Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAWASAN bekas kompleks pemancar Radio Republik Indonesia (RRI) di Cimanggis, Depok, Jawa Barat, kini menjadi saksi bisu buruknya tata kelola pengalihan aset negara di era pemerintahan Presiden Joko Widodo. Demi membangun kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), pemerintah mengalihstatuskan kawasan itu tanpa kompensasi penggantian lahan dan tanpa lebih dulu memindahkan aset RRI bernilai ratusan miliar rupiah yang ada di sana. Tindakan seperti ini sangat mungkin dikategorikan sebagai perbuatan korupsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak Juni 2018, di atas lahan seluas 142,5 hektare itu mulai dibangun gedung dan fasilitas penunjang kampus UIII. Presiden Jokowi sendiri yang meletakkan batu pertama proyek tersebut. Tak banyak orang tahu, ketika seremoni megah itu berlangsung, nasib aset RRI berupa 15 menara, 7 genset, 11 pemancar, dan gedung pemancar Voice of Indonesia yang masih aktif siaran dalam 12 bahasa justru terbengkalai. Menurut anggota Dewan Pengawas RRI, Frederik Ndolu, nilai keseluruhan aset lembaganya di lahan itu bisa mencapai Rp 7 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Semua orang tahu, Universitas Islam Internasional Indonesia adalah salah satu proyek ambisius Presiden Jokowi agar Indonesia memiliki kampus Islam berkelas dunia. Empat tahun lalu, Jokowi meneken Peraturan Presiden Nomor 57 Tahun 2016 tentang pendirian kampus tersebut. Biaya pembangunan yang disiapkan mencapai Rp 3,7 triliun yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Awalnya Jokowi berkeinginan membangun kampus itu di atas lahan 1.000 hektare. Karena para pembantunya tak kunjung menemukan lahan seluas itu, Jokowi akhirnya menyetujui lahan kompleks pemancar RRI sebagai gantinya.
Sulit untuk tak menyebut pemerintah grusa-grusu mengerjakan proyek pembangunan kampus sebesar ini. Semestinya Kementerian Agama, yang bertanggung jawab atas pembangunan kampus, memastikan semua urusan hukum tuntas sebelum mulai membangun. Nyatanya, kompensasi penggantian lahan untuk memindahkan aset RRI belum beres. Lahan yang ditawarkan tak cocok atau masih tersangkut perkara hukum lain. Walhasil, tanpa lokasi pengganti, kini sebagian aset RRI mulai rusak, tak terawat, bahkan hilang karena dicuri. Nilai kerusakan dan hilangnya aset RRI itu bisa dianggap sebagai kerugian negara.
Ketergesa-gesaan itu bisa jadi terkait dengan permintaan Presiden Jokowi agar proses pembangunan kampus UIII rampung pada akhir 2019. Pada awal tahun lalu, Presiden bahkan sudah menunjuk Komaruddin Hidayat sebagai rektor jauh sebelum gedung kampus pendidikan tingkat magister dan doktor dengan tujuh fakultas ini berdiri.
Bukan hanya soal aset RRI, perlawanan juga datang dari ratusan keluarga yang tinggal dan memanfaatkan lahan tersebut selama belasan tahun. Mereka kini tergusur tanpa ganti rugi memadai. Meski Kementerian Agama menyatakan lahan Cimanggis adalah milik negara, warga setempat berkukuh mereka punya hak atas tanah itu karena mengantongi eigendom verponding atau semacam produk hukum pertanahan di era pemerintah kolonial Belanda. Gugatan warga di Pengadilan Tata Usaha Negara Bandung memang sudah ditolak, tapi sengketa itu sempat membuat proses pembangunan kampus terhenti selama empat bulan.
Pemerintah sepertinya tak pernah belajar soal rentannya proyek mercusuar semacam ini dari korupsi dan bahayanya menempatkan kepentingan politik di atas hukum. Sementara dulu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersangkut kasus pembangunan proyek pusat pelatihan atlet olahraga di Hambalang, Sentul, kini ada sengketa proyek UIII di era Presiden Jokowi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo