Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUASA semestinya tidak menganggap kartun politik sebagai ancaman. Karya visual ini bukan kekuatan untuk menjatuhkan pemerintahan, melainkan cara jenaka menyampaikan kritik. Pembungkaman terhadap kartunis oleh pemerintah beberapa negara di Asia Tenggara merefleksikan ketakutan dan rasa tidak aman rezim antidemokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada pemerintahan yang demokratis, kritik seharusnya dapat dilakukan lebih terbuka. Kartun dibuat untuk mengkritik penguasa dengan sinisme atau sarkastis. Para penikmatnya akan melihat kritik itu sambil tersenyum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbincangan mengenai tekanan dan ancaman pembungkaman terhadap kartunis mengemuka dalam The ASEAN Human Rights Cartoon Exhibition, yang berlangsung secara virtual sepanjang Mei ini. Pameran itu menyuguhkan karya puluhan kartunis dari negara-negara yang kebebasan berekspresi dan demokrasinya masih buruk, yaitu Malaysia, Thailand, Myanmar, Filipina, dan Indonesia. Karya para kartunis tersebut antara lain menggambarkan masih maraknya pelanggaran hak asasi manusia, pengekangan media, impunitas aparat, pembunuhan di luar hukum, dan pembatasan kemerdekaan berpendapat.
Keberanian kartunis melancarkan kritik tak jarang membuat mereka berurusan dengan penguasa. Para kartunis Myanmar, misalnya, terancam diburu junta militer yang sedang berkuasa di negeri itu. Pemerintah Thailand mempersempit ruang gerak pengkritik penguasa melalui pasal tentang penghinaan terhadap raja dan keluarganya dalam kitab undang-undang hukum pidananya atau populer dengan sebutan Section 112.
Kartunis Malaysia, Zulkiflee Anwar Ulhaque alias Zunar, yang getol mengkritik pemerintah, menghadapi ancaman pidana atas dakwaan menghasut. Zunar berulang kali dilarang menerbitkan buku, ditangkap, dan didakwa dengan tuntutan 43 tahun penjara. Pada 7 Mei lalu, ia diminta hadir di kantor polisi karena salah satu karikaturnya di Facebook dianggap menyentuh isu rasisme.
Di belahan dunia lain, kartun bukannya sepenuhnya bebas dari tekanan. Kita tentu masih ingat tragedi yang menimpa majalah mingguan Prancis, Charlie Hebdo. Sebanyak 12 awak majalah itu tewas dalam serangan bersenjata di kantor mereka di Paris pada 7 Januari 2015. Lima di antara korban tewas adalah kartunis, termasuk direktur penerbitan majalah itu, Stéphane “Charb” Charbonnier. Mereka ditembaki menyusul kontroversi penerbitan kartun yang dianggap menghina Nabi Muhammad di majalah satire itu.
Bertahun setelah tragedi Charlie Hebdo berlalu, para kartunis masih menghadapi tekanan politik hingga ancaman kekerasan, pidana, dan pembunuhan. Baik penguasa maupun organisasi kelompok-kelompok antidemokrasi kerap menggunakan tuduhan penistaan agama sebagai alat sensor terhadap kartun. Ancaman dan persekusi mengekang kreativitas para kartunis. Salah sedikit saja mereka dapat dituding menista. Mereka pun mengerem kadar kritiknya. Self-censorship semacam ini membuat kartun tak lagi kuat menyampaikan kritik.
Dalam jurnalisme, kartun sebenarnya merupakan bagian dari politik editorial suatu media. Kartun juga merefleksikan kesadaran demokrasi di dalam media, masyarakat, dan pemerintahnya. Kartun yang sopan dan penuh ewuh pakewuh menunjukkan rendahnya tingkat demokrasi di suatu negara, termasuk awak medianya. Tekanan dan ancaman terhadap kartunis adalah barometer kebebasan berpendapat sekaligus menjadi indikator kehidupan demokrasi.
Kartunis semestinya diberi ruang yang luas untuk menyampaikan kritik, sekaligus memancing tawa penikmatnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo