Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
200 tahun yang lalu, 5 Mei 1821, Napoleon wafat di sebuah rumah terpencil, di sebuah pulau terpencil. Tanpa kehebohan, tanpa dentuman, meskipun penyair Prancis, Chateaubriand, kemudian menggambarkan kematian itu dalam kalimat yang dramatis:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pada tanggal 5 itu, pada pukul 6 senja kurang 11 menit, di tengah angin, hujan, dan debur ombak, Bonaparte mengembalikan kepada Tuhan embusan napas kehidupan paling perkasa yang pernah menghidupkan lempung manusia.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pedangnya tergeletak di kiri tubuhnya, dan sebuah salib terletak di atas dadanya. Kata-kata terakhirnya yang terdengar “tête… armée” atau “tête d’armée”.
Ruang kesadarannya yang tersisa mungkin cuma diisi imaji-imaji perang. Sejarah hidupnya memang dibentuk kekuasaan dan ketentaraan. Keduanya bertaut jauh di dalam dirinya. Orang hanya bisa mengatur dan memerintah, ujar Napoleon, “Dengan sepatu bot dan sanggurdi.”
Tapi di Pulau St. Helena itu, “embusan napas kehidupan paling perkasa” itu, la plus puissant souffle de vie, tanpa sepatu infanteri dan kuda kavaleri, hanya sebaris jejak di pasir. Tempat itu jauh di tengah Lautan Atlantik, luasnya cuma 121 kilometer persegi, penduduknya cuma 3.500 orang, dan letaknya 4.000 kilometer ke timur Rio de Janeiro. Pemerintah Inggris, penguasa pulau, memilih tempat itu dengan perhitungan (seperti dikatakan Perdana Menteri Lord Liverpool di tahun 1815 itu) bahwa “jauh dari dunia Eropa, Napoleon akan segera dilupakan”.
Agak keliru, tentu. Bonaparte, seperti galibnya tokoh sejarah, meninggal dengan menggelembung bersama waktu.
Para sejarawan mencatat bagaimana orang ini berhasil mengubah Prancis, Eropa, dan bagian lain dunia: setelah Revolusi Prancis membabat tatanan feodalisme, ia, perwira tentara revolusi, muncul sebagai “Konsul” dari puing-puing politik. Dalam posisi itu, Napoleon menyusun dan memberlakukan sistem perundang-undangan baru. Dengan Code Napoléon, Prancis meninggalkan hidup dengan “aturan” lokal yang dihimpun dalam coutumes. Konsistensi hukum pun ditegakkan dan lenyaplah pelbagai hak istimewa para penguasa feodal yang masih tersisa.
Dalam arti tertentu, itu “revolusi” kedua Prancis, tanpa pertumpahan darah dan semboyan-semboyan banal. Dampaknya besar sampai sekarang ke pelbagai bagian dunia. Tokoh militer ini memang tak henti-hentinya pergi berperang; selama ia berkuasa sebagai empereur, dari tahun 1804 sampai 1814, hanya 955 hari dari 3.680 hari ia ada di ibu kota. Tapi baginya perang-perangnya adalah “pergulatan antara masa lalu dan masa depan”.
Orang progresif di Eropa di awal abad ke-19 melihat Napoleon sebuah harapan. Beethoven menulis Simfoni Ketiganya sebagai penghormatan buat pemimpin Prancis ini. Ia melihat Bonaparte pengejawantahan “cita-cita demokrasi dan anti-monarki”.
Tapi, setelah itu, kekecewaan.
Di tahun 1804 Beethoven mencabut penghormatannya: Napoleon mengangkat diri sendiri jadi d'empereur des Français. Ketika mendengar berita itu, Beethoven berteriak: “Dia ternyata tak lebih dari makhluk fana biasa!” Ia robek partitur yang digubahnya yang semula bertulisan nama “Bonaparte”.
Kekecewaan lain digambarkan Leo Tolstoy dalam Perang dan Damai. Novel superpanjang (dan sering melelahkan ini) dimulai dengan perbincangan para aristokrat Rusia di sebuah jamuan makan di St. Petersburg pada sebuah senja Juli 1805.
Pierre Bezukhov, sang tokoh utama, baru pulang dari Paris. Anak muda ini dengan bersemangat mengatakan keyakinan progresifnya—kurang-lebih mirip anak muda Eropa dan Amerika di tahun 1960-an menyambut Che Guevara. Ia berkata kepada orang-orang tua yang tak ingin kenyamanan hidup dan jamuan mereka diganggu: “Napoleon hebat; ia bangkit lebih unggul melebihi Revolusi, menghentikan kesewenang-wenangan yang terjadi dan merawat apa yang baik—kesetaraan warga negara dan kemerdekaan bicara dan pers—dan hanya untuk alasan itu ia mengambil kekuasaan.”
Tapi antusiasme di bab pertama itu kemudian berubah. Menjelang tengah buku Perang dan Damai, Napoleon menyerbu Rusia, menduduki Moskow, dan Pierre menganggap dirinya calon yang pantas jadi pembunuh diktator Prancis itu. Pemuda gemuk yang kikuk ini menyusup di antara kekacauan—dan gagal. Tapi Tolstoy sendiri, tak lagi pasif sebagai sang pencerita, memberi kata akhir buat hidup Napoleon setelah Buku ke-15. Orang yang pernah digambarkan Goethe sebagai “kecerdasan terbesar yang pernah dikenal dunia”, bagi Tolstoy sejak mula seorang “bandit”.
Sejarah seperti Tes Rorschach: bentuk-bentuk hitam tak menentu yang tanpa thema tapi harus kita buat cerita menurut kecenderungan kita sendiri. Mereka yang mengira bisa “meluruskan sejarah” selamanya keliru. Hari-hari ini, 200 tahun sejak kematian yang sunyi di St. Helena itu, di Prancis sendiri orang-orang belum bisa selesai dengan kenangan mereka. Monumen didirikan untuk menjangkau ke masa depan yang tak terhingga, tanpa mengakui bahwa sesungguhnya manusia hanya sedikit saja menginginkan cerita hidupnya yang lengkap.
Sebab itu saya senang membaca fiksi Simon Ley. Novel ini (saya baca versi Inggrisnya, The Death of Napoleon, terbit 1991) menceritakan bagaimana pada suatu hari Napoleon sebenarnya meninggalkan St. Helena. Di rumah itu ia tinggalkan seseorang yang mirip dirinya; ia sendiri oleh sebuah komplotan internasional diselundupkan ke dalam kapal yang menuju Eropa dengan disamarkan sebagai pelayan kabin. Ia direncanakan akan mendarat di Bordeaux dan bertemu dengan kontaknya di sana.
Tapi ternyata kapal mendarat di Antwerp.
Akhirnya ia memang sampai di Paris. Dengan tetap menyamar ia menunggu saat yang tepat, sambil tinggal di rumah seorang janda miskin yang baik hati. Ketika kemudian kepada perempuan itu ia ungkapkan siapa sebenarnya dirinya, janda itu mendengarkannya dengan sopan dengan kesimpulan yang final: ia gila.
Kisah 130 halaman ini saya kira satu cara terbaik mengakhiri rencana (yang absurd) untuk membuat keabadian dalam sejarah.
Goenawan Mohamad
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo