, misalnya waktu dengan hari, minggu, bulan, dan tahun. Nama-nama itu mengandung arti dan menjadi rangkaian simbol bermakna bagi manusia. Simbol lalu mengalami perluasan—bisa berupa segala tindakan sosial manusia.
Manusia adalah animal symbolicum (Ernst Cassirer, 1944). Manusia menciptakan simbol agar dapat memahami kehidupan ini. Maka cara memahami manusia adalah mengeksplorasi bentuk simbolis dalam semua aspek pengalaman manusia. Bagi Clifford Geertz, simbol adalah kendaraan pembawa makna. Geertz terkenal dengan teori interpretatif simbolik yang dia gunakan dalam membaca dan memaknai suatu kebudayaan.
Adapun hewan hanya mampu mengikuti tanda. Itu pun terbatas. Hewan tak mampu membuat simbol. Sebab, hanya dengan bahasa, simbol dimungkinkan tercipta. Sebuah pintu belakang rumah yang dibuka pada jam yang sama setiap hari membuat seekor kucing peliharaan akan segera menghampiri dan bersiap untuk makan. Kucing merelasikan tanda pintu dibuka dengan makanan, meskipun ia belum melihat bentuk makanan itu.
Ernst Cassirer, filsuf neo-Kantian, membuat penggolongan antara bahasa proposisional dan bahasa emosional yang dijadikan pembeda antara bahasa manusia dan bahasa hewan. Manusia memiliki bahasa proposisional yang mencakup tidak hanya kognitif, tapi juga afektif dan ekspresif (emotif). Sedangkan hewan berhenti pada emotif dan afektif saja. Percobaan yang banyak dilakukan para ahli terhadap simpanse membuktikan hal itu. Simpanse mempelajari tanda yang direlasikan dengan makanan, seperti halnya kucing. Simpanse melakukan gerak imitasi, membaca tanda, dari simpanse lain atau dari manusia, untuk mengambil sebuah pisang yang digantung jauh di atas kepalanya. Meja atau kursi ia gunakan. Sedangkan manusia, tanpa meja atau kursi yang tersedia, akan mencari cara untuk meraih pisang itu tanpa harus melakukan imitasi.
Bahasa lalu mengalami perluasan, bukan sekadar kumpulan huruf dan kata yang membentuk kalimat-kalimat. Perluasan itu adalah eksplorasi bahasa di tingkat afektif dan ekspresif. Kata-kata terbatas dalam menyampaikan sesuatu yang afektif dan ekspresif. Seni adalah bahasa yang bersifat afektif dan ekspresif. Seni begitu cair dan tidak harus mengikuti pakem tertentu.
Makin piawai menggunakan bahasa, manusia makin merasa bermakna. Lihatlah para sastrawan dan seniman atau setidaknya penikmat seni dan sastra: mereka merasa lebih bisa memaknai kehidupan ini karena menjelajahi bahasa.
Selalu tak ada yang cukup bagi manusia. Melalui bahasa, manusia melakukan ekstensifikasi guna memahami dunia dengan menciptakan mitos, ilmu pengetahuan, dan juga seni. Ilmu pengetahuan diciptakan agar manusia mampu mengidentifikasi persoalan dunia dan mengontrol alam ini. Dari bahasa juga muncul mitos. Sebuah kisah diceritakan dan di dalamnya terkandung aturan-aturan yang menjadi semacam pegangan hidup. Bahasa pula yang memungkinkan manusia mempunyai agama sekaligus memahaminya dengan segenap aturannya.
Pandemi Covid-19 membuat manusia yang berhimpun pada tiap negara memberi nama berbeda untuk menunjuk pembatasan pergerakan: di sebagian besar negara Eropa diberi nama lockdown, di Singapura circuit breaker, dan di Indonesia pembatasan sosial berskala besar. Setiap nama itu memberikan konsekuensi dan memunculkan pengertian berbeda bagi manusia dalam bertindak dan memahami lingkungannya (alam). Melalui bahasa, manusia menganggap dirinya sebagai pusat yang merelasikannya dengan alam. Manusia harus membuat kategori-kategori dan klasifikasi terhadap apa pun yang ada di alam semesta. Tanpa itu, manusia merasa terombang-ambing.
Hewan mengandalkan naluri dan fisiknya untuk menghadapi alam ini. Jika hewan mampu berbahasa seperti manusia, itu berarti ia mampu berpikir, dan pikiran akan melahirkan banyak hal untuk menghadapi dunia ini. Dan ketika hewan memiliki semua itu, nasib umat manusia akan seperti yang terjadi pada film Planet of the Apes.
*) Sutradara film, mahasiswa Program Doktor Antropologi Universitas Indonesia
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo