Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cendekiawan, Kultur, dan Politik

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rocky Gerung*) *) Dosen filsafat UI SATU problem yang masih mencemaskan kita sekarang ini adalah bagaimana mengisi ruang politik demokrasi yang sudah terbuka. Kecemasan ini sangat masuk akal karena kita tidak pernah bersiap menghadapi perubahan yang serba mendadak. Bahkan, faktor-faktor internasional yang bekerja membuka ruang demokrasi itu pun baru kita kenali setelah kita mulai merasakan konsekuensi ekonomi-politik dari terbukanya ruang itu. Sebagian orang kemudian mulai pesimistis dengan kenyataan baru itu. Sebagian bahkan mulai mengutuk perubahan. Masalahnya memang bukan sekadar soal mengisi ruang, tapi juga mengoperasikannya secara benar. Bila di ruang itu kita letakkan peralatan-peralatan standar demokrasi modern (parlemen, pers, rule of law, pasar, dan partai, misalnya), lalu siapa yang akan mengoperasikannya? Pada mulanya problem ini tenggelam begitu saja oleh hiruk-pikuk kebebasan. Tapi, setelah seluruh kegembiraan ini surut, akal sehat mengapungkannya kembali: bagaimana mengelola ruang itu secara benar.
***
Meletakkan harapan itu pada kalangan cendekiawan merupakan obsesi historis dari setiap perubahan. Kelompok kecil yang "terpilih" selalu diandalkan sebagai "agen perubahan". Tapi soalnya adalah seberapa besar energi politik yang di-miliki kelompok itu bisa terus mendorong perubahan, dan seberapa homogen kelompok itu dalam memahami idealisasi demokrasi. Bagaimanapun, dilihat dari aspek kesejarahan, kepemimpinan politik modern di Indonesia adalah hasil dari ekspansi rasionalisme Barat, kendati sebetulnya itu merupakan suatu "kontra-finalitas" bagi politik kolonialisme. Bila politik etis di Hindia Belanda dilihat sebagai konsekuensi dari liberalisme Eropa pada abad ke-19, makin jelas bahwa kepemimpinan politik di Indonesia sejak awal abad ke-20 adalah suatu gerak sejarah yang didiktekan dari luar sistem sosiokultural kita. Gerak sejarah itulah yang pertama kali ditangkap denyutnya oleh sejumlah kecil cendekiawan pribumi, kalangan yang kelak akan berpikir dan bekerja untuk sebuah Indonesia merdeka dan modern. Namun, pendiktean politik itu—apakah melalui kekerasan atau penanaman sistem dan nilai—tidak mampu menguras habis alam pikiran kebudayaan asli, apalagi menggantinya. Culture matters, suatu tema yang kini dimunculkan ulang dalam ilmu sosial, sejak awal sudah tampak sebagai problem dalam sosiologi kepemimpinan politik kita. Yang akan diganti selalu memiliki daya inersia yang konservatif, melebihi daya ubah yang dipaksakan dari luar. Begitulah, inersia kebudayaan Jawa menyerap kembali hasil-hasil awal rasionalisme Eropa itu dan memangkunya dalam model kepemimpinan karismatis. Bahkan, setelah empat kali mengalami pergantian presiden, kini kita masih memakai pola kepemimpinan politik yang sama. Orde Baru memang tidak dimaksudkan untuk mempersiapkan lapisan pemimpin. Yang mereka perlukan adalah para ahli yang cerdas, tapi tanpa visi. Maka, cukup dengan peralatan birokrasi dan kawalan militer, efisiensi politik dapat diper-tahankan begitu lama. Pendidikan kewarganegaraan adalah kurikulum yang aneh bagi sistem politik Orde Baru. Karena itu, sewaktu kita berebut keluar dari rumah Orde Baru, kita sebetulnya masih buta huruf dalam soal demokrasi. Memang, interupsi otoritarianisme selama periode Demokrasi Terpimpin dan Orde Baru telah mengubur kenangan pendek kultur politik plural di dasawarsa awal setelah kemerdekaan, setidak-tidaknya sampai Pemilu 1955. Dalam periode panjang interupsi otoritarianisme itu, kultur politik sepenuh-penuhnya diisap kembali oleh daya inersia budaya politik Jawa yang kosmis dan sentralistis. Dalam pangkuan nilai semacam itu, dinamika politik nyaris tak terasa. Gegap-gempitanya Pemilu 1971, sebagai upaya kalangan cendekiawan untuk menyebarkan ideologi modern- isasi sebagai saka guru pembangunan nasional melalui Golkar, juga tidak berhasil mengubah kultur politik men-jadi dinamis. Bahkan, pengerasan politik setelah itu menjadi semacam dampak yang tidak diharapkan dari misi ideologi modernisasi. Sebaliknya, ideologi "Ratu Adil" tetap beredar dalam bawah sadar politik publik. Ini menerangkan mengapa para pemimpin karismatis yang sebelumnya dianggap ber-"wahyu" akhirnya pergi begitu saja tanpa diiringi histeria para pendukungnya. Ideologi "Ratu Adil" bukan mengajarkan oposisi, melainkan kepasrahan yang nyaris fatal. Partai Komunis Indonesia (sebagai contoh fatal) sesungguhnya tidak cuma dilumpuhkan oleh militer, tapi lebih oleh kepasrahan para peng-ikutnya yang menyadari bahwa takdir selalu mendahului niat.
***
Kini, bila beban pembaruan itu hendak kembali dijatuhkan ke pundak kalangan cendekiawan, pengulangan historis itu agaknya harus diperiksa lebih dulu dalam skema baru kebudayaan dan politik dunia beserta paradoks-paradoksnya. Konteks sosiologis pertama yang perlu dihitung adalah perubahan demografi yang telah berhasil mengubur "mitos angkatan" yang sebelumnya menguasai pola partisipasi politik cendekiawan. Pragmatisme hidup telah menjadi nilai baru bagi kalangan ini, melebihi semua ideologi perjuangan yang pernah ada dalam sejarah politik cendekiawan di masa lalu. Artinya, kendati nada keadilan masih tetap tinggi diperdengarkan dalam orde reformasi, kebutuhan akan kepastian masa depannya sebagai individu sebetulnya telah menggantikan rasa kerakyatan yang pekat pada angkatan-angkatan sebelumnya. Keadilan sebagai tema perjuangan cendekiawan sekarang ini telah secara spesifik menuju pada makna yang lebih terukur, yaitu entitlement, suatu tuntutan pemenuhan hak yang lebih individual sifatnya. Gejala ini memang paralel dengan perubahan wacana tentang ideologi, yang semakin memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal tanpa melalui tangga politik. Dari sudut pandang ini dapat dikatakan bahwa telah tercapai suatu tingkat otonomi politik cendekiawan, dengan akibat cara pandangnya terhadap kekuasaan mengalami koreksi. Pluralisasi profesi dan intensifikasi kultur bisnis dalam masyarakat telah menempatkan politik dalam urutan normal perjalanan karir individu. Politik tidak lagi di-lihat sebagai deus ex machina yang siap mengubah nasib orang, tapi sebagai suatu profesi baru yang harus dititi secara profesional juga. Namun, persis di belakang perkembangan rasional itu, sedang berlangsung juga gejala retradisionalisasi politik pada sebagian kalangan cendekiawan, yaitu aktivitas pendasaran aspirasi publik pada nilai-nilai komunal yang partikuler sifatnya. Di sini politik dikonsepsikan sebagai wilayah sakral yang harus diisi dengan satu nilai tunggal dan dijalankan untuk memastikan perwujudan suatu finalitas, entah itu suatu ideologi transenden atau suatu doktrin monolitik. Pandangan ini memperoleh momentum globalnya bersamaan dengan meluasnya debat tentang paham hak-hak asasi manusia, politik identitas, dan gagasan multikulturalisme. Di sini kita berhadapan dengan problem mutakhir dari sistem demokrasi itu sendiri. Di satu pihak, demokrasi harus diisi oleh aturan-aturan publik yang dapat diakses secara sama oleh semua warga negara, tapi sekaligus harus mengakomodasi desakan mayoritas yang monolitik. Ketegangan inilah yang sekarang tengah dihadapi oleh kalangan cendekiawan kita dalam usaha mereka mengisi ruang politik demokrasi yang sudah terbuka itu.
***
Transmisi kebudayaan dunia telah dipercepat oleh teknologi informasi. Implikasinya bagi kita seharusnya adalah men-dayagunakan fasilitas itu untuk memperkuat basis awal demokrasi, yaitu rasionalitas dan pluralitas. Tapi sekaligus dalam agenda semacam ini, penguatan kembali identitas-identitas lokal (local truths) sedang menjadi fenomena arus balik kebudayaan global. Dan itu berarti ada tantangan dialektis baru bagi demokrasi. Ketegangan kebudayaan itu, yang diamplifikasi oleh krisis ideologi global sekarang ini, akan menjadi faktor krusial bagi semua obsesi yang hendak membawa kembali golongan cendekiawan ke dalam dunia politik. Tapi pesimisme hari-hari ini tentang nasib demokrasi sebetulnya tidak terletak pada ketergantungan historis kita pada kalangan cendekiawan, tapi lebih pada ketidakmampuan para pemimpin dalam memelihara bibit awal demokrasi itu sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus