Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Planet bumi hanyalah noktah biru yang pucat di semesta yang mahaluas.
Kita pun terus mencari adakah manusia hidup sendiri. Adakah mahluk lain yang menghuni semesta ini?
Umur manusia mungkin terlalu sebentar untuk tahu segala misteri alam semesta.
BUMI: sebuah noktah biru yang pucat, sebutir titik kecil lamat-lamat di semesta mahaluas, sebuah bintik terasing tempat manusia membuat sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atau dalam kata-kata Carl Sagan, astronom terkenal itu, planet bumi hanyalah “satu cercah yang bersendiri dalam gelap kosmis yang dahsyat”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gambaran dramatis ini dinyatakannya lebih jauh dalam Pale Blue Dot: A Vision of the Human Future in Space yang terbit pada 1994: tak ada tanda dalam keluasan itu bahwa akan ada pertolongan dari tempat lain, ketika kita perlu diselamatkan dari perbuatan kita sendiri. Planet lain tak diberkati kehidupan. Life is a comparative rarity.
Semua bermula di tahun 1990: Sagan menyarankan awak Voyager I dari NASA yang sedang mengarungi ruang angkasa agar memotret planet manusia dari jarak 3,7 miliar mil dari muka bumi. Hasil pemotretan itulah—secuil titik biru yang samar di tengah gelap—yang jadi fokus pembahasannya.
Dengan itu Sagan berbicara tentang “pengembaraan” manusia yang pada gilirannya menemukan kedaifannya sendiri. “Pada skala bumi—apalagi pada skala bintang dan galaksi—manusia nyaris tanpa arti, cuma selembar tipis film di atas gundukan karang dan logam yang soliter dan kelam.”
Kata “soliter” itu tak hanya berlaku bagi karang dan logam. Dalam pengembaraan antariksa, kita, manusia, tak menemukan sepucuk pun surat yang dititipkan pendatang terdahulu. Yang ada “hanya transmisi digital yang disampaikan secepat cahaya oleh duta-duta robot—pesan yang tak bertele-tele dan tanpa perasaan”
Tapi manusia makhluk yang cerewet. Ia tak berhenti mencari para penghuni nun di sana yang entah itu. “Kehidupan ingin mendapatkan kehidupan,” kata Sagan. Ada dorongan untuk tahu dan bersikap: bersendirikah kita di alam semesta? Adakah kehidupan, hal yang lazim ada di mana-mana? Juga kecerdasan? Dari mana asalnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini akan bertambah intens setelah pertengahan bulan ini Kementerian Pertahanan Amerika Serikat mengungkapkan apa yang selama ini dirahasiakan: sampai tahun lalu, sudah ada 114 kali di langit tampak apa yang lazim disebut UFO, “obyek terbang yang tak dapat diidentifikasikan”.
Banyak yang belum diungkap dalam pernyataan itu sebenarnya. Orang tetap penasaran. Jika dalam sejarah, yang ganjil biasa diterangkan dengan gampang oleh agama-agama. Sekarang manusia tak puas dengan wahyu.
Pengetahuan makin bisa mencatat bahwa berjuta-juta bintang di angkasa bukan hanya metafor sebuah lagu cinta. Pelbagai teleskop bisa menangkap entah berapa laksa benda ruang angkasa yang tampak. Bersama itu, makin diketahui bahwa zat organik—molekul-molekul yang kaya akan karbon—zat yang membentuk hidup, tersedia melimpah ruah di alam semesta. Dan ada waktu: miliaran tahun tersedia untuk evolusi biologis zat-zat itu.
Bukan mustahil jika dari gabungan semua itu bisa lahir makhluk yang kurang-lebih seperti kita. Mengunjungi kita.
Konon, satu kunjungan dilakukan UFO pada 1947. Pilot Kenneth Arnold sedang menerbangkan pesawat kecilnya di dekat Gunung Rainier di Negara Bagian Washington. Tiba-tiba tampak cahaya gemerlap. Ia cemas, menduga pesawatnya akan menabrak pesawat lain. Tapi yang ia lihat sembilan pesawat berbentuk aneh terbang dalam satu formasi.
Mendarat dengan selamat, ia melapor kepada yang berwewenang. Kepada para wartawan ia gambarkan benda-benda itu sebagai piring (“saucer”) yang melintas di atas air.
Kejadian “piring terbang” yang lebih dramatis berlangsung di Kota Ruwa di pedalaman Zimbabwe, 19 September 1994. Sebagaimana dilaporkan BBC, tengah hari itu, 62 anak sekolah menyaksikan sebuah pesawat asing mendarat. Bentuknya cakram. Bahkan sekilas ada yang melihat makhluk di pesawat itu. Ketika secara terpisah anak-anak itu diminta menggambar apa yang mereka saksikan, hasilnya mirip satu sama lain. Makhluk itu berseragam hitam. Juga hitam mata mereka yang besar. Malah ada di antara remaja itu yang merasa menerima pesan telepati: makhluk asing itu berbicara tentang kerusakan lingkungan yang terjadi di bumi....
Artinya, mereka tak dianggap datang untuk menggertak. Benar atau tidak cerita anak-anak itu, sedikit pun tak ada jejak traumatis dari pertemuan itu. Seperti dalam film Close Encounters of the Third Kind dari tahun 1977: pada suatu hari tukang listrik Roy Neary bersentuhan dengan kehadiran makhluk yang tak berasal dari bumi. Ia terpukau seperti kena sihir, berhari-hari. Tapi ini bukan malapetaka. Makhluk asing itu mengundangnya naik ke piring terbang mereka dan mengajaknya pergi. Kelak Neary kembali dengan berbahagia.
Apa yang terjadi? Mungkin bukan angkasa luar yang jadi ramah dan bersahabat, melainkan kita tak lagi merasa terancam perang dengan alien seperti dalam The War of the Worlds, novel H.G. Wells dari tahun 1898.
Mungkin manusia—makhluk yang pintar tapi rapuh ini—akhirnya sanggup menanggungkan misteri dan kedahsyatan angkasa luar dengan sesuatu yang lain. Dalam novel Contact Carl Sagan, kita bertemu dengan tokoh utamanya, “Ellie” Arroway. Seumur hidupnya ia menelaah kemungkinan adanya makhluk “extraterrestrial”, tapi melupakan pesan yang jelas dari angkasa raya: “bagi makhluk kecil seperti kita-kita, kemahaluasan semesta bisa kita tanggungkan hanya melalui cinta kasih”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo