Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Bahaya Campur Tangan Jokowi dalam Pemilu 2024

Cawe-cawe Jokowi dalam Pemilu 2024 dapat dibaca aparatur negara sebagai perintah untuk memenangkan calon presiden tertentu.

4 Juni 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Campur tangan Jokowi dalam pemilu mencederai demokrasi.

  • Cawe-cawe Jokowi buntut merenggangnya hubungan dia dengan Megawati.

  • Bisa menyeret institusi negara beserta aparaturnya untuk berpihak kepada calon tertentu.

KEINGINAN Presiden Joko Widodo cawe-cawe dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mengancam demokrasi. Campur tangan Jokowi agar pemimpin yang kelak terpilih sesuai dengan kehendaknya akan membuat proses pemilu berlangsung tidak jujur dan tidak adil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di depan pimpinan media massa, Jokowi menyatakan tak akan bersikap netral dalam pemilihan presiden mendatang. Ia berdalih cawe-cawe dilakukan demi negara dan kesinambungan pembangunan. Jokowi tampak sedang mengabaikan prinsip demokrasi tentang kedaulatan di tangan rakyat. Ia lupa bahwa bukan presiden inkumben yang menentukan baik-buruknya presiden pengganti, melainkan orang ramai lewat pemilihan yang transparan dan akuntabel. Juga mungkin ada faktor lain dari keinginan Jokowi itu: kepentingan politik jangka pendek untuk kemaslahatan segelintir orang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sulit untuk tidak mengatakan urusan cawe-cawe ini merupakan buntut hubungan panas-dingin Jokowi dengan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri. Relasi keduanya renggang setelah Jokowi tidak dilibatkan dalam proses deklarasi Ganjar Pranowo sebagai calon presiden PDIP pada 21 April lalu.

Pangkal soalnya adalah Jokowi ingin menjadi kingmaker. Ia memasang-masangkan calon presiden dan wakil presiden yang dianggap pantas meneruskan kepemimpinannya. Menggagas koalisi besar, awal Mei lalu Jokowi juga sempat mengumpulkan lima partai politik pendukungnya untuk membahas pemilihan umum.

Tapi peluang Jokowi menjadi kingmaker menyempit setelah Megawati mengunci Ganjar dengan sejumlah syarat. Megawati ditengarai berhak menentukan sejumlah posisi kunci di kabinet bila Ganjar terpilih sebagai presiden. Tak hanya wajib melaksanakan Sukarnoisme, Ganjar juga tidak boleh ikut campur dalam suksesi kepengurusan PDIP yang akan datang. Yang makin mengecilkan hati Jokowi: hanya Megawati yang berhak menentukan calon wakil presiden untuk disandingkan dengan Ganjar dalam pemilihan presiden 2024.

“Kontrak politik” itu membuat Jokowi berpaling arah: memberikan sinyal dukungan kepada Ketua Umum Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Prabowo Subianto. Sebelumnya, Jokowi cukup terbuka mendorong pencalonan Ganjar.

Pertemuan Musyawarah Rakyat yang digagas relawan Jokowi di Istora Senayan, pertengahan Mei lalu, merupakan salah satu indikasi. Di depan pendukungnya, Jokowi meminta mereka tidak terburu-buru menetapkan calon presiden dan wakil presiden dalam Pemilu 2024 biarpun PDIP telah resmi mengusung Ganjar.

Ia berpesan kepada para relawan agar memilih pemimpin yang mewakili suara rakyat, bukan elite partai. Pernyataan itu memberi sinyal bahwa Jokowi belum sepenuhnya mendukung Ganjar, meski ia dan Ganjar sama-sama menyandang predikat “petugas partai”. Sebaliknya, dalam pertemuan dengan Prabowo di Istana Bogor, Jokowi berjanji mendukung bekas seterunya itu.

Jokowi berkepentingan atas hasil Pemilu 2024. Dia ingin mencari sosok yang bisa meneruskan legasinya—termasuk memberikan perlindungan politik setelah turun dari pemerintahan—betapapun problematiknya program dan kebijakan yang ia rintis. Dengan tingkat kepuasan masyarakat hingga 82 persen, Jokowi percaya dukungannya kepada salah satu calon bisa mempengaruhi hasil pencoblosan pada 2024.

Preferensi presiden kepada calon pengganti sebetulnya hal yang lumrah. Tapi dukungan itu tidak boleh mencederai prinsip keadilan, kejujuran, dan transparansi pemilu. Dukungan blakblakan terhadap salah satu calon dapat diterjemahkan aparatur pemerintahan sebagai komando Presiden untuk memenangkan pasangan tertentu—sesuatu yang lazim terjadi dalam birokrasi Indonesia yang menganut budaya patron-klien.


Baca liputannya:


Sebagai kepala negara, Jokowi punya kuasa dan otoritas atas sejumlah lembaga, seperti Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum, kejaksaan, Kepolisian RI, dan Tentara Nasional Indonesia. Ratusan penjabat kepala daerah yang ditunjuk oleh pemerintah pusat juga berada di bawah kendali Jokowi. Intervensi Presiden dapat pula dibaca para bawahan untuk merecoki kebebasan lawan politik dalam menentukan kandidatnya—sesuatu yang kini terjadi pada Partai NasDem.

Jika syahwat politik Jokowi mencampuri pemilu tak bisa dibendung, yang bisa menjaga kemuliaan pemilu kini adalah para “bawahan”. Mereka tidak boleh terjebak permainan politik jangka pendek. Mereka harus sadar ketidaknetralan aparat negara akan berakibat buruk pada kualitas pemilu. Aparatur yang tidak netral juga akan kena getahnya setelah pergantian presiden nanti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bahaya Campur Tangan Jokowi"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus