Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Suratin memang mendirikan PSSI, tapi tanpa perjuangan MH Thamrin organisasi ini sulit terwujud.
Thamrin menggelorakan nasional dan semangat perjuangan melawan penjajah melalui sepak bola.
Ia membawa olah raga ke dalam politik, dan sebaliknya.
GANTI JIS menjadi Soeratin. Begitu bunyi surat pembaca sejarawan Asvi Warman Adam di Kompas, 10 Mei 2022. Maaf, ada yang lebih tepat: ganti nama Jakarta International Stadium menjadi MH Thamrin. Suratin memang pendiri Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI), tapi tanpa Thamrin organisasi ini sulit terwujud.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mohammad Husni Thamrin, sebagaimana Tan Malaka, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir, adalah seorang gibol (gila bola). Bahkan Thamrin tak sekadar gibol yang doyan merumput, ia punya visi sepak bola modern Indonesia sebagai reaktor kebangsaan. Visi ini serius dilakoninya. PSSI hanya salah satu jejak kerjanya dalam mewujudkan visi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PSSI berakar pada inisiatif Voetbalbond Indonesia Jakarta (VIJ). Thamrin menjadi beschermer atau pengayom aktif. Di sini visi sepak bolanya tumbuh dan menemukan momentum, yaitu kekecewaan terhadap Indonesische Voetbal Bond (IVB), perserikatan sepak bola nasional pertama yang didirikan di Surabaya pada 1927. IVB mepet ke Belanda. Inisiator perserikatan sepak bola Surabaya, Bandung, Solo, dan Yogyakarta terpukul. Di sinilah VIJ berinisiatif menjadi motor revitalisasi gagasan perserikatan nasional baru.
Soeratin Sosrosoegondo menghormati inisiatif VIJ. Ia dan para tokoh sepak bola Yogyakarta ke Jakarta menemui pengurus VIJ pada awal Maret 1930. Setelah itu mereka mengumumkan berdirinya PSSI di Societeit Hande Proyo, Yogyakarta, 19 April 1930. Soeri dan Sukardi, elite pengurus VIJ, di Hotel Bienenhof, Keramat, tempat Soeratin dan rombongan menginap, berhasil meyakinkan pengurus VIJ untuk mendirikan PSSI. Mereka membeberkan korespondensi aktif VIJ dengan perserikatan seantero Tanah Air. “Angan-angan VIJ beroleh persetujuan,” ujar Dr. Muwardi di Pemandangan, 20 September 1938. VIJ pun lebih dari sekadar salah satu dari tujuh perserikatan yang membidani kelahiran PSSI.
Visi sepak bola Thamrin tumbuh dari kampung-kampung. Ia melihat sepak bola pribumi bermutu tapi didiskriminasi. Baginya ini masalah perkotaan dan kewargaan sekaligus politik pergerakan nasional yang harus disuarakan. Untuk ini, Thamrin memakai posisinya di Gementeraaden (Dewan Kota) dan Volksraad (Dewan Rakyat), sistem demokrasi formal kolonial imbas politik etis serta desentralisasi, menjadi tempat mengadu klub sepak bola pribumi di Batavia, seperti Ster, Setiaki, Cahaya Kwitang, Rukun Setia, Setia Utama, dan Gang Solitude. Klub-klub ini belum punya perserikatan yang mewadahi mereka berkompetisi. VBO (Voetbalbond Batavia en Omstreken), perserikatan sepak bola Belanda, menolak inlander ikut kompetisi mereka. Mereka dianggap tak sekelas.
Pada 1927, meskipun jelas bakal ditolak VBO, Ster dan Setiaki nekat meminjam lapangan anggotanya, Hercules, di Deca Park. Siapa tahu tuan-tuan putih melunak karena ini adalah pertandingan amal guna membantu korban kebakaran di Gang Bunder, Pasar Baru. Ternyata mereka ditolak, dihina pula. Mereka diminta membaca papan pengumuman di pintu masuk lapangan Hercules: “Verboden voor Inlander en Honden (Pribumi dan anjing dilarang masuk)”. Sadarlah mereka nasib blangsak klub sepak bola pribumi lebih banyak lantaran perkara politik kolonial ketimbang urusan olahraga. Dalam situasi ini Thamrin menjadi tempat berpaling menemukan jalan keluar.
Pada tahun itu, Thamrin masuk Volksraad menggantikan Soetomo. Dedengkot Budi Utomo ini menguatkan keyakinan Thamrin bahwa sepak bola bukan sekadar olahraga rakyat, melainkan medium gerakan kebangsaan. Riset Srie Palupi, dalam Politik dan Sepakbola, mengkonfirmasi hal itu. Sepak bola yang masuk Hindia pada akhir abad ke-19 berbarengan dengan ideologi-ideologi besar—nasionalisme, komunisme, islamisme, sosialisme—sama diterima dan tumbuh menjadi counter culture terhadap perkembangan masyarakat serta sejarah kolonial. Inilah jalan keluar yang ditawarkan Thamrin.
Sejak saat itu, klub-klub sepak bola di Batavia ikut rel pergerakan nasional dan momentum-momentumnya. Bukti mencolok adalah kelahiran perserikatan sepak bola di Jakarta sebulan setelah Kongres Pemuda 28 Oktober 1928. Ini menjelaskan tokoh utamanya, yaitu Suri, Ali, Sukardi, Hamid, dan Asra, yang ingin mengaitkan perserikatan dengan momentum sejarah pergerakan politik itu. Mereka ingin juga mengimplantasi semangat persatuan kebangsaan. Bahkan, pada 30 Juni 1929, untuk menguatkan identitas nasionalisme, mereka mengubah nama perserikatan dari Voetbal Bond Bumiputra (VBB) menjadi Voetbalbond Indonesia Jakarta (VIJ). Bumiputra, eufemisme inlander, diganti menjadi Indonesia. Juga penanda kota asal Jakarta bukan Batavia yang identik sebagai kota kulit putih. Bendera nasional Merah Putih menjadi warna kebesaran VIJ, sehingga tersohor berjulukan “Si Merah Putih”.
Setelah VIJ, berdiri kompetisi internal klub-klub pribumi Jakarta. Thamrin sering hadir dalam sesi latihan dan kompetisi yang mereka putar sepanjang 1928-1930 di lapangan Brandweer Kazerne, Cideng. Di Gementeraad dan Volksraad, Thamrin berbicara tentang kasus Suratin dan para pemain VIJ yang dipecat perusahaan Belanda karena ikut sepak bola pribumi. Pertandingan perserikatan disabotase VBO dan lapangan sepak bola pribumi keadaannya buruk. Namun tiada tanggapan. Saat ulang tahun VIJ, Oktober 1930, Thamrin mengumumkan membeli lapangan di Pulo Piun, Laan Trivelli, Cideng, dengan merogoh 2.000 gulden untuk membuatnya layak.
Lapangan VIJ tumbuh menjadi cermin kedekatan sepak bola dengan gerakan kebangsaan. Thamrin yakin, di tengah represi kekuasaan kolonial setelah peristiwa pemberontakan komunis 1926, sepak bola bisa merevitalisasi nasionalisme. Lapangan sepak bola sebagaimana dirinya menjadi trait d’union (tali penghubung) penting bagi kelompok-kelompok pergerakan. Sambil menonton sepak bola, rakyat menyaksikan tiada pembelahan pergerakan nasional antara ko di Volkraad dan nonko di luarnya. Sukarno, tokoh utama nonko, setelah bebas dari penjara Sukamiskin—untuk menyiasati tuduhan ikut berpolitik lagi—dibawa Thamrin ke lapangan VIJ. Ia melakukan kick-off awal musim kompetisi PSSI antara VIJ dan PSIM Yogyakarta pada 16 Mei 1932. Rakyat akhirnya tahu, Sukarno telah kembali. Pertandingan sepak bola tak ubahnya vergadering atau rapat umum kaum pergerakan.
Ditambah lagi saat jeda, atas inisiatif Thamrin, digelar pertandingan “Jago Tua”, yaitu para tokoh pergerakan merumput, seperti Thamrin, Otto Iskandar Di Nata, Kayadoe, Parada Harahap, Kusuma Atmaja, dan Buntaran. Pertandingan “Jago Tua” pun mentradisi. “Jago Tua” menjadi perserikatan sepak bola elite politik beranggota dua klub, yaitu “Si Kurus” yang dipimpin Otto dan “Si Gemuk” di bawah Thamrin. Karena keduanya representasi sepak bola Jakarta dan Bandung, di dalam PSSI, VIJ dan PSIB dianggap kembar.
Jika visi sepak bola Thamrin di VIJ meluas sampai ke PSSI, apakah nasionalisme tak memerosotkan prestasi? Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB), induk organisasi sepak bola Hindia, menilai kemajuan klub-klub sepak bola pribumi begitu pesat. NIVB mengakuinya setelah melihat permainan VIJ mengungguli Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) dalam Kejuaraan Nasional PSSI III di Surabaya. Padahal SIVB banyak memakai pemain kulit putih terbaik NIVB.
Itu pula yang mungkin menjadi alasan panitia Piala Dunia 1938 di Paris menjadikan Nederlandsch Indische Voetbal Unie (NIVU), pelanjut NIVB, yang menjadi anggota FIFA, mengundang Indonesia. Namun pemerintah kolonial menganggapnya blunder. Sebab, memberangkatkan PSSI sama saja memberangkatkan Thamrin dan Dewantara. NIVU pun tak ingin PSSI mendapat nama di Piala Dunia. NIVU membuat siasat: tim yang diberangkatkan dirancang untuk memperlihatkan superioritas kulit putih. Kekhawatiran penguasa kolonial bisa dipahami mengingat pada 7 Agustus 1937 tim PSSI sukses menahan tim Nan Hwa Tiongkok. Padahal tim yang dipimpin Lee Wai Tong “Raja Bola Asia” itu sebelumnya menekuk Belanda 4-0.
Visi sepak bola Thamrin terbukti: di negeri jajahan profesionalisme tumbuh karena para pemain merumput dengan keyakinan mempertaruhkan sejarah dan kultur sepak bola sejak diterima di negerinya, yaitu sebagai counter culture kolonialisme. Dari sini, ia membangun sepak bola modern Indonesia sebagai reaktor kebangsaan, sehingga Jakarta menjadi ibu kota sepak bola kebangsaan Indonesia. Inilah warisan Thamrin yang berharga dan khas, tapi terlupakan. Bahkan ada seloroh hanya Sukarno dan Tuhan yang tak lupa membalas jasanya.
Sukarno mendesain makam Thamrin di Tempat Pemakaman Umum Karet Bivak, mengabadikan namanya di ruas jalan paling prestisius Ibu Kota, memberikan gelar pahlawan nasional, mengirimkan surat ucapan selamat saat Persija berulang tahun, dan menghibahkan lapangan buat markas Persija yang letaknya berhadapan dengan poros Jalan Thamrin. Ketika istrinya, Otto Arwati, wafat dan Thamrin diamuk kesedihan, Tuhan mengirimkan jodoh pengganti yang ditemukannya di lapangan VIJ, Nur’aini.
Darma bakti Thamrin begitu besar kepada sepak bola dan menjadi utang budi tak ternilai. Maka mengganti nama JIS dengan MH Thamrin adalah awal yang baik. Bangunan monumental harus diimbangi dengan nama dari amal sejarah yang monumental dan tak kering-kering mengalirkan keteladanan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo